Ana ita, Anak kita
Beryl Masdiary 23 Februari 2012Kemana anak-anak? pikirku sambil menuruni tangga rumah panggung yang dibuat dari kayu kelanggo, salah satu kayu terkuat di Tambora, yang sempat diambil dalam jumlah besar-besaran, pada maraknya ilegal logging di tahun 2005. Pekarangan rumah yang biasanya ramai oleh panggilan mereka kini tak menyisakan suara, apalagi saat ini musim tanam, hampir semua warga desa menginap di gubuk ladangnya. Sampai di sekolah, pertanyaan saya terjawab dengan celotehan dan lari-lari kecil para murid. Masih 20 menit lagi jam masuk sekolah, tetapi mereka sudah menyapu kelas dan menghapus papan. Saya tersenyum kecil. Baiklah, saya kalah pagi dengan mereka pagi ini.
“Ibu Riri, jadi kita lari ke pantai?” Rafi, the most sporty boy bertanya antusiasi. “Semua sudah siap? “Sudah.... Yeaaayyy!”, teriak mereka. Kompak bertraining biru, kami menyusuri kebun jambu yang berlatar pulau cantik ditimpa kemilau matahari. Bau training baru yang khas mengiringi derap semangat dan tawa riang mereka, menyuruhku segera menyusul. Sampai kapanpun kaki anak-anak pesisir yang biasa berlarian di pasir tak akan terkalahkan oleh pejalan aspal. Hari ini adalah hari bahagia versi sederhana mereka. Untuk pertama kalinya sejak sekolah didirikan, baru hari ini mereka punya seragam olahraga.
Di minggu yang sama “Ibu, boleh saya pinjam kartu baca, buku cara membaca dan spidol ibu?” Ibu Yuni, guru sukarela termuda yang selalu bersemangat bertanya padaku. “oh, boleh sekali, kamu jadi kasih les di rumahmu? “iya, habis rumah saya kan jauh dari sekolah, jadi ga selalu bisa bantu Ibu Riri, biar saya kasih les baca aja ke anak kelas 2 ya, bu?” Senyumku mengembang. “Ya boleh banget, aku tetep pegang kelas 3 nya ya, yun.” Setelah sempat berpartner untuk mengajarkan calistung pulang sekolah, kini Ibu Yuni mengajar sendirian anak-anak kelas 2. Dia sudah tahu polanya, berikan latihan selang seling antara membaca, menulis dan menghitung secara tematik, dan masing-masing anak harus menyetor bacaan. Satu perpanjangan tangan itu memperingan langkah. Sebelumnya, di semester pertama seorang guru pun ikut memberikan ekstra pelajaran persis seperti yang saya ajarkan di sekolah. Senangnya bisa dibantu. Saya yakin jika makin banyak guru yang peduli, si anak pun bisa makin cerdas.
Memasuki bulan dua, hujan jadi lebih sering menyapa Labuan Kananga. Sejak pagi pasir sudah lunak karena terlalu banyak menyimpan air. Pak hujan sedang murah hati hari ini, sampai mengalahkan kemurah hatian Ibu matahari. Khawatir murid-murid tak bisa datang ke masjid untuk shalat maghrib berjamaah, aku mempercepat langkahku. Setelah mempraktekkan resep ikan goreng balado yang disukai hostfamku, rintik senja bulan Januari menjadi bingkai sempurna pemandangan di depanku. Lihat, murid-muridku, tak kurang dari 15 orang, telah berjejer rapi, bersiap shalat maghrib. Mereka adalah tim sukses kampanyeku, gerakan maghribmengaji, duta cilik ayat-ayat Allah yang telah mengganti baju berisikan pasir dan noda jambu mente dengan piyama dan mukena bersih. Mereka tak perlu menjemputku ke rumah, kawan. Mereka percaya gurunya akan datang, yang juga lalu menyadarkanku akupun harus mempercayai mereka. Jika wajahku terlihat lelah, mereka akan dengan sigap bersuaha memijat kaki dan tanganku. Sambil bilang, “Coba ibu Ririn ndak pergi di Jakarta.” Tapi temannya yang lain bilang, “Memangnya ibu Ririn ndak kangen sama mamanya?” satu lagi menyahut, “kan Ibu Ririn sudah berjanji akan datang begitu kita mau SMA. Dengan bawa anak dan suaminya, ya kan Bu?. “Kalau mengajar bahasa Inggris, serahkan saja sama saya... saya kan nanti jadi guru bahasa Inggris pengganti Ibu Ririn.” “huuuuu....ibu riri ro, nggomi? –memangnya kamu ibu riri!.” teman-temannya kompak menyoraki. Aku tersenyum kecil mengingat janjiku pada mereka. Kelak aku harus melihat mereka terang dengan cara mereka masing-masing.
Sudah dekat menuju UAN SMP, para anak kelas 3 lebih sering datang ke rumah. Latihan soal butuh ekstra sabar dan intensif, mengingat rata-rata mereka hanya mengetahui 10% kosakata dari kesleruhan teks yang dijadikan bahan pertanyaan. Sudah hampir dua minggu mereka tak datang lagi ke rumah. Satu anak mengabarkan, “Ibu, sekarang kami belajar juga degan Ibu Julaiha.” “Oh, bagus!” sahutku. Aku jadi ingat binar mata Ibu guru itu waktu mengetahui sebagian besar anak-anaknya belajar bersamaku. Alhamdulillah, guru muda itu kini sudah tergerak untuk juga memberikan ekstra pelajaran. Semester kedua ini aku cukup sering bulak balik ke Bima untuk event kabupaten. Senang mengetahui anak-anak tetap belajar. Tidak tergantung dengan satu guru.
“Ibu nanti sore kita pergi mengaji di baba helo! Mau dilatih pergi di MTQ!” “Wah, yang rajin ya.... kalian pasti bisa jadi juara! Nanti ibu datang”. Senyum mengembang di hati dan mulutku. Kalian lah yang akan membangun desa tertua ini. Kecamatan yang terluas ini. Kehadiranku hanya setahun, merekalah penguasa tanah Kabupaten yang terletak di ujung timur pulau Sumbawa ini. Pengajar Muda hanya sedikit membantu, mengetuk kesadaran dan bersama-sama ingin membangun bangsa. Kuharap akan ada lebih banyak lagi guru dan orang tua yang peduli. Jejak Indonesia Mengajar sesungguhnya terpatri pada langkah kolektif warga, terutama guru dan orang tua, bagi para pejuang cilik mereka. Sebab, kepada anak-anaknya lah mereka akan menitipkan masa depan bangsa ini.
*Ana ita = Anak anda
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda