info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Kami juga anak Indonesia!

Beryl Masdiary 1 Maret 2012

Bulan pertama mengajar.

Siapa yang tahu nama negara kita?

"Doro Le'de!!" kompak mereka menjawab

"Nak, Doro Le'de itu nama dusun kalian. Ayo, siapa yang tahu?"

"Bima!" tak kalah kencang

Baiklah, SK KD PKn harus di revisi sesuai standar yang ditemukan.

Mereka semangat. Mereka polos dan apa adanya. Mereka kritis.  Mereka suka sekali bermain dan membaca. Mereka adalah murid-muridku. Permata jiwaku setahun ini. Anak-anak yang mengisi waktu terbanyak dalam hidupku di Tambora, desa Labuan Kananga. Tak ada pagi tanpa tawa mereka, tak ada siang tanpa teriakan dan tatapan mata mereka, tak ada malam tanpa panggilan mereka untukku.

Mereka, lain sekali dengan mereka. Mereka tenang, mereka berhias mata indah, ingin mengetahui dunia tapi tak tahu mau kemana. Mereka ingin tahu, tanpa mereka tahu bahwa merekalah pemilik masa depan.  Mereka adalah murid kelas jauhku di Doro Le’de, suatu bukit gersang yang dulunya menghasilkan banyak sekali le’de- ketela. Doro sendiri berarti gunung. Diawali dengan kebun jambu mente dan diselingi dengan kebun jagung dan diapit oleh pemandangan indah laut flores dan pulau satonda, terdapat satu perkampungan Dou – orang – Lombok. Hanya terdapat 30 kk yang tersebar di 3 sudut berbeda. Rata-rata dari mereka berladang, dan semua anak bersekolah di kelas filial SDN 01 Labuan Kananga, yang masih beratap ijuk dan berdinding kayu. Pak Amir, satu-satunya guru sukarelawan yang mengajar hampir semua mata pelajaran, harus mengetuk pintu satu-satu setiap pagi, membujuk anak-anak bersekolah. Orang tua mereka yang sibuk di ladang menyuruh anaknya pergi sekolah tanpa harus repot-repot memandikan atau menyiapkan sarapan. Mereka juga murid-muridku, yang memanggilku dengan bahasa Indonesia, tapi baru merespon jika sedikit-sedikit aku berbicara bahasa lombok. jaraknya hanya 4 km dari desa tempat aku diminta kepala UPT tinggal, tetapi dengan jalan yang lurus curam, ketiadaan listrik dan sedikit sekali orang, keadaan kampung itu tak ubahnya seperti cerminan ketenangan sekaligus rasa sepi yang sempurna. Teriakan anak berceloteh riang, ingar bingar musik, atau suara kendaraan bermotor bukan suara yang mendominasi. Satu-satunya pemilik motor adalah Ketua RT-nya, yang hanya mau menyala jika ia sedang ingin (baca: si jago mogok) dan sering kehausan karena jarang diisi bensin. Tapi daerah ini juga rumahku. Karena aku memutuskan untuk berada  5  hari di bawah (desaku), lalu 2 hari di atas (Doro Le’de), untuk mengejar ketinggalan dan menyampaikan titipan cahaya dari Indonesia Mengajar.

Aku mulai menerapkan pola tersebut 3 bulan setelah penempatan. Dengan suplai vitamin dan minyak tawon, aku mulai hapal dengan ritme orang-orang yang bekerja disini.  Mereka berladang hingga siang, lalu beristirahat dan kembali ke ladang sampai menjelang maghrib. Setelah maghrib, anak-anak mengaji dan kerlip pelita menjadi pengharapan karena bisa mengerjakan hal-hal lain. Anak-anak itu mungkin tak butuh bahasa Inggris, karena mereka jarang sekali bertemu turis dan mereka luar biasa pemalu. Aku saja harus akrobat dan berbicara lamat-lamat jika ingin mendapat senyum dan pengertian. Merek membutuhkan satu hal baru yang membuat mereka memiliki kesibukan. Ya, matematika dan ilmu alam. Maka aku mulai membuka kitab matematika dan sains yang mungkin terakhir benar-benar kubuka pada zaman seragam putih abu-abu. Aku berupaya membuat mereka memandang dunia bukan hanya dari berapa banyaknya hasil panen Ladang orang tua, tetapi juga bagaimana menghitung hasil panen dan mengetahui mengapa musim tanam sekarang berubah. Bermain dengan matematika dan membuat percobaan IPA.  Dengan kaki telanjang yang kuat dan sosok ramping, mereka dengan lincah menunjukkanku jalan rahasia di sepanjang kebun, atau memetik jambu untukku. Waktuku tinggal sebentar, hanya 5 bulan lagi, untuk mengharmonisasikan kedua energi Tambora, sebagai jejak Indonesia Mengajar.

Bulan ke 6.

"Apa nama negara kita?"  tanyaku penuh harap. "Indonesia!! jawab mereka

Langsung kusambung , "Anak Indonesia...??" mereka menjawab riuh, "cerdaaaas, semangaaatt,, ceria!"


Cerita Lainnya

Lihat Semua