My Name is Ipul

Beryl Masdiary 5 Januari 2012

Boleh ibu tau nama kamu? Cou ngara nggomi? –siapa namamu? “Ipul”, dengan senyum malu-malu khas anak Bima. Anak itu secara fisik tidak istimewa, tapi segera dengan cepat kutemukan bahwa senyumnya innocent dan matanya cerdas. Seperti kebanyakan anak-anak disini, kulitnya gelap karena sering terpapar sinar matahari. Walaupun mengaku suka makan, aktivitas fisik tanpa henti membuat lemak tidak tampak sedikitpun dari tubuhnya.

Di bulan-bulan pertama, segera setelah saya mengajak anak-anak berkunjung ke rumah hostfam untuk les dan membaca buku, Ipul adalah tamu perdana yang juga menggerakkan teman-temannya. Selalu datang lebih awal membuatnya memiliki kesempatan mengetahui segala hal lebih dulu dibanding teman-temannya. Daya tangkapnya cepat, ingatannya kuat, dan ia memiliki cara bertutur yang runut dan kocak, sehingga bahkan teman-temannya yang paling aktif sekalipun akan menghentikan pekerjaannya jika Ipul yang maju ke depan. Ia cerdas tanpa mendominasi, pintar dan senang berbagi, menguasai pelajaran, tapi tidak “menguasai” teman. Ia selalu penasaran dengan banyak hal, mencatat dengan sangat rapi, dan memperlakukan buku semacam harta karun, selalu antusias dan dijaga baik-baik. Dalam jurnal pagi, pernah ia mengaku marah dengan teman-temannya yang membuat ia pulang kembali karena meyakinkan bahwa aku tak ada di rumah sehingga les diabatalkan, padahal anak-anak itu belum memanggil aku. Ipul adalah tangan kananku di kelas dan selalu berada dalam radarku, karena ia bisa menjaga fokus dan meneruskan kepercayaan itu dengan menertibkan teman-temannya yang ramai di kelas. Dengan kredibilitas yang tinggi sebagai ranking 1 yang tak tergantikan di kelas, teman-temannya menurut tanpa protes.

Pernah kulihat sendu wajahnya, jawaban sedih yang diungkapkan dalam suara nyaring itu membuatku mengerti bahwa ia rindu segala hal dari mamanya, yang belum juga pulang dari rutan padahal sudah lewat dari masa tahanan. Kuajak ia bercerita tentang mamanya, lewat hal yang disukainya, rangkaian kata dan jalan cerita. Ia bercerita dua halaman penuh, dan terlihat lega sekali ketika menceritakan kembali. Rasa terima kasihnya ia ungkapkan lewat layanan delivery nangka dari kebunnya. “Ini ibu, katanya ibu suka nangka!”, sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Selama 4 bulan sisa tahanan ibunya, tempat pertama yang ia tuju setelah makan siang adalah rumah keluarga angkatku, di mana ia selalu menagih soal dan tak akan pulang sampai aku memintanya untuk mandi dan bersiap shalat maghrib. Air mataku merebak sesaat melihat ia diam-diam menggambar aku menggandeng tangannya dan menulis “Ibu Riri baik seperti mama saya”. Ia bersikeras ingin menjadi pemain bola, tetapi juga melihat dirinya kelak sebagai pemilik hotel dan restoran, pendaki gunung Tambora dan pengunjung candi Borobudur, sampai menjadi prajurit dari Ibu Riri yang menjadi ratu, dalam goresan gambar yang bermakna. Saat lari pagi bersama murid kelas 4, dengan cepat ia menggoreskan ranting di atas pasir, berkata dalam gambar “Ini Ipul dan Ibu Riri yang baik hati karena suka bermain dengan anak-anak.”, lalu lari malu begitu aku menghampirinya. Hahaha.... berkali-kali ia menghangatkan hatiku.

Mimpi Ipul adalah bisa berkuliah. Sebagai anak bungsu dari kakak-kakanya yang usianya terpaut jauh, Muma dan Inanya mengarahkan dan mendoakan anak tersayangnya supaya bisa berkuliah dan menjadi sarjana kebanggaan keluarga. “Muma saya bilang saya disuruh kuliah ke Mataram nanti, tapi saya mau sekolah sampai di Jakarta. Saya mau belajar lagi sama ibu seperti waktu ibu muda, lalu kita makan ayam goreng yang enak... dan pergi ke kebun teh. Ibu nanti pakai baju bagus yang saya kasih.” “Amin.... Ipul pasti bisa. Kalau begituselain belajar yang rajin, Ipul juga harus rajin sholat dan berdoa.” Ia bersungguh-sungguh dengan ucapannya, Ipul satu-satunya murid lelaki di pesisir yang sudah lancar membaca Al-qur’an dan tak pernah absen datang ke masjid. Menjadi favorit ustadz di desa tak membuatnya besar kepala. Ia adalah satu-satunya anak lelaki berusia 10 tahun yang tahan duduk bersila mendengarkan ceramah dengan tekun di saat teman-temannya mengantuk.

Suatu ketika, setelah sesi bahasa Inggris yang seru, Ipul menggambar gedung tinggi yang dilihatnya dari Pearson’s reading street donasi Indonesia Menyala, menulis dengan spidol warna kesukaannya “Ibu, saya doakan semoga ibu panjang umur dan bisa mengajar di Amerika seperti cita-cita ibu, nanti ibu bisa makan yang enak dan melihat pemandangan yang indah.... tapi jangan lupakan kami di desa Labuan Kananga ya bu... saya mau minta foto ibu dan nomor henpon ibu, jadi nanti kalau Ibu pergi lalu saya kangen, saya bisa telepon ibu sambil lihat foto ibu.” Hahaha.. mengingatnya selalu membuatku tersenyum. Diam-diam aku mencatat dalam hati, aku berjanji akan mengupayakan mata cerdas itu dapat bicara dengan Presiden suatu saat nanti.


Cerita Lainnya

Lihat Semua