info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Hanya satu Ramadhan di Kananga

Beryl Masdiary 13 Januari 2012

Catatan ini sudah lama kutulis.

Ramadhan 2011 adalah satu bulan spesial yang menghadirkan banyak rasa di kepalaku.  Mengapa di kepalaku? Karena aku hampir tak bisa membedakan mana yang pikiran, mana yang rasa. Semua bercampur. Datang silih berganti layaknya braga yang tiap pagi bergiliran mencari ikan di tepi laut flores.

Kali ini, pertama kalinya aku bangun memasak sahur untuk keluarga, melahap sayur ro’o perongge yang pahit, sambal jambu mente, dan  palumara uta kamoa yang asam segar. Terpisah dari orang tua untuk pertama kalinya pada Ramadhan menimbulkan melankoli tersendiri bagiku. Lupakan es buah, daging sapi balado favorit buatan ibu, atau buka bersama dengan teman-teman di restoran mewah. Buatku, menghabiskan waktu bersama anak-anak Tambora dan keluarga angkat adalah kesempatan yang takkan terulang di tahun berikutnya.  Dengan berbekal ‘jadilah kopi’ dan ‘be a star wherever u go’ saya menikmati lampa-lampa sore di tepi pantai, membakar ikan bersama, atau sholat subuh di masjid dekat rumah bersama angin barat yang bertiup kencang.  Sebagai seorang gemini sanguinis, saya tidak suka sendirian. Saya selalu ingin punya seseorang untuk berbagi, untuk berjalan bersama.

Puji syukur kepada Allah yang maha pemurah, saya tidak pernah benar-benar sendirian. Dengan 10 kakak beradik dan saudara sepupu yang tinggal berdekatan. Rumahku tidak pernah benar-benar sepi. Apalagi murid-muridku juga tinggal berdekatan, yang setiap saat bisa datang kerumah untuk menjemput ke sekolah atau ke masjid. Semua orang di Bima tersenyum lega begitu aku menyebutkan desa dimana aku tinggal. Labuan Kananga adalah desa yang menjadi pusat pemerintahan kecamatan, telah hidup selama lebih dari seratus tahun, yang melahirkan generasi yang kemudian membangun desa baru di tempat-tempat lain. Semua orang terhubungkan satu sama lain dengan pertalian darah, dan satu berita personal bisa menjadi berita satu keluarga, satu RT, satu dusun, satu desa. Di desaku, dengan mudah bisa kudengar lagu avril lavigne dan suara motor honda mega pro, suara pemeran Khadijah menangis sedih, dan lagu-lagu top ten berbahasa Bima di minggu siang yang berlistrik selama 3 jam. Puskesmas, kantor polisi air dan poliklinik desa mengapit rumah panggung ina amaku, dan rumah-rumah berlantai keramik serta  parabola juga mendominasi. Kalau aku duduk di pantai menatap Satonda , Tanjung Beranti dan Moyo- pulau yang sempat disinggahi Lady Di pada masa sedihnya- dengan jelas kutemukan BTS XL, tak seberapa jauh dengan sinyal Telkomsel di Kantor kecamatan yang hanya berjarak sekitar 200 m .

Kupikir dengan keadaan segembira itu harusnya dengan mudah kutemukan keluarga yang suportif terhadap kemajuan anaknya. Tetapi memang komitmen itu mahal harganya. Apalagi untuk yang sifatnya abstrak dan berjangka panjang seperti pendidikan. Tetapi yang kutemukan adalah anak-anak yang tak terurus, buku yang mencampur semua pelajaran, alat tulis gaya minimalis, dan orang tua yang tak peduli anaknya sudah pintar membaca atau belum.

Pada Ramadhan lalu, saat saya menggagas kegiatan Ramadhan di sekolah dan di masjid, partisipasi masyarakat beragam. Ada yang antusias, ada yang ignorant. Semua itu membuatku melihatpenduduk desa ini lebih dekat. I didn’t just live the way they live, eat what they eat. Aku berkenalan, pendekatan, berkerja bersama. Ramadhan 2011, pertama kalinya anak-anakku tampil dan memenangkan juara shalawat dan cerdas cermat. Sudah saatnya SD 1 Labuan Kananga bangun dari tidur panjangnya. Bukan aku yang membangunkan. Kami hanya perlu saling mendengar, lalu memulai dan meneruskan berbuat sesuatu. Dan di tanah yang dulu menjadi titik perdagangan laut Tambora pada abad 18 ini, petualanganku dimulai.


Cerita Lainnya

Lihat Semua