Jangan takut, nak!

Beryl Masdiary 23 Desember 2011

Pagi ini dingin sekali. Membekukan tulang dan meniupkan semilir tak biasa di tengkuk dan telapak kakiku. Pasir basah, tak panas dan kering seperti biasanya.  Aku terjaga, mencoba mencerna  apa yang sedang kuhadapi, di tanah yang dulunya paling subur dan sempat menjadi kerajaan raksasa.  Buku English for Kids yang tergeletak di lemari tak jauh dari tempat tidurku mengingatkanku pada malam itu, malam dimana seseorang berteriak kencang di speaker masjid terdekat, lalu diikuti oleh teriakan-teriakan lainnya. “ada maling di kios!” kata seseorang.

“kejaaarrr..... tangkaaappp....” kata yang lainnya. Kami sedang duduk melingkar ber  12 waktu itu, saya dan 11 murid ekstra bahasa inggris di rumah keluarga angkat. Sebelum malam itu, terjadi pengeboman dan penusukan seorang polisi oleh beberapa orang yang dilabeli sebagai teroris. Sontak anak-anak berteriak, memegang tangan saya dengan refleks, memasang  wajah khawatir. Mereka takut sekali itu salah satu teroris yang dipercaya melarikan diri ke gunung Tambora. Saya harus berkali-kali menenangkan, mengajak berdoa bersama, sampai akhirnya membuat mereka tidur satu kasur besar dengan jaminan “Ibu membawa pisau lipat di kantong Ibu. Kalau ada orang jahat mendekat, langsung ibu tusuk!”. Begitulah, mereka bilang, “Ibu hati-hati, lebih baik kami yang mati daripada Ibu yang mati.” Saya menyambung, “tidak ada yang akan mati disini, karena semua anak baik, pemberani , dan rajin berdoa kepada Allah.”

Pencurian kerap terjadi hingga dua minggu kemudian. Dandim Bima menelepon, meminta saya menyampaikan kepada teman-teman bahwa Tambora masih aman, jauh dari incaran pengeboman apalagi teroris, karena gembong-gembongnya sudah ditangkap. Paling mungkin, pelarian yang kabur ke Tambora itu hanya mencuri, untuk bertahan hidup. Namun, seperti yang saya sampaikan ke beliau, masyarakat sudah terlanjur resah.... juga anak-anak. saya tidak gentar sedikitpun, “mungkin karena di kampung orang, jadi tak terasa.” Kata adik angkatku. Lalu ide-ide pun datang dengan lancarnya disini, bahkan ketika saya pertama kali menggoreskan spidol untuk belajar ekstra atau mengisi kelas yang tiba-tiba ‘dihibahkan’ kepada saya. Saya mengajak anak-anak mengumpulkan botol kecil, sekitar seukuran botol pulpy orange, lalu mengajak mereka mencampur bahan yang ada dan membuat  ‘ramuan’ anti teroris sendiri. Untuk perlindungan diri! “Iya Ibu saya mau ginikan itu teroris!.” Har, murid kelas 4 yang paling aktif dan semangat menirukan gerakan menendang dengan sekuat tenaga. Saya berprinsip saya tidak boleh terlihat takut di depan anak-anak. Hanya agar mereka merasa aman di kampungnya sendiri.

NTB sudah menempati posisi ke 2 sebagai provinsi rawan teroris, kata salah satu rekan guru. Desa menjadi lebih cepat sepi di malam hari, dan orang tua melarang  anaknya keluar malam, bahkan hanya untuk keluar 20 meter bersama teman-temannya belajar ekstra. Kemarin siang saya pulang terlambat dari sekolah untuk rapat kegiatan ramadhan, ternyata saya disambut dengan curhatan orang serumah, terutama Ina, yang luar biasa mengkhawatirkan saya, karena takut dibawa teroris. Ina berkali-kali bilang, ‘jangan mau ya anaro kalau diajak pergi, pulang ke rumah dulu... “ seakan saya masihb berseragam merah putih. Namun,  saya menganggap perhatian itu manis dan saya meyakinkan diri untuk tetap berhat-hati.  Selama saya masih melihat air laut yang tenang, orang Lombok berjualan sayur dan anak-anak bermain di laut pada sore hari, saya yakin saya dilindungi Tuhan di pangkuan sebelah timur ibu pertiwi , di tempat saya mendapat kehormatan untuk mengabdi.

*tulisan ini dibuat di Bulan Juli 2011


Cerita Lainnya

Lihat Semua