Inilah Yang Harus Kau Ketahui Tentang Hakikat

Benediktus Kristiantoro 25 November 2011

   Lihatlah gambar yang kusertakan di atas tulisan ini, kawan! Apa yang kau lihat? Potret kekayaan dan kemiskinan? Perbedaan? Lalu dari sudut pandang mana kau memaknai hakikat dua hal tersebut?

   Kawan, tulisanku ini bukan tentang mengangkat potret perbedaan kesejahteraan manusia. Tidak! Tulisanku ini juga bukan menjustifikasi sesuatu hal yang dalam norma kita itu adalah buruk! Tapi tahukah kau kawan, segala hal yang kita ketahui di dunia ini sebenarnya kita terima begitu saja, tanpa melihat makna hakikatnya dari sudut pandang yang mendekati hakiki? Lalu jika kau bertanya, apa yang kuketahui tentang hakikat yang hakiki, terus terang saja aku menjawab tidak ada! Tapi setidaknya aku telah mencoba keluar dari kotak-kotak taken for granted yang selama ini aku terima.

   Kawan, aku hanya mencoba mengajakmu sejenak keluar dari apa yang telah membelenggumu, pengetahuanmu yang telah kau terima dari mana dan siapa saja selama ini. Kau boleh saja mengacuhkan tulisan ini setelah selesai kau baca, tapi ijinkan buah pikirku ini meracuni pikiranmu untuk sesaat, setidaknya sampai kau bisa melihat suatu yang hakiki keluar dari kotak pengetahuanmu, barang sekejab saja.

   Kawan, ketika sebelum aku diterbangkan kemari, ketika aku baru saja tahu aku akan ditempatkan di Halmahera Selatan, aku sangat bangga bisa mengabdi ke pelosok paling jauh di antara lima daerah penempatan kami, Pengajar Muda. Entah apa yang aku pikirkan ketika aku bersimpuh pada kedua lututku, bersujud mencium tanah, karena yang aku tahu aku akan berada di tempat yang tidak banyak orang bisa pergi ke sana. Atau bisa saja yang ada di kepalaku adalah pikiran mengenai kebanggaan mengabdi di tempat yang masyarakatnya jauh dari ibu kota. Singkatnya, jarak menciptakan kesenjangan akses. Ekonomi. Sosial.

   Tahukah kau kawan, ketiga mataku terbelalak ketika aku jatuh dalam sebuah kesadaran atas peristiwa yang aku alami dua hari yang lalu. Ya ketiga-tiganya! Dua mataku, dan mata hatiku. Dengan sekuat tenaga aku menahan butiran-butiran yang hendak menyeruak keluar dari mataku hanya saja aku melihat tawa riang kesepuluh murid-muridku yang hendak mengikuti acara penyuluhan cuci tangan di SD Inpres Bertingkat Mandaong. Mengapa? Begini ceritanya. Seperti biasa, aku datang pagi sebelum pukul 7.30 pagi waktu masuk sekolah, dan aku segera menuju ke kantor guru untuk bertemu dengan kepala sekolah terkait jadwal ujian semester. Setelah urusan jadwal selesai dibicarakan, Pak Kepsek memintaku untuk ikut mengantarkan murid-murid ke SD Inpres Bertingkat Mandaong jam 9 pagi. Aku segera mengiyakan permintaan Pak Kepsek. Sebelumnya Pak Kepsek juga meminta bantuan Pak Udin untuk mengantarkan, juga Bu Irma yang didaulat untuk memilih sepuluh orang murid sebagai perwakilan SDN Papaloang. Hal pertama yang membuatku terdiam mematung sesaat adalah ketika Bu Irma dan Pak Kepsek menyepakati untuk memilih murid-murid yang berpenampilan rapi, bersih, dan tidak ada noda kotor di pakaian mereka. Samar-samar juga kudengar Bu Irma berkata kepada Pak Kepsek bahwa banyak murid di sini yang bajunya tidak dicuci, banyak noda, dan sebagainya. Aku baru bisa sadar dari keterpakuanku ketika Pak Kepsek berkata bahwa memang seharusnya dipilih siswa yang rapi dan bersih, karena acara ini adalah acara mengenai kebersihan diri, jadi  malu jika mengirimkan murid yang penampilannya tidak rapi dan bersih, atau dekil dalam bahasa kota. Masuk akal.

   Tepat pukul sembilan, aku mengantarkan kesepuluh muridku ke SD Inpres Bertingkat Mandaong. Aku membonceng tiga murid putri. Dalam perjalanan kami melantunkan lagu Terima Kasih Guruku karya AFI Junior dan tak lama kami sampai juga di SD tujuan. Jangan heran, meskipun SD ini menyandang gelar "inpres (instruksi presiden)" penampilannya tidak seperti gelarnya itu. Ini kali pertama aku masuk ke SD Inpres Bertingkat Mandaong. Kali pertama. Sebelumnya aku hanya pernah lewat di depannya sekali, tanpa membaca papan sekolahnya, dan PM 1, ayu, hanya menyebutkan nama SD Bertingkat saja, tanpa gelar Inpres. Apa yang kau pikirkan ketika mendengar kata Inpres, kawan? Dinding dari papan kah? Atau lapangannya yang penuh dengan semak belukar dan berlumpur? Atau tergambarkan seperti SD Muhammadiyah di film Laskar Pelangi? Tidak kawan, tidak seperti yang ada di sini. SD ini memiliki fasilitas yang bisa dibilang (me)wah. Lapangannya berplester semen dihiasi cat bak lapangan olah raga di gedung olah raga. Dindingnya terbuat dari bata dan semen kokoh dan bertabur lukisan mural tentang bilangan, huruf, bagian-bagian tubuh, dan lain-lain. Gedungnya megah bertingkat dua, lengkap dengan gedung laboratorium, dan di tepi-tepi lapangan tersedia beberapa gazebo yang siap melindungi dari terik matahari. Di setiap sudut sebelum menuju ruang kelas, tersedia keran air permanen lengkap dengan tiang serbet dan sabun untuk cuci tangan. Murid-muridnya berseragam rapi disetrika dan bersih, tanpa noda. Beberapa dari mereka terlihat membawa tempat minum sendiri.

   Acara dimulai di dalam sebuah ruang kelas yang besar. Di dalamnya berkumpul perwakilan-perwakilan murid-murid dari beberapa sekolah di Kecamatan Bacan Selatan, dan sebagian besar dari mereka memiliki seragam sendiri - yang terseterika dengan rapi dan bersih tentunya. Tidak perlu membedakan dengan anak-anak Ibu Kota, di tempat ini pun ternyata oposisi biner itu pun ada. Fakta.

   Aku menunggu di luar sambil memainkan kamera sakuku. Hanya kupandangi. Kulihat foto-foto murid-muridku beberapa hari belakangan ini. Mereka terlihat sangat ceria, sangat, meskipun debu menempel di pipi mereka, peluh setelah selesai bermain atau ingus yang tidak dibersihkan. Lalu kulihat kesepuluh muridku dari kejauhan, tidak ada mimik muka minder tersirat dari wajah mereka. Yang ada justru tatapan mata mereka yang serius memperhatikan pembicara menyampaikan materi kebersihan diri. Ya, meskipun mereka tidak lebih rapi dari teman-teman sebayanya dari SD lain. 

   Masih duduk termenung, aku melayangkan pikiranku, bertanya-tanya pada yang empunya alam semesta, apa sekiranya yang dipikirkan oleh orang-orang di luar sana ketika melihat sendiri keadaan seperti ini? Iba? Kasihan? Sedih? Tapi kenapa? Ahhh, aku tak kuasa menahan butiran air meleleh dari mataku, aku merasa berdosa karena telah berpikiran demikian, aku sama saja dengan orang-orang yang suka membandingkan, kaya-miskin, bersih-jorok, rapi-kucel, atau apapun oposisi biner yang mereka ciptakan. Aku memaki diriku sendiri karena aku jatuh kedalam kotak-kotak itu. Aku harus segera keluar dari belenggu tersebut!

  Inilah yang ingin kuberitahu padamu kawan, bahwa semua diciptakan itu sudah sesuai jalanNya. Berhentilah mengecam seseorang itu miskin atau jorok, atau dengan istilah apapun yang kau ciptakan kau ucapkan. Aku tersadar bahwa mereka ini tidak berbeda! Murid-muridku boleh saja berbaju kumal, dengan noda-noda bekas ingus di lengan bajunya, bersahabat dengan debu dan pasir selepas bermain. Jangan mengecam orang tua atau gurunya yang tidak pernah mengajari kebersihan pada mereka, atau melihat mata pencaharian orang tua mereka yang hanya sebagai petani gula aren, bekerja di kebun setiap pagi, siang dan sore sehingga membiarkan anak-anak mereka bebas bermain hingga kotor. Biar saja mereka kotor, setidaknya mereka pernah menembus hutan dengan tangan-tangan kecilnya hingga menemukan sungai dan belajar menangkap udang di sana, biar saja mereka berguling di atas pasir hingga ketangkasannya bermain bola dan kasti terasah dengan baik. Inilah kawan yang kukatakan sebagai sebuah hakikat yang hakiki, jangan kecam mereka miskin, karena meski pekerjaan orang tuanya hanya petani gula aren, tapi dari tangan mereka bisa dihasilkan gulali dan es lilin kacang hijau yang lezat dan selalu disantap oleh kebanyakan murid-murid SD di Halmahera Selatan, bahkan murid SD unggulan sekalipun! Jangan kecam anak-anak itu kotor dan jorok, karena bisa saja meski hanya nol koma sekian sekian persen kemungkinan kau memakan udang dari hasil tangkapan tangan kecil mereka, atau ketika sepuluh tahun lagi kau menonton TV, kau melihat nama-nama mereka menjadi atlet sepak bola dan atlet kasti kebanggan Republik hasil dari jerih payah mereka selama ini terus berlatih dan bersahabat dengan terik, debu dan pasir yang melekat di tubuh dan pakaiannya.

   Kawan, jika kau sudah sampai membaca pada baris ini, cerita ini aku akhiri, ijinkan sekali lagi aku meracuni pikiranmu, tentang arti dari semua ini, secuil rahasia hidup yang kubagikan padamu tentang apa yang telah kuketahui tentang hakikat yang hakiki, bahwa puas dengan apa yang telah dimiliki, itu adalah kekayaan yang sesungguhnya. Selama seseorang terus-menerus masih mendambakan sesuatu yang lebih dalam hidupnya, itu adalah kemiskinan yang sesungguhnya. Usaplah air matamu dan tersenyumlah kawan, syukurilah apa yang telah kau miliki, bahwa sebenarnya hidupmu indah, bermanfaatlah bagi orang lain, karena hari ini serta esok juga masih terbentang untukmu.

 

   Salam, sahabatmu,

   B. Dwi K. Nino

   Pengajar Muda Angkatan III


Cerita Lainnya

Lihat Semua