Aku, Teman-Teman Ku dan Mimpi-Mimpi Ku: Kami Pasti Bisa
Andrio 22 November 2011“It’s all about US, not about ME,” kata-kata yang masih membekas di benak saya didapat dari training intensif dua bulan Indonesia Mengajar untuk membangkitkan semangat kebersamaan di antara kami dan sifat saling membantu satu sama lain; tidak mengabaikan orang lain dan merasa senang untuk maju bersama sebagai satu kesatuan yang utuh.
Kertas-kertas penjaga mimpi
Tiba-tiba saja ide baru hadir di pagi yang cukup cerah ini. Saya membatalkan rencana awal untuk menulis surat bagi tiap-tiap siswa kelas 6; menulis pesan-pesan saya bagi mereka. Kertas-kertas surat berlambang cinta yang didominasi warna merah itu pun saya bagikan pada setiap anak. Nah, setiap siswa nantinya akan menuliskan kesannya terhadap siswa-siswa lainnya di kelas yang sama. Saya memberi kebebasan pada mereka untuk menyampaikan apa pun di kertas mungil itu. Di hari ini, saya memberikan kebebasan bagi mereka untuk mengekspresikan karakter diri melalui bahasa singkat.
Waktu beberapa menit pun dialokasikan untuk mengisi kertas-kertas tersebut. Setelah mereka semua menyelesaikan tugas, tiap-tiap siswa menempelkan double tape di balik surat-surat mereka dan mengantri menunggu giliran menempelkan properti masing-masing di papan tulis.
Ketika siswa terakhir menyelesaikan tugas tempel menempel, saya meminta tiap siswa menuliskan cita-cita mereka di bagian amplop dengan huruf kapital agar terbaca jelas. Di titik ini, saya ingin melihat perubahan cara pandang dan pola pikir mereka terhadap hal yang sangat krusial ini. Kenapa krusial? Karena hal “kecil” ini lah yang memberikan semangat dan ruh bagi mereka untuk tetap melanjutkan hidup.
Mimpi-mimpi ku
Di sesi ini, siswa-siswa saling berlomba mengacungkan tangan untuk menjadi yang pertama menuliskan mimpi mereka di kertas merah yang sudah mereka pajang. Satu per satu pun mulai maju dan menorehkan tinta pena penuh semangat disertai sorotan mata penuh keyakinan. Namun, ada juga beberapa siswa yang masih malu-malu untuk maju ke depan kelas. Tak apalah, namanya juga anak-anak.
Mimpi-mimpi telah ditorehkan dan saya pun ingin mengetahui latar belakang mengapa mereka kemudian beralih cita-cita. Seperti yang pernah saya tuliskan sebelumnya, ketika berkenalan dengan mereka, cita-cita yang keluar dari mulut mungil mereka “hanya lah” menjadi atlet olahraga, tidak terpikir cita-cita yang lain, bahkan tidak untuk menjadi seorang guru. Namun, saat ini mereka telah berani menuliskan dan berteriak dengan lantang bercita-cita menjadi dokter, guru, bidan, perawat, tentara, polisi dan seniman. Guru menempati posisi teratas sebagai cita-cita terbanyak yang dipilih siswa.
Kami pasti bisa
Di catatan berikut ini, akan saya paparkan cita-cita dua siswi beserta alasannya yang cukup menyentuh bagi saya di siang itu:
Nurdiana. Dia merupakan siswi yang cukup cerdas dan termasuk dalam tiga siswa peringkat teratas kelas 6. Di awal pertemuan dia berkata tidak memiliki cita-cita. Dan ia pun sempat bertanya apakah boleh seorang perempuan memiliki cita-cita. Saya pun hanya menjawab, “Kamu itu cerdas dan juara kelas, kamu pasti bisa. InsyaAllah. Ingat saja cerita si katak kecil ya. Jangan dengarkan perkataan pesimis dari orang lain.” Dan hari ini dia memilih guru sebagai profesi yang akan dia geluti karena dia sadar bahwa desanya ini masih kekurangan banyak guru dan dengan mengabdikan dirinya sebagai guru lah, dia dapat berkontribusi memajukan desa pesisirnya ini. Dalam bahasa sederhanya dia menyampaikan, “Biar desa saya maju Pak, ndak perlu tergantung sama guru dari Grogot (Ibukota Kab. Paser).”
Mirani adalah siswi yang kerap menjadi catatan bagi setiap orang baik di kelas maupun di masyarakat karena tingkah lakunya yang cukup berbeda dari teman lainnya sehingga banyak yang bilang dia anak “nakal”. Waktu banyak terbuang hanya untuk sekedar membujuk dia agar berani menuliskan cita-citanya di papan tulis. Bidan, itulah kata yang kemudian dituliskannya. Hanya dia lah yang menuliskan cita-cita ini di kertas merah itu. Teman-teman, pilihannya untuk menjadi bidan bukan karena asal pilih. Alasannya sungguh mulia: ingin menyembuhkan masyarakat Desa Bengkalo yang sakit, siap sedia kapan pun dibutuhkan dan tidak perlu mendatangkan bidan dari luar desa. “Saya juga ingin memajukan desa saya. Kami pasti bisa Pak.” Nah, Mirani bukan anak yang nakal bukan?
Banyak cerita lainnya dari 15 siswa yang hadir di hari ini. Namun, hanya cerita dua siswi yang dapat saya sampaikan saat ini. Semoga mimpi-mimpi mereka tetap terjaga dan bisa diwujudkan di kemudian hari. Kalau pun belum bisa, insyaAllah mereka dapat memahami arti pentingnya mimpi dan meneruskannya ke generasi berikutnya.
#bagi teman-teman yang ingin berkirim surat dengan mereka, sangat dipersilahkan untuk menghubungi saya. Satu surat yang dialamatkan pada mereka memberi jutaan makna bagi peningkatan kepercayaan diri mereka.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda