Dua Jam Lebih Cepat

Benediktus Kristiantoro 12 November 2011

     Pagi ini SDN Papaloang, sekolah tempat saya bertugas, melaksanakan kerja bakti membersihkan halaman sekolah yang cukup luas. Kemarin Bu Masfah, guru pelajaran agama Islam dalam apel pulang mengingatkan para murid untuk membawa peralatan kerja bakti. Yang mengagetkan bagi saya adalah ketika Bu Masfah mengancam akan memukul murid yang lupa membawa peralatan. Gurat kekagetan saya ditangkap dengan cepat oleh Bu Eni, yang kemudian mengatakan pada saya bahwa hal ini sudah menjadi kebiasaan di daerah ini, berbeda dengan di kota. Bu Masfah segera menimpali hal serupa. Saya mencoba untuk terlihat tetap tenang, meski tidak setuju dengan kebiasaan tersebut. Saya segera berdamai dengan hati saya dan tetap berpikiran positif menganggap bahwa ancaman tersebut hanyalah sekedar gertak sambal belaka. Saya meyakinkan diri bahwa ancaman tersebut diberikan supaya anak-anak tidak lupa membawa peralatan. 

            Setelah melakukan kerja bakti bersama para murid, saya menyuruh kelas III untuk masuk dan belajar seperti biasanya. Namun hari ini bukan hari yang biasa bagi saya. Saya merasa lebih semangat untuk menaklukkan hari ini, meskipun meriang menjamah tubuh saya dari semalam sehingga menyebabkan saya absen mengajar kelas membaca kemarin malam.

            Hari ini saya ingin menularkan semangat optimisme kepada murid-murid saya. Saya menyuruh mereka untuk duduk di muka kelas sambil mendengarkan saya bercerita sedikit. Di awal cerita saya menanyakan kepada mereka, jam berapakah mereka bangun tidur untuk menyongsong hari baru. Setelah sedikit berinteraksi dengan beberapa pertanyaan, saya mulai menggiring mereka masuk ke inti cerita. Saya menjelaskan bahwa di Halmahera Selatan, waktu berjalan lebih cepat dua jam dari pada waktu di Pulau Jawa. Saya meyakinkan bahwa matahari terbit lebih dulu di pulau ini ketimbang di Pulau Jawa, sehingga jelas bahwa mereka menyongsong hari baru lebih dulu dibandingkan dengan murid-murid di Pulau Jawa. Saya juga meyakinkan bahwa segala aktivitas yang mereka lakukan lebih dulu dibandingkan dengan aktivitas yang dilakukan oleh para murid di Pulau Jawa. Para murid mengiyakan penjelasan saya. Lalu saya bertanya, mengapa sebagian besar murid-murid di Pulau Jawa lebih maju dibandingkan dengan mereka? Kelas terdiam, para murid menggelengkan kepala. Tanda ketidaktahuan. Saya berkata kepada mereka, boleh saja sebagian besar para murid di Pulau Jawa itu memiliki segala akses kebutuhan pendidikan yang memadai dan fasilitas yang serba ada, tetapi jangan lupa bahwa yang mendasari hal tersebut adalah semangat kemauan belajar yang tinggi, tidak kalah dimiliki oleh para murid saya di Papaloang. Saya membakar semangat mereka bahwa mereka pun juga memiliki semangat yang sama dengan sebagian besar para murid di Pulau Jawa, dan saya menekankan bahwa mereka seharusnya bisa lebih maju dibandingkan dengan para murid di Pulau Jawa tersebut. Mengapa? Karena murid-murid saya bangun tidur ketika para murid di Pulau Jawa sedang tertidur lelap. Karena murid-murid saya sedang belajar di kelas ketika para murid di Pulau Jawa baru berangkat ke sekolah. Karena murid-murid saya pulang dengan berbekal ilmu baru yang diajarkan ketika para murid di Pulau Jawa sedang belajar di kelas. Mereka bisa lebih maju dari pada para murid di Pulau Jawa, karena di sini, di tanah tempat kami memijakkan kaki sekarang, waktu berjalan dua jam lebih cepat.

         Cerita diakhiri dengan sorakan para murid dan saya segera menjulurkan kelingking, meminta mereka satu persatu berjanji untuk belajar dengan sungguh-sungguh sampai melanjutkan kuliah di Pulau Jawa agar dapat bertemu kembali dengan saya dan Ayu suatu saat nanti. 

          Mengutip perkataan Abah Iwan Abdulrachman pada saat sesi terakhir pelatihan kami di Ciawi, saya berpesan kepada para murid saya bahwa hari ini adalah hari milik mereka, juga hari esok masih terbentang. Hari ini dan seterusnya mereka berjanji akan maju dua jam lebih cepat dari para murid di Pulau Jawa!


Cerita Lainnya

Lihat Semua