SENJA YANG TERNODAI DENGAN DUKA

Maristya Yoga Pratama 12 November 2011

Matahari akan turun dari peraduannya. Hembusan angin akan bertransfer menjadi dingin. Anak-anak masih bermain dengan teman-temannya. Terang akan menjadi gelap. Senja akan muncul sebagai seorang aktor utama. Kemunculan sosok senja yang sakral dinodai dengan persitiwa pilu. Seorang anak naik pohon kelor setinggi tiga meter. Ibu-ibu berteriak memberikan nasihat. “Londo... Londo... (Turun... Turun...),” kata-kata yang keluar dari seorang Ibu yang ada didekat pohon kelor. Nasihat itu ternyata hilang dibawa angin kencang. Teriakan semakin kencang tetapi anak tersebut malah semakin tinggi memanjat pohon kelor. Kaki-kaki kecilnya menginjak ranting-ranting pohon. Pelan tapi pasti anak itu sampai diujung pohon. Ranting ujung pohon itu mungkin sudah tidak kuat lagi menahan beban anak itu. Merasa marah maka pohon kelor mematahkan diri. Ranting jatuh. Kaki anak tersebut juga tidak punya lagi pijakan. Terjunlah anak tersebut ke tanah. Sayang sekali kepala turun terlebih dahulu. Kepala anak tersebut menyentuh tanah dengan keras sekali. Tiba-tiba tanah tersebut menjadi memerah. Telinga mengeluarkan lahar merah dari dalam kepala. Kepala anak itu juga keluar darah karena ada lubang menganga di kulit rambut. Bergetar tangan bak orang kedinginan. Mata manusia hitam putih berubah menjadi putih semua. Binar mata anak tersebut tidak lagi ada. Dia merintih kesakitan. Kepanikan timbul diantara kerumunan anak-anak. Mereka berteriak untuk mencari bantuan ke warga. Warga datang melihat anak tersebut. Warga juga tidak bisa berbuat apa-apa. Melihat dan menangis yang bisa mereka lakukan.

Aku sore itu masih berada didalam rumah. Aku mau merebahkan badan karena kegiatan seharian yang membuat letih badan. Teriakan seorang anak terdengar di telingaku. Aku terhentak dari badanku yang lemas. Bangun dan menyapa anak tersebut. Nafas terengah-engah ada di hadapanku. Suara kencang mengabarkan kalau ada seorang anak yang jatuh dari pohon “Perongge”. Dia menggambarkan kalau anak yang jatuh itu kepalanya berdarah. Aku langsung tanyakan keberadaan anak tersebut dimana. Ternyata ada di daerah dekat pantai yang harus berjalan dua kilo. Tanpa berpikir panjang kakiku berlari menjemput anak tersebut. Aku bersama Iskandar berlari menembus bukit-bukit yang tinggi. Kakiku dipenuhi dengan debu karena jalanan tanah yang berterbangan. Aku tak sangka lari hampir dua kilo sudah kulalui dengan selamat. Aku sampai di TKP melihat anak tersebut tergulai lemas di tanah penuh dengan darah. Tak ada seorang pun yang mengangkat anak itu untuk dibawa ke rumah. Mereka takut dan ngeri melihat banyak darah yang bercucuran dari kepala. Anak yang jatuh itu ternyata bernama Anhar. Siswa kelas dua SDN Inpres Baku Desa Sumi Kecamatan Lambu. Anhar merupakan anak yang aktif di Sekolah. Anhar juga termasuk anak yang rajin berangkat. Walaupun untuk datang ke sekolah harus berjalan sekitar empat kilo, Anhar tetap bersemangat untuk datang. Anhar membuat ingatanku kembali ke zaman lampau. Aku pernah mengajar anak kelas dua dan kebetulan memperhatikan gerak-gerik Anhar. Aku menyuruh anak-anak untuk duduk di lantai bermain warna tetapi Anhar malahan berlari kemana-mana. Setelah berlari kemudian dia akan sembunyi di bawah meja. Badan kecilnya selalu diselimuti baju seragam tanpa sepatu ada dikakinya.

Raga ini kembali ke dalam kenyataan. Seorang anak penuh darah ada di depanku. Takut dan berani bertarung dalam tubuhku. Tangan ini tergerak untuk menyelamatkan anak itu. Aku mengangkat anak penuh hati-hati. Perkiraanku kepalanya mengalami pendarahan. Aku berjalan membopong Anhar ke rumahnya. Darah mengucur dari telinganya. Sehelai kain yang ada di tubuhku bersimba darah. Tanganku bergetar berlumur darah. Kumelihat titik tujuan akhir. Mengehela nafas itu akan selesai setelah aku menemukan rumahnya. Anak ini aku baringkan diatas bambu-bambu yang disusun rapih. Aku amankan kepalanya diatas sarung dan bantal. Kebingungan membaur dalam proses tersebut. Bagaimana cara memberikan pertolongan pertama untuk luka yang ada di dalam kepala. Aku berlari menuju bukit kecil. Aku mencoba menggunakan sebuah kotak kecil ajaib yang dapat menghubungkanku dengan dunia modern. Aku menghubungi puskesmas kecamatan untuk mengirimkan ambulance. Aku naik pitam ketika ambulance tidak mau ke baku karena alasan jalan yang jelek dan jauh. Dengan nada bicara yang kenceng aku sampaikan kalau peristiwa ini sangat mendesak. Pasien sudah banyak mengeluarkan banyak darah sehingga perlu segera. Angin kencang bukit kecil membawa sinyal semakin menjauh. Sinyal tersebut membuat informasi patah-patah. Padahal kalau hari biasa  sinyal di bukit baik sekali.

 Aku kembali kerumah kecil sederhana untuk melihat kembali keadaan Anhar. Bermodalkan head light aku berjalan lancar menyusuri jalanan. Sampai dirumah aku melihat Anhar masih koma dan penuh darah. Hati ini rasanya teriris-iris karena tidak bisa memberikan bantuan secepatnya. Ambulance yang tidak bisa cepat datang mungkin menjadi sedikit kendala. Aku tidak patah semangat. Aku lakukan sekuat tenaga untuk memberikan pertolongan. Kapas berlapis alkohol aku hapuskan ke kulitnya yang ada darah mengering. Dari telinga mungilnya mengalir terus darah segar. Aku bulatkan kapas untuk menyumbat aliran darah dari kepala. Aku periksa lagi kepalanya. Jari jemari ini meraba kepala Anhar ternyata kepalanya sudah lembek. Aku langsung berpikir kalau tengkorak yang melindungi organ dalamnya sudah pecah. Tangan ini langsung merinding melihat kenyataan yang ada. Aku berikan sarung di bantalnya agar lebih lembut untuk menyangga kepala. Mataku masih tertuju pada darah yang mengalir dari kepala. Darah itu berasal dari ujung kepalanya yang luka. Lubang menganga terlihat jelas. Aku langsung mengambil gunting untuk memotong rambutnya. Pelan-pelan gunting tersebut menghabisi rambut yang penuh darah. Setelah terlihat pusat darah yang ada di ujung kepala, aku melakukan operasi kecil-kecilan. Aku bersihkan darah dengan kapas yang diberi alkohol. Betadine sudah bercampur dengan perban dan menempel dikepalanya. Perban juga melilit kepalanya sehingga pendarahan akan berhenti.

Darah dari telinga masih berceceran kelantai bambu. Aku semakin khawatir dengan keadaannya. Aku tetap menyumbat lubang telinga agar darah tidak terlalu banyak keluar. Tangan ini langsung tertuju pada kakinya. Aku pegang kakinya ternyata dingin sekali. Aku langsung kaget dan sedih. Itu tandanya anak ini masih dalam keadaan sakratul maut. Aku kasihan karena di saat sakratul maut malah tidak tenang. Dia sempat duduk bersila melihat orang-orang yang ada setelah itu tidur lagi. Dia juga berguling-guling kesana kemari sehingga lantai yang ada diruang tamu penuh dengan darah merah kental. Semakin takut dengan keadaannya aku bacakan dua kalimat syahadat. Komat-kamit mulut dukun dusun juga muncul diantara kesedihan itu. Orang Baku memang sangat percaya dengan hal-hal mistis. Keampuh komat-kamit sang dukun kepada Anhar perlu diuji lagi. Air mata menetes terus dari mata Ibunda Anhar. Serasa pengen memeluk anaknya disaat sakratul maut. Anhar tetap gelisah bergerak kesana kemari.

Suasana tiba-tiba sepi. Terdengar suara kaki menginjak rumput. Disela kegelapan malam terlihat sesosok laki-laki paruh baya yang berjalan menuju rumah. Bayangan itu semakin mendekati rumah. Salam keluar dari mulut laki-laki itu. Laki-laki paruh baya itu adalah Ayah Anhar. Dua bola matanya terbelanga melihat anaknya terkapar penuh darah. Seketika itu juga keringat bercucuran. Badannya langsung direbahkan dilantai. Tak ada seorangpun yang menjaga beliau. Aku bergerak langsung mendekati. Kupegang tangannya biar lebih kuat dalam menghadapi permasalahan ini. Aku bisikan kalimat istighfar agar lebih tenang. Ayahanda sempat bertanya kepada orang-orang kenapa anaknya seperti ini. Orang-orang mencoba menjelaskan kenapa anaknya seperti ini. Ayahanda masih tidak terima. Beliau menyalahkan Ibu yang tidak bisa menjaga anaknya. Aku menenangkan dengan memberikan pengertian bahwa peristiwa ini adalah musibah. Tidak ada seorang pun yang tau. Ketika tenang maka pikiran menjadi positif.

Anhar masih tetap bergerak kesana kemari. Aku kira ketika keluarganya sudah kumpul semua maka dia akan lebih tenang di saat sakratul maut. Mulutku tak henti berdoa agar anak didikku diberikan yang terbaik. Aku ingin disaat terakhir atau pun tidak Anhar dalam keadaan yang baik. Kegelisahanku semakin memuncak. Ambulance belum datang juga. 3 jam sudah berlalu dari aku telepon tadi belum terdengar juga suara ambulance. Aku tetap optimis kalau Anhar dapat diberikan pertolongan yang terbaik. Aku mencoba membagi keoptimisan ini kepada orang-orang yang ada dirumah itu. Hal itu akan membuat suasana menjadi lebih kondusif. Orang-orang hanya berdoa sambil melihat Anhar yang sakratul maut seraya menunggu kedatangan ambulance. Setengah jam kemudian suara ambulance terdengar dari kejauhan. Ibu Anhar langsung berkemas-kemas. Orang-orang membantu mengemasi barang-barang yang diperlukan di rumah sakit. Ambulance sampai didepan rumah. Anhar digotong ke ambulance. Masih terlihat darah yang mengalir dari kupingnya. Matanya hanya terlihat warna putih. Setelah didalam ambulance perawat langsung memasang infuse ditangannya. Perban yang ada dikepalanya tidak dilepas juga oleh perawat itu.dirasa sudah baik orangtua Anhar disuruh masuk untuk mendampingi selama perjalanan. Masyarakat seolah-olah larut dalm keadaan ini. Banyak mata di kaca ambulance. Mereka pengen memastikan kalau Anhar dalam keadaan baik. Sang sopir langsung memutar setir mobil secepat mungkin. Suaranya semakin menghilang dari telingaku. Masyarakat juga membubarkan diri. Aku pulang kerumah dengan jaket masih berlumuran darah. Sepanjang perjalanan aku masih terpikir keadaan Anhar. Aku tutupi ketakutanku dengan doa. Sampai dirumah aku langsung membersihkan darah yang ada di jaket. Air wudhu langsung kubasuhkan ke jiwaku. Air wudhu akan meresap ke hatiku. Aku juga langsung bersimpu kepada sang pecipta. Aku berusaha berdialog dengan-Nya. Aku berusaha meluapkan apa yang aku rasakan saat itu. Alhamdulillah perasaan lebih tenang. Tidak lagi terbayang keadaan sebelumnya. Entah kenapa malam itu aku juga enggan menyantap makanan. Aku melihat makanan bak darah merah yang mengalir. Malam itu juga sulit sekali memejamkan mata. Kejadian tadi seperti diputar kembali dihadapanku. Mulut ini tak henti berdoa. Aku juga menyibukkan diri dengan menata rumah. Karena badan ini semakin melemas, akhirnya badanku rebah juga.

Pagi hari buta aku seperti biasanya melakukan rutinitas. Aku masih hilir mudik mengambil air, tiba-tiba tetangga sebelah datang kerumah. Dia mengabarkan kalau Anhar sudah meninggal dunia. Aku lansung lesu. Rasanya tidak kuat mengangkat air. Aku tarunkan air dan mengucap Inalillahi Wainalillahi Rojiun. Waktu berasa ditarik mundur kembali. Aku disuguhkan kembali video kejadia semalam dengan detail. Air mata keluar juga dari air mataku. Aku berusaha menenangkan diri dengan istighfar. Mulut ini langsung berkomat-kamit berdoa untuk Anhar. Aku cepat-cepat menyelesaikan rutinitas pagi. Setelah selesai aku berjalan menuju sekolah. Aku pengen segera mengabarkan meninggalnya Anhar. Anak-anak disekolah menyapaku penuh sendu. Mereka berusaha menghayati musibah ini. Aku langsung mengumpulkan anak-anak dilapangan. Aku mengabarkan berita tersebut. Aku menyuruh anak-anak untuk membaca Al-Fatihah untuk Anhar. Anak-anak juga aku suruh untuk mengumpulkan uang sebagai rasa simpati kita kepada keluarga almarhum esok hari. Selesai berdoa aku mencoba menarik hikmah dari peristiwa ini. Aku bilang ke anak-anak kalau lebih hati-hati dalam bermain dan lebih mematuhi perkataan yang lebih tua. Kematian adalah takdir tetapi kita jangan membuat peluang kematian kita semakin besar. Kita masih bisa mengusahakan peluang hidup kita lebih besar dengan menjaga raga ini.

 

Bima, November 2011.

Maristya Yoga Pratama


Cerita Lainnya

Lihat Semua