Kunci Surga Untuk Prajurit Kecil

Agus Arifin 22 Desember 2011

Sabtu, 11 November 2011

“Ketika hidup hanya untuk meminta tanpa mau memberi, sebenarnya saat itu kita tidak hidup, melainkan telah mati sebelum kematian itu datang. (Agus Arifin)

Teman, jika kemarin engkau telah membaca tulisanku “ Senyum Malu Itu Benar-Benar Ada”, sekarang kan kuceritakan padamu tentang salah satu aktifitasku sebagai Pengajar Muda di Bumi Mandar Tatibajo. Selain menyiapkan metode dan bahan ajar untuk  persiapan mengajar keesokan harinya di sekolah, mengajar mengaji, adalah salah satu aktifitasku tatkala malam telah tiba menawarkan kesunyian. Lampu mushola yang tak begitu terang selalu setia menemaniku. Aktifitas itu nyaris setiap hari kujalani mulai dari pukul 18.25 s.d 20.00 WITA, hanya libur ketika hari Kamis Tiba. Jumlah murid mencapai 30 anak dan dengan tingkatan yang berbeda untuk masing-masing anak, ternyata cukup membuatku kewalahan. Syukurlah aku tak sendiri, ada imam mushola yang membantu meringankan pekerjaanku. Meski usianya tak lagi muda, bagiku kehadirannya cukup menjadi pemompa semangatku. Sebagai bentuk penghormatanku kepadanya, aku biasa memanggilnya dengan sebutan pak Imam. Orang-orang biasa memanggilnya bapaknya Ical, karena beliau memiliki anak pertama yang bernama Ical. Begitulah budaya Mandar, seorang laki-laki yang sudah menikah dan memiliki anak, biasa dipanggil bukan dengan nama aslinya melainkan dengan meminjam nama anaknya.

Pengalaman yang akan kuceritakan ini adalah pengalaman yang baru saja ku alami beberapa menit sebelum kuputuskan untuk menulisnya. Suhingga aku jamin bahwa cerita ini benar-benar masih sangat fresh. Ibarat nasi, masih panas. Ibarat buah, masih segar baru dipetik dari pohonnnya. Tak ada sedikitpun niat menggurui apalagi menyombongkan diri, tidak ada, sungguh tidak ada.. yang ada hanyalah niat untuk berbagi inspirasi dan kebahagiaan, karena kebahagiaan sejati bukanlah ketika kita dapat  berbahagia seorang diri, melainkan ketika kita mampu menularkan kebahagiaan itu, hingga membuat orang lain pun merasakan bahagia. Dari hati kecil ini, hanya terbersit sebuah harapan, semoga dari sekian banyak temanku yang membaca, paling tidak ada satu hati yang terinspirasi.

“Assalamualaikum warohmatullohi wabarokatuh..” “wa’alaikum salam warohmatullohi wabarokatuh..” jawaban itu terdengar serentak menggetarkan seluruh penjuru mushola. “Baiklah anak-anak, malam ini kita akan belajar menghafal Qur’an Surah At-Takatsur ayat 1-8 sekaligus bapak juga akan menjelaskan terjemahan dari surah tersebut, bagaimana anak-anak siap?” Siaap”..jawaban serentak kembali terdengar membahana, memecah kegelapan malam yang berusaha menawarkan kesunyian. “Baiklah anak-anak ikuti bapak ya“ Bismillahirrohmanirrohim...Alhakumuttakatsur...”  Bismillahirrohmanirrohim...Alhakumuttakatsur...” balas mereka dengan penuh semangat mengikuti bacaan demi bacaan yang kukumandangkan. Ayat demi ayat kubacakan, lengkap dengan terjemahan dan penjelasannnya. Aku tak berani menyebut itu tafsir, karena kucukup tahu diri, bahwa aku bukanlah seorang ahli tafsir. Aku hanya berusaha menjelaskan dengan bahasa anak-anak agar mereka memahami apa yang mereka baca. Agar mereka tak hanya membaca dan menghafal tanpa makna yang melekat dalam hati.

Qur’an Surah At-Takatsur, intinya bercerita tentang orang-orang yang lalai dan tentang alam kubur. Anak-anak terlihat serius menyimak kata demi kata yang keluar dari mulutku. Kuceritakan secara detail tentang kehidupan di alam kubur. Tak lupa kuceritakan pula kehidupan di surga dan neraka. Saat kuceritakan tentang surga, senyum bahagia bercampur takjub menghiasi wajah mereka. Namun saat cerita tentang neraka mulai ku buka, dahi mereka mulai mengkerut,  wajah mereka mulai berubah, pertanda bahwa ketakutan dan kekhawatiran mulai menghantui mereka.  Tak hanya anak-anak, ibu-ibu, bapak-bapak, dan para  pemuda  pun ikut menyimak ceritaku dengan sangat serius.  Aku pun heran, tak biasanya mereka berkumpul di depan pintu dan mengintip dari lubang-lubang jendela dalam jumlah sebanyak itu, sampai berjubel di depan pintu. Biasanya hanya dua sampai tiga orang ibu yang mengawasi anaknya tatkala mereka sedang mengaji. Kebetulan jarak rumah warga dengan mushola sangat berdekatan, jadi mungkin saja suaraku terdengar sampai rumah mereka, sehingga mereka berdatangan ke mushola. Apalagi aku sengaja lebih mengeraskan suaraku, agar anak-anak dapat mendengar dan memahami apa yang kusampaikan. Melihat fenomena itu, timbul ide di kepalaku untuk mengaitkan semua cerita yang telah kusampaikan sebelumnya dengan perintah untuk sholat  lima waktu. Ini menjadi penting untuk dibahas, karena di Tatibajo hampir semua orang tua tak pernah sholat 5 waktu. Hanya sedikit orang saja yang menjalani sholat, jumlahnya pun tak sampai 5 Orang. Aku berani mengatakan itu, karena aku belum pernah melihat orang-orang di sana melaksanakan sholat selain hari jumat dan hari raya.

“ Anak-anakku untuk masuk surga itu ada kuncinya, jadi nggak bisa sembarangan masuk. Mau tahu apa kuncinya? Mauuu..”jawab mereka serentak. “Kunci masuk surga itu  sholat 5 waktu. Jadi yang sholatnya masih bolong-bolong gak bisa tuh masuk surga. Makanya harus rajin sholat 5 waktunya. Setuju?” Sepakat..” sepakat? Setuju” Jawab mereka dengan wajah penuh semangat. Oh iya bapak ingin tambahkan lagi cerita tentang surga. Di surga itu semuanya ada. Kalian ingin mainan tinggal sebut saja, kalian ingin makanan enak tinggal sebut, kalian ingin minum susu, langsung ngalir sungai susu saat itu juga”.  Wuaah, klo ingin televisi pak, apa bisa?” tanya mereka penasaran sambil terkagum-kagum. “wah kalau cuma televisi ya bisa sekali..” Kulihat wajah-wajah polos yang lebih takjub dari sebelumnya.  “ Tak hanya itu, di surga kalian nanti akan jadi lebih cantik dan ganteng saat angin surga berhembus menyentuh tubuh kalian. Hayoo, siapa yang pengen masuk surga?” Saya pak..” jawab mereka sambil berebut mengacungkan tangan. Ah..damai hatiku melihatnya..pertanyaan-pertnyaan dan tingkah laku polos mereka lah yang sering membuatku tersenyum bahagia dan menjadi penghibur tatkala rasa rindu pada keluarga dan teman-temanku datang tiba-tiba.

“Saya juga mau masuk surga pak Arif..!” Suara itu datang tiba-tiba dari arah pintu masuk mushola. Seorang ibu setengah baya dengan dandanan menor ala Inul Daratista, wajahnya putih tapi kulit lengannya cokelat, pertanda bahwa bedak yang dipakai sangatlah tebal. Sang ibu dengan semangatnya mengacungkan tangan, seakan tak mau kalah dengan anaknya yang ikut mengaji bersamaku. “Oh ibu mau masuk surga juga..? Wah Bisa bu...tapi ada syaratnya. Sambil tersenyum kecil, kuhadapkan wajahku ke arah anak-anak yang duduk melingkar di hadapanku, “syaratnya apa anak-anak? “Sholat Lima Waktuuu..!” suara itu terdengar keras namun tetap seirama. Ya, suara yang membuatku bangga sekaligus bahagia tatkala mendengarnya. Kulihat sang ibu tersenyum malu. Keunikan tak berhenti sampai di situ, tepat ketika adzan isya’ akan dikumandangkan, seorang anak bernama Rudi, salah satu muridku yang masih duduk di kelas VI, atas inisiatifnya sendiri tiba-tiba mengambil microfon dan berkata “ Orang tua ayo sholat lima waktu, ayo sholat lima waktu...!” khas dengan logat Mandarnya. Walau sedikit nekad, tapi tak apa, aku tetap bangga dengan semangat dan keberaniannya. Anak-anak yang lain juga tak kalah semangatnya. Saking semangatnya, sampai-sampai mereka berebut untuk melaksanakan adzan dan iqomat. Keputusan siapa yang adzan dan iqomat pun ditentukan lewat ‘hompimpa alaihom gambreng.” Siapa yang menang, dialah yang adzan dan iqomat. Kali ini muridku, Sapar pemenangnya. Dia girang bukan kepalang. Bagai orang yang baru saja menemukan harta karun atau mendapatkan warisan yang melimpah. Senyum kecil pertanda puas, bahagia dan bangga mengembang di wajahku. Kuhela nafas panjang, “Anakku, semoga semangat kalian, terus berkobar tak padam oleh waktu. Semoga semangat kalian juga kan menular pada orang tua kalian. Ah, rasanya aku mulai menemukan sisi lain dari kalian. Sisi lain yang menjadikan kalian pantas untuk kubanggakan. Sisi lain yang membuatku semakin menyayangi kalian, Prajurit-Prajurit Kecilku . (Arif)


Cerita Lainnya

Lihat Semua