Teknologi itu Bernama Pelampung

Anita 13 November 2011

Sore pertama saya di Torosubang, saya penasaran ingin segera melihat seperti apa perahu yang akan Pak Aji wariskan kepada saya. Pak Aji telah cerita jauh-jauh hari bahwa ia meminta salah satu warga untuk membuatkan dia sebuah perahu yang dapat dipakai mendayung bersama anak-anak. Awalnya saya khawatir, perahu itu akan lebih banyak menganggur jika diwariskan pada saya karena saya memang belum bisa berenang. Tapi Pak Aji meyakinkan saya bahwa justru karena ada perahu tersebut saya harus belajar berenang sehingga saya bisa ikut  batoboh (berenang) dan mendayung bersama anak-anak.

Oke, berenang kemudian saya catat sebagai salah satu target pribadi saya untuk satu tahun ke depan. Melihat air laut yang begitu jernih, siapa yang tidak ingin segera menyebur dan menikmati pemandangan bawah laut yang dari atas pun sudah kelihatan. Untungnya ada teknologi yang bernama pelampung (meminjam istilah dari salah satu teman PM, Fitri Utami Ningrum) . Saya dapat dengan berani nyebur tanpa takut akan tenggelam. Saya dapat berperahu dengan anak-anak sepuasnya. Tidak peduli kemana perahu saya akan melaju (karena memang bukan saya yang mengemudikan perahu). Jika dilihat, pemandangan ini mungkin aneh. Saya yang notabenenya adalah ‘orang dewasa’ dengan menggunakan pelampung bewarna oranye mencolok duduk di atas perahu kecil yang dikemudikan oleh anak-anak yang badannya jauh lebih kecil dan umurnya belasan tahun lebih muda dari saya.

Dalam posisi duduk di atas perahu di tengah-tengah hamparan laut yang luas ini, saya sadari saya bukanlah orang dewasa yang akan melindungi anak-anak ini jika terjadi sesuatu di tengah laut. Melainkan justru saya nantinya yang akan membutuhkan pertolongan mereka. Pernah ketika perahu kami terbalik di tengah laut, dan saya harus naik ke atas perahu lagi (yang susahnya minta ampun) justru mereka yang mengulurkan tangan untuk membantu saya naik. Juga ketika saya tanpa sadar telah terbawa arus ke tengah laut, merekalah yang mengulurkan tangan dan menarik saya kembali ke tepian. Dan hubungan anak murid membantu ibu guru untuk belajar berenang ini tidak akan pernah terjadi jika saya tidak menggunakan pelampung. Karena sungguh, saya belum berani.

Pelampung juga menjadi andalan saya ketika dengan modal nekad saya bersama Dr. Tina (dokter PTT di desa saya) memberanikan diri memilih duduk di atas kepala speed-boat dibandingkan duduk manis di bagian tengah speed boat yang memang sudah ada tempat duduknya. Dengan laju speed boat yang kencang dan kemiringan kemudi yang tidak wajar (hal ini memang disengaja oleh sang pengemudi speed-boat), saya dengan sukses jatuh dari kepala speed-boat ke tengah lautan ombak yang benar-benar di tengah laut. Anda bayangkan saja peristiwa kecelakaan pesawat terbang yang terpaksa mendarat di laut dimana penumpangnya terapung-apung di tengah lautan, kira-kira seperti itulah kondisi saya saat itu.  Sekali lagi, teknologi pelampung menyelamatkan saya. Kalau tidak, mungkin saya tidak pernah bisa menulis cerita ini.

Silahkan menganggap hal ini lebay, karena bagi saya yang belum bisa berenang, pengalaman tersebut benar-benar ‘sesuatu’ bagi saya. Seperti materi yang pernah disampaikan Pak Munif Chatib, pengalaman ini akan langsung masuk dalam long time memory saya, karena melibatkan emosional dan ketakutan saya dalam mempertahankan hidup.


Cerita Lainnya

Lihat Semua