Benang Ini Kutenun, Untukmu Indonesia

Benediktus Kristiantoro 6 November 2011

    Genap empat hari sudah saya menginjakkan kaki di tanah Maluku, tepatnya di desa Papaloang, Kecamatan Bacan Selatan, Kabupaten Halmahera Selatan. Hari ini hari Minggu, bertepatan dengan Hari Raya Iedul Adha 1432H. Tentu saja hari ini adalah momen yang sangat tepat sebagai langkah awal untuk merajut tenun kebangsaan. Mengapa saya katakan momen yang tepat? Karena penduduk di desa saya 100% Muslim, dan di daerah sekitar saya penduduknya juga mayoritas Muslim, sedangkan saya adalah seorang anak yang dilahirkan dari keluarga Katolik.

    Bagi saya, perbedaan agama bukanlah masalah, karena saya sudah terbiasa hidup dalam lingkungan yang heterogen. Kakek dan nenek saya dulunya adalah seorang Muslim, namun berpindah agama menjadi Katolik, ayah saya juga seorang Katolik, sedangkan Ibu saya dulunya beragama Hindu yang kemudian berpindah agama mengikuti kepercayaan ayah saya. Saudara-saudara sepupu saya juga berasal dari agama yang berbeda-beda, kebanyakan dari kami memeluk agama Islam, Hindu dan Katolik. Lingkungan tempat saya mengenyam pendidikan sejak SMA hingga kuliah juga sangat beragam, sehingga jiwa toleransi terpupuk baik di hati saya.

    Sekilas tentang diri saya nampak berbeda dengan lingkungan baru yang saya tinggali sekarang. Di tanah ini isu tentang perbedaan agama menjadi isu sensitif. Berawal dari kasus Ambon tahun 1999 dan bulan September 2011 lalu, di daerah ini terjangkit isu serupa pula. Tahun 1999, terjadi pertikaian anarkis antara umat Kristen dan Muslim di Halmahera Utara, dan pada bulan September kemarin, meskipun tidak sampai terjadi tindakan anarkis, ketegangan antara umat Muslim dan Kristen sempat terasa di daerah ini.

    Kedatangan saya di bumi Halmahera Selatan tidak lepas dari rekomendasi Pengajar Muda (PM) I, Ayu Kartika Dewi yang mengharapkan kehadiran sosok seorang PM yang berbeda agama untuk menjadi perajut tenun kebangsaan. Sebelum saya tahu banyak tentang situasi di lapangan, saya berpikir bahwa tantangan saya adalah masyarakat yang akan saya tinggali memiliki xenofobia Kristen*. Bayangan saya ini adalah hasil proyeksi ketika Ayu memberitahukan kepada saya bahwa sebelum ia meluruskan, pandangan murid-murid terhadap kaum Kristen adalah gambaran rupa monster yang jahat –hanya karena mereka belum pernah bertemu dengan orang yang berbeda agama sebelumnya. Pun demikian yang dirasakan oleh para orang tua. Sebelum kedatangan saya, Ayu gencar untuk mensosialisasikan khusnulzon kepada masyarakat setempat bahwa niat jahat datangnya dari hati seseorang dan bukan karena ajaran agama. Kemudian Ayu memastikan kepada saya bahwa masyarakat setempat termasuk juga para murid bisa menerima perbedaan agama di lingkungan mereka.

    Bagi saya, merajut tenun kebangsaan ini tanpa didasari semangat ketulusan, keikhlasan dan jiwa toleransi yang baik, usaha pelurusan yang dilakukan oleh Ayu tentu akan sia-sia. Oleh karena itu, tanpa rasa takut lagi saya siap untuk berada di tengah-tengah mereka. Momen Iedul Adha ini adalah waktu yang sangat tepat sebagai langkah awal merajut tenun kebangsaan dengan benang perbedaan. Sebelum Shalat Ied dimulai, saya meminta Ayu untuk mengantarkan ke rumah Imam Masjid. Penduduk di sini memiliki kebiasaan untuk memanggil tokoh-tokoh sesuai dengan profesi mereka, dan Imam Masjid ini biasa dipanggil Pak Imam. Sesampainya di rumah Pak Imam, kami harus menunggu beliau yang tengah mandi, sementara jamaah sudah berkumpul di Masjid. Setelah mandi, rupanya beliau tergesa-gesa untuk ke Masjid dan kurang menghiraukan kehadiran kami. Namun saya segera mengejar beliau dan meminta izin untuk berjaga di depan Masjid. Setelah Pak Imam mengiyakan, dan berbekal izin dari beliau, saya segera bergegas menuju Masjid.

    Di depan Masjid saya sempat bertemu dengan beberapa murid saya. Murid-murid saya tersebut sudah rapi dengan mukena dan baju kokonya. Tak lupa murid laki-laki mengenakan peci agar terlihat lebih rapi. Mereka menyapa saya dan Ayu kemudian berdiri mengelilingi kami. Kemudian beberapa dari mereka bertanya kepada saya, “Pak Nino, ikut shalat di sini ka? (Apakah Pak Nino shalat di sini juga?)”. Dengan tenang dan sambil tersenyum, saya menjawab pertanyaan mereka, “Pak Nino Kristen, tara shalat to? Biar Pak Nino jaga di depan Masjid sudah, biar aman kitorang pe kampung. (Pak Nino Kristen, tidak shalat kan? Pak Nino menjaga di depan Masjid saja deh, supaya aman kampung kita)” Seketika itu juga murid-murid saya menggandeng tangan dan berebut mencium pipi saya. Mengharukan!

    Setelah bercakap-cakap dengan para murid, mereka bergegas masuk ke Masjid, dan Ayu menyuruh saya untuk berjaga di depan rumah bapak piara (orang tua angkat) saja, karena di depan Masjid tidak ada tempat duduk. Rumah orang tua saya hanya berjarak dua rumah atau sekitar dua puluh meter jauhnya dari Masjid, sehingga saya masih bisa melihat masyarakat sedang menjalankan Ibadah Shalat Ied. Sambil berjaga-jaga, saya bercakap-cakap dengan beberapa murid saya yang tidak shalat, mereka harus menjaga adik-adik mereka yang masih kecil sementara para orang tua mereka sedang shalat di Masjid. Saya bercakap-cakap dengan beberapa murid sembari menunggu jamaah selesai melaksanakan Shalat Ied.

    Shalat Ied pun selesai, lalu saya diajak oleh Ayu untuk bersilahturrahmi ke rumah-rumah penduduk. Satu persatu rumah kami datangi, dan di setiap rumah saya diperkenalkan oleh Ayu kepada para warga. Hanya dalam waktu satu jam kami singgah dan berkeliling karena di desa ini jumlah penduduknya yang sedikit, kira-kira tujuh puluh kepala keluarga jumlahnya. Di beberapa rumah, kami dijamu camilan ringan untuk menyambut kedatangan saya sekaligus perpisahan Ayu.

    Ketika hendak menuju beberapa rumah terakhir, saya melihat bapak-bapak sedang bahu membahu mengangkat sapi kurban. Saya hendak membantu mereka, dan Ayu menawarkan untuk membawakan rompi dan kamera saku saya. Kemudian kami beramai-ramai mengangkat sapi kurban yang cukup berat untuk di bawa ke halaman Masjid. Setelah sapi dibaringkan, acara penyembelihan kurban dimulai dan saya meminta kamera kepada Ayu untuk mengambil beberapa foto.

    Inilah cerita saya dari desa Papaloang, Halmahera Selatan. Di desa ini, semangat tenun kebangsaan masih bisa dirajut dengan baik jika benar-benar dibiasakan. Kelak, anak-anak dari desa ini yang akan meneruskan pandangan di masa depan bahwa perbedaan itu ternyata indah. Jika Ayu telah berhasil menanamkan bibit jiwa toleransi di hati para murid dan masyarakat, maka saya mendapatkan kehormatan untuk menyirami jiwa-jiwa tersebut agar senantiasa tumbuh dengan baik dan kokoh. Dari desa Papaloang, Halmahera Selatan, saya mengucapkan Selamat Hari Raya Iedul Adha 1432 H kepada seluruh umat Islam di Indonesia, hingga seluruh pelosok negeri ini. Semoga kita bisa selalu membangun dan menjaga perdamaian yang harmonis, untuk Indonesia Raya.

 

-------------------------------------------

*Xenofobia adalah perasaan takut karena bertemu dengan orang asing, bisa terjadi karena trauma psikologis ketika berada dalam proses tumbuh kembang atau justru fase lanjutan akibat kegagalan melewati level stranger anxiety. Jika xenofobia ini berlanjut, maka individu atau kelompok yang mengalami akan sangat tersiksa ketika berada di lingkungan yang berbeda dengannya, memilih untuk menyendiri dan menghindar. Penderita xenofobia enggan melakukan komunikasi dengan orang yang berbeda atau asing di matanya, dan jika kejadian ini tidak diatasi sejak awal, maka bisa mengarah ke isolasi sosial. (Imron Rosyidi, staf pengajar di STIKES Ngudi Waluyo, Ungaran, Jawa Tengah)


Cerita Lainnya

Lihat Semua