Senyuman Atas Perubahan Entitas Perilaku

Bella Moulina 16 April 2014

                Saya ingat betul bahwa tiga aspek penilaian siswa tertera jelas di rapor hasil belajar saya ketika masih SMA. Adalah koginitif, psikomotorik, dan afektif, tertulis di rapor dan saya diberikan penilaian berupa angka dan huruf. Tak ubahnya anak SD yang gembira diberi angka 10 pada nilai tugasnya, saya pun bahagia jika guru memberi nilai tinggi di beberapa mata pelajaran sesuai aspek kognitif. Namun selepas SMA, kenyataan berbanding terbalik. Saya melihat banyaknya tawuran pelajar dan perbuatan siswa yang melenceng dari yang seharusnya membuat saya malu. Sudahkah nilai kognitif saya lebih baik daripada afektif (sikap) saya?

                Selain kecerdasan majemuk yang saya nilai dari pribadi siswa, satu aspek yang tak kalah pentingnya yang membuat hati ini risau adalah afektif. Perilaku, menurut saya, harus ditanamkan dengan baik sejak kita masih kecil. Entah kenapa, saya selalu khawatir dengan kondisi perilaku peserta didik yang sangat jauh dari nilai-nilai pancasila. Saya ingin aspek perilaku justru lebih diutamakan. Pendidikan karakter lah jawabannya.

                Ditugaskan di Onatali, sebuah kelurahan di kecamatan Rote Tengah membuat saya bersyukur. Fasilitas cukup memadai bagi saya. Ditambah lagi SD Inpres Onatali, yang kata teman-teman dan kakak-kakak pengajar muda lainnya adalah sekolah pengajar muda yang bagus, saya semakin bersyukur. Kenapa? Karena keinginan menjadi guru terfasilitasi pula dengan kondisi sekolah yang baik.

                Hingga suatu hari saya menemukan kondisi siswa saya yang jauh dari harapan saya dari segi aspek afektif. Saya sangat shock dan sempat kecewa beberapa bulan di awal mengajar. Saya melihat bahwa anak-anak saya masih berperilaku tidak baik. Jika dirunut, mungkin memang paling enak melihat kejelekan, namun saya beruntung karena dibantu oleh bapak ibu guru dalam mengubah entitas perilaku anak didik saya. Dikarenakan mereka paling mengetahui kondisi psikologis dan lingkungan tempat tinggal, akhirnya saya melihat bahwa sikap mereka berangsur baik.

                Tiga bulan saat awal mengajar bukan kognitif anak yang saya risaukan, tapi afektifnya lah yang paling membuat saya risau. Terkadang sedih, mengeluh, tidak percaya diri, dan rasa negatif lainnya hinggap di dalam hati. Saya melihat anak-anak masih suka memaki teman, memukul dengan keras, memberikan sesuatu dengan tangan kiri,  malas mengerjakan pekerjaan rumah yang saya berikan, kebersihan kuku dan badan yang kurang, dan tidak disiplin di dalam kelas. Kenyataan itu membuat saya berpikir keras bagaimana caranya sikap tersebut dapat berubah.

                Selain bekerja sama dengan bapak ibu guru di sekolah, saya juga menerapkan peraturan kelas yang efektif. Saya juga berulang kali mengingatkan mereka setiap kali mereka melakukan sesuatu yang tidak baik. Bahkan ketika ada anak yang memberikan buku kepada saya menggunakan tangan kiri, saya lantas berkata: “Ambil lagi bukunya ya, kasih ke Ibu pakai tangan kanan, tangan yang baik.” Di sisi lain, anak-anak mulai menghargai teman-temannya dengan mengurangi berbicara keras dan memukul teman.

             Anak-anak juga sudah rajin mengerjakan tugas (meski masih ada satu atau dua anak yang beralasan lupa mengerjakan tugas), disiplin di kelas dan memberikan perhatian yang baik ketika guru atau teman berbicara (saya menggunakan sinyal disiplin ataupun tanda senyum), dan kini kuku tangan dan kebersihan badan berangsur baik. Alhasil peraturan kelas yang saya buat, ucapan berupa nasehat berulang-ulang, dan kerjasama dengan pihak sekolah, membuat entitas perilaku siswa perlahan berubah lebih baik. Dalam tiga bulan terakhir ini saya melihat perubahan entitas perilaku naik drastis.

             Usaha disertai doa lah yang mampu membuat perubahan terjadi. Ini bukan hanya kerja saya saja, tapi juga kerja kolektif antara saya, pihak sekolah, siswa, dan orang tua siswa. Tanpa mereka, apalah arti afektif, kognitif, dan psikomotorik. Saya berharap sikap yang baik dan berbudi pekerti luhur berlandaskan pancasila ini terus mereka laksanakan meski saya sudah tidak mengajar mereka lagi. Kelak, saya akan tersenyum jika suatu hari mereka melepon saya dan berkata:

           “Ibu Bella, be su raih cita-cita nah. Be ju dipuji teman-teman karena selalu mengucapkan terima kasih jika be su dibantu mereka. Be ju selalu mendengarkan orang yang berbicara di depan beta. Terima kasih su ajar sikap yang baik kepada beta, ibu guru.”


Cerita Lainnya

Lihat Semua