info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Nasi Kosong dan Rival

Bella Moulina 16 April 2014

                Kemarin adalah hari yang membuat saya tak berdaya atas apa yang saya lihat. Saya selalu menyarankan siswa saya untuk selalu makan pagi sebelum berangkat ke sekolah. Saya juga selalu meminta mereka untuk membawa makanan dan minuman atau melebihkan uang jajan ketika les sekolah berlangsung pada siang harinya. Intinya adalah, saya menanamkan kepada mereka bahwa otak yang diisi pengetahuan harus seimbang dengan asupan gizi yang diperoleh.

                Kemarin pula saya menyaksikan apa yang saya katakan tidak berjalan dengan baik. Sebenarnya sudah beberapa kali saya melihat kasus ini, namun kemarin saya dengan cermat bertanya kepada siswa saya. Siswa saya itu adalah seorang anak dengan kemampuan linguistik cukup tinggi. Ia hobi menulis, pintar merangkai kata dan kalimat menjadi satu kesatuan yang indah. Meski ia harus berjuang lebih keras lagi di kelas 3 ini, terbukti dengan tekun belajar ia berhasil masuk peringkat 3 besar semester 1 lalu.

                Sayangnya pengetahuan yang ia dapat tidak seimbang dengan gizi yang diperoleh. Ia sakit kemarin. Setiap anak yang sakit, saya selalu bertanya kepada mereka: “Apa kamu tidak istirahat?”, “Apa kamu tidak makan?”, dan lainnya. Begitu pula ketika siswa saya itu sakit, saya menanyakan itu. Alangkah terkejutnya saya ketika mengetahui ia hanya makan nasi kosong. It means that, disini nasi kosong hanya terdiri dari nasi dan garam, nasi dan cabe, atau nasi saja.

                Ia juga berkata bahwa makan nasi kosong sudah beberapa hari terakhir ini. Lebih ibanya lagi bahwa ia hanya makan ikan setiap hari selasa dan minggu, pun tidak ada lauk pauk atau sayuran lain di meja makannya. Mendengar itu saya miris, negara ini belum sejahtera. Di saat pesta demokrasi telah berlangsung dua hari lalu, republik ini masih menyisakan ratapan dari anak bangsanya. Mereka belum merdeka sepenuhnya. Bahkan asupan gizi belum terpenuhi dengan baik bagi penerus bangsa.

                Akhirnya saya memutuskan untuk menyuruhnya pulang sekolah saja. Namun ketika meminta izin kepada bapak kepala sekolah, beliau menyarankan bawa ke puskesmas saja untuk berobat. Beruntung hari Kamis kemarin, ada dokter yang selalu datang dari ibukota kabupaten. Saya lega. Setidaknya ia mampu memutuskan obat apa yang sesuai untuk anak didik saya itu. Alhamdulillah setelah hasil tes darah diperoleh, anak saya tidak terkena malaria. Meski begitu, ia tetap diberikan obat agar ia pulih kembali.

                Kenyataan ini membuat saya belajar bahwa Indonesia punya catatan khusus agar penerus bangsanya mampu meneruskan cita-cita perjuangan. Keluarga Rival yang sangat sederhana itu telah mengupayakan sebaik mereka untuk keberlangsungan hidup anaknya. Ayahnya yang seorang nelayan dan pekerja buruh di pembangkit listrik dekat rumahnya, dan ibunya yang seorang pemikul pasir berjarak 3 km dari rumahnya, membuat anak didik saya tersebut tidak banyak menuntut apa yang orangtuanya berikan kepadanya.

                Bahkan pada saat saya bertanya apakah ia suka dengan nasi kosong, jawabnya: “Iya, Bu.”

                Nasi kosong saja bisa membuat Rival, anak didik saya itu, mampu masuk peringkat 3 besar. Apalagi jika ia makan makanan bergizi, pastilah cita-cita guru diraihnya. 


Cerita Lainnya

Lihat Semua