Pembelajaran Bagi Si Pembelajar Sejati

Bella Moulina 27 Juli 2013

                “Marilah kawan, mari kita bersama

                Hentakkan bumi dalam kegiatan belajar bermain

                Hello, hello...kami keluarga SD Onatali

                Bagai guru dan murid yang tak terpisahkan.”

 

                Syair lagu di atas sedikit saya gubah. Lirik asli yang dituliskan oleh salah satu teman satu penempatan saya, Iwan, sebenarnya bukan yang tertulis di atas. Hanya saja saya mengubahnya, menyesuaikan dengan kondisi dimana saya akan belajar selama satu tahun kedepan, Onatali. Satu bait di atas sengaja saya berikan kepada anak didik di sekolah dasar tempat saya mengajar. Dalam dua hari, lagu tersebut dengan cepat mereka hapal, beserta gerakan yang telah saya ajarkan. Harapannya, dengan kehadiran saya sebagai guru dan warga baru di Onatali, membuat saya tidak terpisahkan.

Belajar Mencintai Budaya Baru

                Menginjakkan kaki pertama kali di wilayah timur Indonesia, ya di Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur. Akhirnya impian saya tercapai juga, pikir saya. Praktis, sejak hari Sabtu, 15 Juni 2013, saya menjadi bagian dari masyarakat disini.

                Adalah kewajiban bagi warga pendatang untuk makan sirih pinang. Sirih pinang yang awalnya hanya saya tonton di Jambi kini harus saya makan di Rote. Tak pelak ketika saya dan delapan teman sepenempatan turun dari kapal Bahari Ekspress, kami disambut oleh kakak Pengajar Muda IV dengan sirih pinangnya! Kami tentu tidak bisa menolak. Satu persatu diantara kami pun menikmati sirih pinang yang caranya telah disebutkan oleh Kak Lucky. Kunyahan pertama dari sirih pinang terasa melumer di lidah saya. Pahit dan asam, itulah yang saya rasakan. Meski tidak lama mengunyahnya, kami pun didaulat sudah menjadi warga Rote karena sudah makan sirih pinang.

                Seterusnya bisa ditebak kalau kami akan bertemu dengan orang baru. Disini jangan harap saya akan bertemu dengan banyak orang yang saya kenal di daerah asal saya, Jambi. Justru disini saya akan bertemu dengan banyak orang baru. Tidak satupun yang saya kenal. Tidak satupun saya pernah melihat mereka sebelumnya. Masyarakat baru, dan saya akan menjadi bagian dari mereka.

                Masyarakat Rote dikenal dengan suara mereka yang keras. Namun seperti kata Bapak Kepala Sekolah SD Inpres Onatali, Bapak Johannis, masyarakat Rote itu seperti buah kelapa, “Keras di luar, tapi lembut di dalam.” Penggambaran dalam makna denotasi ini adalah benar adanya. Meski mereka keras dan tegas, saya melihat kebaikan yang terpancar dari hati mereka. Beruntung saya tidak mengalami schok culture, karena ayah saya terbiasa mendidik anaknya dengan keras. Untuk hal ini, saya cukup aman.

                Masyarakat Rote dididik untuk bekerja keras. Mereka bekerja dari pagi hingga malam untuk menghidupi keluarganya. Kebanyakan mereka adalah petani, nelayan, guru, pengemudi oto (angkutan umum yang bentuknya pick up), pegawai toko, dan selebihnya Pegawai Negeri Sipil (PNS). Khusus di Onatali, kelurahan dimana saya tinggal, penduduk kebanyakan bermata pencaharian sebagai petani. Sebagai petani, penghasilan mereka pun berkecukupan. Alhasil hidangan sayur dan ikan adalah menu favorit mereka sehari-hari.

                Selain itu, keragaman adat di Rote membuat daerah penghasil Lontar ini sangat kaya akan budaya. Beberapa waktu lalu saya melayat ke rumah duka. Disana sudah berkumpul sanak saudara disamping peti mati. Saya mengikuti tradisi masyarakat Rote, mengikuti orang tua asuh saya, Ibu Fehmi, menyalami satu persatu sanak saudara tersebut. Sebelum keluar dari ruangan itu, saya menyelipkan uang ke dalam kotak yang telah disediakan. Tidak lama kemudian, upacara ibadah bagi orang yang telah meninggal dan keluarga yang ditinggalkan dimulai. Lantunan pujian dalam agam Kristen diikuti serentak dengan masyarakat yang menyelawat. Setelah itu, suara musik dari gong yang disediakan di rumah duka dalam menghibur keluarga yang ditinggalkan pun menggema. Seorang bapak mengenakan Ti’ilangga (topi khas Rote) dan kain tenun khas Rote sambil menari Foti. Ia menggerakkan kaki dan badannya dengan bergaya silang sambil berjalan. Ketika ia berhenti pada satu tempat, maka ia akan memberikan Ti’ilangga kepada orang yang sudah ia tuju. Selanjutnya orang yang menerima Ti’ilangga tersebut akan meneruskan tarian tersebut.

                Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. Tampaknya kalimat peribahasa ini tidak salah jika digunakan untuk diri saya. Ya, dimanapun saya berada, kini atau entah nanti, saya harus menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru. Di Onatali ini pun begitu. Saya harus membiasakan diri dengan budaya yang sebelumnya belum pernah saya lihat. Saya harus menghargai setiap budaya yang saya temui. Ya, di Rote Ndao ini saya mulai belajar mencintai budaya baru.

Belajar Pengetahuan Baru dari Anak-anak

                Beberapa hari lalu, sebelum kak Nelly kembali ke Jakarta, saya dan kak Nelly jalan-jalan ke pantai. Anak-anak pun turut serta.

                “Ibu, jadi jalan-jalan to? Katong su kumpul sebentar lagi. Katong pi pantai ya, Bu?”

                Salah satu murid kak Nelly bertanya kepada saya. Waktu itu memang saya meminta anak-anak untuk mengajak saya jalan-jalan ke pantai. Murid pertama yang saya temui di jalan, Maya, lantas mengajak teman-temannya ke pantai. Saya yang terlebih dahulu sudah sampai di pantai terkejut melihat banyak rombongan anak-anak. Perempuan dan laki-laki ikut serta dalam rombongan tersebut. Serta merta mereka menyapa saya yang sedang duduk di sebuah pondok di tepi pantai. Mereka bertanya sekali lagi kepada saya, apakah jadi bermain ke pantai, yang notabene tinggal beberapa meter dari hadapan kami. Saya lantas mengiyakan, kemudian beranjak dari tempat duduk, sambil berpamitan dengan Ibu-ibu di pondok tersebut untuk bermain ke Batu Hun, sebuah batu besar di tepi pantai yang menjadi destinasi utama kami.

                Di dalam perjalanan menuju Batu Hun, saya menemukan banyak fakta tentang anak-anak di Onatali. Saya patut mengacungi jempol kepada mereka soal pengetahuan laut dan kemampuan psikomotoriknya. Pertama, pengetahuan laut mereka berada di atas saya. Jujur, selama ini saya hanya melihat keong, duri laut, dan gurita dari gambar saja. Kini, saya melihat dengan mata kepala saya sendiri, ketiga makhluk hidup itu tampak di hadapan saya. Dengan lincahnya, tangan mereka mengambil keong dan gurita. Susan, dengan sigap memberitahu saya agar hati-hati ketika menginjakkan kaki di air laut yang didekatnya ada batu karang yang besar. Kenapa? Karena disana merupakan habitat duri laut yang jika kaki terkena durinya maka akan perih. Sontak saja saya kaget. Pasalnya saya melepas sendal saya, karena anak-anak menyarankan saya untuk melepaskannya daripada nantinya saya terpleset di atas batu karang.

                Kedua, kemampuan psikomotorik anak-anak Onatali cukup baik. Mereka tahan berjalan kaki tanpa menggunakan sendal, melewati batu karang saat air laut surut, menginjak bebatuan di dekat Batu Hun, hingga berjalan berkilometer jauhnya dari rumah mereka ke sekolah, atau dari tepi pantai menuju Batu Hun. Saya sendiri terkadang jalan kaki dengan jarak yang jauh sudah capek, tapi mereka tetap semangat. Bahkan sambil tertawa, mengambil keong, atau berfoto ria. Kini saya menyadari manfaat yang cukup besar dari pelatihan Wanadri dua bulan lalu. Saya jadi tidak mudah capek dalam berjalan. Toh saya cukup santai berjalan kaki bersama anak-anak, sambil sesekali menyapa penduduk di rumah mereka. Setidaknya saya belajar kemampuan psikomotorik dari anak didik saya tersebut bukan?

                Selain belajar dari dua hal di atas. Kemarin pagi saya belajar lagi tentang tumbuh-tumbuhan yang ada di sekitar mess guru tempat saya tinggal. Saya ditemani oleh Putri, Ian, dan Ivan. Putri adalah murid yang akan saya ajar di kelas III pada tahun ajaran baru nanti, sedangkan Ian adalah murid kelas IV dan kakaknya, Ivan, baru tamat SD, dan akan melanjutkan SMP. Di dalam perjalanan menuju rumah siswa dan pantai, Ivan banyak bercerita tentang tumbuhan yang berguna baik untuk pengobatan ataupun dimakan.

                Tumbuhan pertama yang diceritakan Ivan adalah buah kom. Buah kom ini bentuknya merah pertanda masak. Rasa manis dan asam bercampur jadi satu. Ada pula pohon ketapel, pohon yang kata Ivan batangnya biasa digunakan untuk bermain ketapel. Beranjak ke depan jalan, ada pohon kapas, dimana pohon yang menjulang tinggi ini biasanya menjadi sasaran empuk kelelawar untuk mereka makan. Kapasnya pula digunakan untuk bantal. Selain itu, pohon ende, pohon yang daunnya digunakan untuk mengurangi rasa pahit ketika memasak sayur bunga pepaya. Saya juga diberitahu tentang pohon madu, tentu teman-teman tidak asing bukan dengan pohon ini? Ya, pohon yang sering dihinggapi lebah untuk menghasilkan madu. Untuk tanaman obat, saya diperlihatkan pohon damar. Pohon damar adalah pohon yang getahnya berfungsi untuk mengobati luka. Pohon ini mudah ditemui di pinggir jalan Rote, jadi tidak sulit untuk mencarinya.

Belajar Ketulusan dari Ibu Fehmi

                Saya belajar ketulusan dari Ibu Fehmi. Ibu Fehmi adalah orang tua angkat saya di mess guru SD Inpres Onatali. Ya, disini saya tinggal bersama seorang guru, beserta anak perempuannya, Tiara, berumur dua tahun, dan Mega, siswi SMA N Rote Tengah. Saya melihat ketulusan dari Ibu Fehmi ketika ia mendidik dua anaknya, Juan dan Tiara. Sendiri baginya bukan halangan untuk memberikan perhatian kepada kedua anaknya. Terlebih lagi, Juan, anak laki-laki pertamanya selalu ia nasehati ketika melakukan kesalahan. Ia mengajarkan kepada Juan untuk bertanggung jawab sebagai laki-laki. Pernah suatu ketika saya berinisiatif untuk mencuci piring, Ibu Fehmi melarang saya. Beliau berkata, “Biarkan saja Juan yang mencuci piring, Bu. Saya ingin mengajarkannya bertanggung jawab atas tugas yang telah diberikan kepadanya. Kalau tidak seperti itu, dia tidak bisa mengerti pentingnya tanggung jawab.”

                Saya juga belajar ketulusan dari Ibu Fehmi yang dengan ikhlas meluangkan waktunya untuk mendidik siswa kelas I yang masih lugu, selain ia harus menjaga dan merawat anak keduanya, Tiara. Menjadi guru kelas I menurut saya tidaklah mudah, kesabaran dituntut lebih tinggi. Anak-anak kelas I yang masih lugu dan lucu itu ia ajar setiap harinya. Ia bercerita bahwa anak-anak kelas I menyukai perhatian yang ia berikan. Sampai-sampai jika ada anak yang merasa belum mendapat perhatian dari gurunya ini, anak itu tidak akan mengerjakan apa yang diperintahkannya. Alhasil Ibu Fehmi harus mendatangi satu persatu meja siswanya agar sang anak didik mau mengerjakan tugas. Ibu Fehmi juga wajib menyediakan pensil. Menurutnya, anak-anak Onatali harus disiapkan pensil lebih banyak karena kebanyakan mereka masih menulis dengan tangan keras. Hal ini mengakibatkan banyak pensil patah, dan Ibu Fehmi harus menyediakan pensil pengganti agar kegiatan belajar di kelas tetap berjalan.

                Melihat Ibu Fehmi, saya melihat ketulusan terpancar dari guru seutuhnya. Ia rela mengikhlaskan waktunya untuk anak didiknya yang masih belia dengan mengajar setulus hati. Ia juga berusaha menjadi ibu yang baik bagi dua jagoan kecilnya, Juan dan Tiara. Ia seakan tidak kehabisan energi untuk melakukan pekerjaan rumah. Sungguh, saya belajar pancaran ketulusan dari beliau.

Belajar Bersyukur dengan Bulan dan Bintang     

                Hampir di setiap malamnya, saya selalu melihat ke atas langit. Kata pertama yang keluar dari mulut saya adalah, Subhanallah. Selanjutnya yakni, “Wah banyak sekali bintang bertaburan di malam ini.” Atau kalimat ini, “Kerennya sinar bulan purnama malam ini.” Singgungan senyum pun terukir di bibir saya. Memejamkan mata sambil menatap ke atas langit, mengucap syukur atas limpahan rahmat Allah Swt yang masih memberikan saya nikmat hidup dengan ditemani bulan dan bintang.

                Saya bersyukur di Rote masih leluasa melihat bintang bertaburan. Di Jambi sendiri, saya jarang melihat banyak bintang berkumpul, berjejer, dan bercengkrama, seolah-olah berkata, “Ayo ikut kami ke langit, kami akan membawamu menjelajahi indahnya langit bumi pada malam hari.” Saya bahkan sadar akan makna pola layang-layang yang terbentuk dari bintang sejak di Rote Ndao. Makna arah mata angin itulah yang merujuk kepada pola layang-layang. Di Jakarta atau kota besar lainnya, hampir tidak pernah saya melihat bintang, berbanding terbalik dengan banyaknya bangunan yang menghiasi gemerlapnya malam hari.

                Bulan purnama. Penantian yang selalu saya nantikan entah itu di Jambi dulu atau sekarang di Rote. Saya selalu menunggu hadirnya bulan purnama yang memancarkan sinarnya yang indah. Menjadi satu-satunya peri yang mungkin bisa diajak terbang ke bulan, itulah khayalan saya ketika menatap bulan purnama. Beberapa malam terakhir bahkan saya seakan jatuh cinta dengan bulan dan bintang yang saling berpasangan. Diiringi dengan lagu Negeri di Awan-nya Priska Idol, semakin menambah rasa syukur kepada Sang Pencipta. Sungguh, saya jatuh cinta dengan langit Rote di kala malam hari :’)

                Oya di bawah bulan purnama pula saya mengalami momentum indah. Saya dimasakkan keong, ikan, gurita, dan rumput laut oleh anak-anak Onatali, khususnya Jelita, Maya, dan Susan. Ceritanya sore itu saya, kak Nelly, dan anak-anak bermain ke Batu Hun. Disana sambil berjalan, anak-anak juga mengambil empat makhluk hidup tersebut. Saya tidak menyangka bahwa mereka membawa banyak empat jenis makhluk hidup untuk dimakan. Lebih tidak menyangka lagi kalau itu dimasak oleh mereka untuk kedua gurunya! Alhasil ketika masakan siap disantap, bulan purnama menemani kami makan. Dibalik cahayanya yang kala itu terpancar dari bilik dedaunan, terselip rasa haru teramat dalam, baru kali ini saya dimasakin masakan khas anak-anak, dibawah sinar bulan purnama pula. Aihh, kurang apalagi coba? :’)

Beta su bisa potong ayam!

                Yakkk akhirnya saya bisa potong ayam juga! Sebelumnya saya bahkan tidak pernah membayangkan akan memotong ayam dimanapun nanti saya berada. Kalau di Jambi, mau beli ayam sudah dipotong. Mau makan ayam tentu sudah terhidang manis di meja atau restoran. Kondisi itu jelas beda ketika saya di Rote. Masyarakat disini mempercayakan saya sebagai muslim untuk memotong ayam jika ada acara besar di rumahnya dan kebetulan saya diundang untuk menghadiri.

                Ice dan Iwan adalah dua orang yang sudah melaksanakan penjagalan hewan. Mungkin, selain pengajar muda, panggilan yang tepat untuk kami adalah penjagal muda hehe.. Kami tentu tidak mungkin mangkir dari permintaan masyarakat untuk memotong ayam. Jadi, dimanapun kami berada, pengajar muda yang muslim akan selalu diminta memotong ayam. Siap atau tidak siap, jangan sampai kami mengecewakan orang yang sudah percaya pada kami bukan?

                Selang beberapa hari dari Ice dan Iwan yang memotong ayam, tibalah giliran saya memotong ayam pada 26 Juni lalu. Saat itu keluarga angkat kak Nelly, Bapak Naben, membuat acara syukuran atas satu tahun kerja kak Nelly di Onatali, sekaligus penyambutan saya sebagai pengganti anak asuhnya di Onatali. Acara sederhana di malam Kamis itu dipersiapkan sejak siang hari. Mama Naben dan keluarganya, serta Ibu Fehmi memasak di dapur. Sedangkan saya dipercaya untuk memotong ayam. Terlintaskah di benak kalian bagaimana perasaan saya kala itu? Dag dig dug jeerrrr itulah jawabnya!

                Perasaan takut dan salah memotong ayam, itulah yang saya alami. Berbekal sms dari Ice tentang tata cara memotong ayam sesuai syariat Islam, akhirnya dengan mata sedikit tertutup dan perasaan tidak tega memotong leher ayam, saya pun berhasil melaksanakan tugas pertama sebagai penjagal muda. Ketika darah mengalir dari leher si ayam, saya mengucap syukur karena pekerjaan telah selesai. Namun, tahukah kamu kawan, bahwa masih ada ayam-ayam lainnya yang siap dipotong! Masih ada tiga ayam yang sedang mengantri. Haha, ya hari itu beta su potong empat ayam! Dibantu oleh Alfred, anak Bapak Naben, empat ayam pun selesai dipotong. Well, sepertinya saya siap untuk pemotongan hewan berikutnya ya :D

 

                Sang pembelajar sejati tidak akan berhenti belajar. Ia akan terus belajar, belajar, dan belajar. Sang pembelajar sejati tidak hanya duduk diam, dia akan terus mencari tahu apa saja yang belum ia ketahui. Ia tidak akan segan mengamati, bertanya, dan mencari tahu. Ia akan selalu menjadi orang antusias dengan pengetahuan baru, budaya baru, dan lingkungan baru. Ia haus ilmu, dari siapapun dan dimanapun. Baginya belajar itu tidak berhenti ketika ia menamatkan strata 1-nya. Justru setelah menamatkan strata 1 itu lah kesempatan baginya untuk belajar lebih banyak lagi. Baginya pula, berinteraksi dengan akar rumput merupakan pengalaman berharga untuk belajar. Tidak ada keraguan sedikitpun padanya untuk belajar.

                Maka, seorang pembelajar sejati harusnya selalu percaya bahwa dimanapun ia berada, ia akan dengan senang hati menerima perbedaan yang memperkuat hatinya untuk belajar lebih banyak lagi.


Cerita Lainnya

Lihat Semua