Merajut Tenun Kebangsaan, Merajut Indonesia

Bella Moulina 27 Juli 2013

                “Datanglah sebagai guru, datanglah dengan hati, dan gerakkan komunitas/daerah/masyarakat disana.”

                Sepenggal kalimat dari Bapak Hikmat Hardono, Direktur Eksekutif Gerakan Indonesia Mengajar tersebut termaktub dalam buku catatan saya. Kala itu saya begitu mencerna kalimat Bapak Hikmat, apakah saya bisa datang sebagai guru? Apakah saya bisa datang dengan hati? Apakah saya bisa menggerakkan masyarakat di daerah penempatan saya kelak?

                Rote Ndao. Ya, salah satu kabupaten yang menjadi sasaran penempatan Pengajar Muda angkatan VI. Kabupaten yang kaya akan pohon lontar, sebuah pohon yang dulu hanya saya raba dalam pikiran saya. Sebuah tempat dimana alat musik Sasando menggema dalam sebuah kompetisi bakat di salah satu televisi swasta.

Ia adalah tempat dimana cita-cita saya setidaknya banyak tercapai, menjumpai daerah di tepi laut, memiliki rumah di tepi pantai, serta bisa melihat bintang dan bulan bersinar terang kala berjalan kaki di malam hari. Sebuah pulau kecil yang terletak di wilayah paling selatan Indonesia, bahkan hampir dekat dengan benua Australia. Salah satu kabupaten dari provinsi Nusa Tenggara Timur, kaya akan budaya, karakter masyarakat, dan keindahan alamnya.

Satu minggu sudah saya berada disini bersama 8 orang tim Rote Ndao; Iwan, Kak Wisnu, Rizqie, Ice, Iti, Kak Tiva, Tika, dan Nadia. Satu minggu pula kami telah melewati masa transisi bersama kakak-kakak Pengajar Muda IV; Kak Darul, Kak Lucky, Kak Akbar, Kak Radi, Kak Nelly, Kak Sekar, Kak Kristia, Kak Anggun, dan Kak Anies. Satu minggu ini juga kami telah melewati banyak pengalaman bersama-sama, terlebih lagi dengan pihak sekolah, stakeholder, dan masyarakat Rote Ndao. Selama itu saya semakin sadar akan 3 pertanyaan yang saya lontarkan sendiri berdasarkan pernyataan Pak Hikmat di atas. Dapatkah saya?

Menjadi bagian dari warga Ibukota Kabupaten Rote Ndao, Ba’a, ini adalah impian saya sejak dulu. Keinginan untuk menginjakkan kaki di negeri timur Indonesia akhirnya tercapai dengan menjadi Pengajar Muda VI. Bahkan ketika saya tahu saya ditempatkan di Onatali, Rote Tengah, sebuah kecamatan yang terletak 15 menit dari ibukota kabupaten membuat saya semakin bersyukur. Itu artinya saya akan semakin banyak belajar dari masyarakat disini, semakin banyak terinspirasi untuk berbuat baik, dan semakin terpacu untuk memberikan manfaat bagi masyarakat.

First impression mengenai Rote pertama kali saya temui ketika di bandara El Tari, Kupang. Saya melihat raut wajah unik masyarakatnya. Sekelebat bayangan mata saya tertuju kepada dua anak kecil yang saya temui di bandara, Fendi dan Siran, yang menjadi porter di bandara tersebut. Saya berpikir di usia mereka yang relatif dini, mereka sudah bekerja keras untuk mencari nafkah. Bahkan di ujung timur Indonesia pun, di salah satu tempat dimana para pelancong hilir mudik, anak kecil telah menjadi bagian hidup orang dewasa untuk bersama-sama mencari nafkah.

Kali kedua saya terkesima dengan orang Rote adalah bapak sopir yang membawa kami menuju Pelabuhan Tenau. Sebelum kami akhirnya menaiki kapal cepat Bahari Ekspress, saya banyak bertanya tentang Rote kepada beliau yang saya lupa namanya itu. Banyak informasi yang saya dapatkan, pun begitu pula tentang lika-liku kehidupan beliau. Merantau ke beberapa daerah berkali-kali. Tujuannya satu, untuk mencari penghasilan yang layak. Meski akhirnya ia memutuskan untuk pulang kembali ke Kupang, ia tidak merasa kecewa. Baginya kerja keras adalah kunci untuk menjalani kehidupan.

Sesampainya saya di Onatali, Rote Tengah, saya makin banyak menemukan orang yang menginspirasi saya. Pertama, Kepala Sekolah SD Inpres Onatali, Bapak M.J Johannis, seorang kepala sekolah yang disiplin, tegas, visioner, humoris, dan memiliki semangat tinggi. Ia memberi contoh, bukan menggurui. Ia membuat saya tertampar akan komitmen beliau untuk datang ke sekolah pukul 06.30 WIT. Dengan segala kerendahan hatinya, ternyata banyak ilmu pengetahuan yang beliau serap, untuk kemudian ia bagikan kepada guru-guru di SD tempat saya bertugas nanti.

Kedua, pemuda di Komunitas Anak Muda Untuk Rote Ndao (KAMU Rote Ndao). Terbentuk pada 2011 lalu, terdiri dari pemuda yang berlatar belakang Pegawai Negeri Sipil (PNS), dan memiliki satu tujuan untuk berkontribusi bagi daerahnya, itulah deskripsi singkat mengenai komunitas yang memiliki banyak kemiripan dengan komunitas saya di Jambi. Ide awalnya sangat sederhana, memberikan ilmu pengetahuan dalam bentuk buku bacaan, maka terbentuklah taman baca. Di sisi lain, keikutsertaan pemuda Rote Ndao dalam komunitas ini adalah salah satu bentuk apresiasi positif dari mereka untuk daerahnya.

Ketiga, Bapak Jhon Ndoulu, Kick Andy Heroes 2011 yang berasal dari Rote. Beliau menggerakkan masyarakat untuk merevitalisasi budaya melalui pendidikan. Dengan tagline: Tu’u Untuk Pendidikan, Kurangi Pesta Pora Demi Pendidikan Anak,’ menjadikan beliau sebagai tokoh adat yang cukup berperan bagi perkembangan pendidikan dan budaya. Beliau mengajak semua lapisan masyarakat agar sadar akan pentingnya pendidikan anak yang dimulai dari merevitalisasi budaya pesta di kalangan masyarakat Rote.

Keempat, anak-anak SD dan masyarakat Onatali. Tidak ada yang lebih menyenangkan ketika kita saling bertegur sapa, senyum, dan salam kepada masyarakat Indonesia. Saya memulainya dengan senyum dan menyapa, lalu memperkenalkan diri kepada anak-anak di SD Inpres Onatali dan lingkungan masyarakat di tempat saya tinggal. Saya berusaha melebur dengan budaya baru, lingkungan baru, dan keluarga baru. Saya masih ingat dua hari yang lalu saya berjalan kaki dengan anak-anak menuju Batu Hun, melewati pantai, karang, dan batu-batuan, di saat air laut surut sore itu. Di balik keletihan dan kepanasan menuju Batu Hun, sungguh saya bahagia sekali. Saya belajar tentang makhluk hidup laut dari anak-anak itu! Anak-anak yang membuat saya ternganga akan kemampuan psikomotoriknya yang tidak pernah habis.

Menjelang malam, kejutan tiba! Anak-anak membuatkan saya dan kak Nelly, PM 4 yang saya gantikan, hidangan lezat dari tangan mungil mereka. Beberapa anak perempuan seperti Maya, Riska, Jelita, dan lainnya sibuk menyiapkan masakan berupa keong rebus dan ikan goreng di dapur. Yang lainnya juga menyiapkan biskuit dan minuman bagi saya dan kak Nelly. Di bawah terang bulan, kami menikmatinya dengan bahagia. Ditambah pula, saya mulai dekat dengan masyarakat, banyak mengobrol dan santai ketika bertatap muka. Pun ketika pembicaraan saya ditanggapi, mereka bertanya tentang kehidupan saya sebelum menjadi Pengajar Muda, hingga terselip harapan dan doa dari mereka untuk saya, membuat diri ini semakin termotivasi untuk semakin rendah hati. Karena inilah yang sejatinya diberikan Indonesia Mengajar kepada saya. Datanglah dengan hati, datanglah dengan rendah hati.

Sebagai daerah penghasil tenun yang cukup ternama di Indonesia, Rote banyak membuat saya ternganga disini. Saya menemui banyak orang yang mau berjuang untuk daerahnya. Saya menemui banyak orang yang membuat saya terinspirasi. Saya menjadi pribadi rendah hati dan bersikap terbuka dengan lingkungan. Saya belajar untuk mandiri, tidak cengeng, dan saling mendukung antar sesama anggota tim. Saya belajar pentingnya keluarga, eratnya persaudaraan, dan kekompakan. Saya belajar bagaimana cara yang tepat untuk menyampaikan sesuatu kepada masyarakat dengan baik. Saya termotivasi untuk mengenal seni, budaya, dan alam Rote Ndao dari penduduk lokal.

Tentu saja, 1 tahun disini saya tidak akan melewatkannya dengan sia-sia. Pengalaman 1 tahun kedepan adalah pengalaman saya merajut tenun kebangsaan negeri ini, semakin baik, semakin berwarna. Entah itu suka, duka, ceria, tawa, haru, atau tangisan, rajutan tenun tersebut bukan hanya mewarnai kehidupan 9 pemuda di 9 kecamatan di Rote Ndao, namun juga ia akan membuka mata hati kita, bahwa dengan merajut tenun kebangsaan-lah kita dapat mengenal rakyat Indonesia, lebih dekat, lebih nyata.


Cerita Lainnya

Lihat Semua