Pembelajaran Hidup Dimulai dari Why am I Here?

Bella Moulina 27 Juli 2013

“Why am I here?” Kalimat di atas dilontarkan oleh pak Anies Baswedan ketika saya berada di sebuah ruangan yang dingin, yang ukurannya 5x8 m, yang juga disaksikan oleh 73 Calon Pengajar Muda lainnya pada saat itu. Why am I here bukan persoalan kalimatnya, namun lebih kepada makna atas jawabannya. Yang membedakan adalah setiap orang akan memiliki jawaban tersendiri atas pertanyaan tersebut. Termasuk saya.

Memasuki kantor Galuh pada 22 April yang lalu dan disambut dengan guyuran air hujan, membuat saya tidak pernah menyangka akan mendapatkan kalimat di atas. Saya pikir awalnya saya pasti bisa menjadi pengajar di daerah. Namun, lama kelamaan pertanyaan tersebut membungkam saya suatu hari. Ada kondisi saat ketangguhan saya sedang lemah, dan saya mempertanyakan kalimat tersebut kepada diri saya sendiri. Anehnya, saya belum menemukan jawaban kala itu.

Hari demi hari, kondisi yang turun naik, membuat hidup saya menjadi nano-nano disini. Saya kemudian melupakan kalimat tadi. Berusaha untuk menjalani pelatihan tanpa ada beban. Bahkan tidak ingin berharap yang muluk-muluk. Kondisi naik dimana saya lebih percaya diri dalam mengemukakan pendapat. Kondisi sedih ketika harus merayakan ulang tahun ke-23 tanpa keluarga di sisi saya. Pun ditambah kemampuan beradaptasi yang masih belum berjalan baik. Frekuensi kondisi naik dan turun ini sangat mempengaruhi mood saya.

Di antara kondisi naik turun itu, saya teringat pada kata “ketulusan.” Pak Hikmat Hardono bilang kepada saya dan teman-teman bahwa ketulusan itu menular. Ketika kita menjalani suatu kegiatan dengan hati, rasa tulus akan merangsang hati untuk mengerjakannya. Entah kenapa, setiap kali saya down, saya ingat niat utama saya hadir sebagai pengajar muda. Saya ingat bahwa menjadi pengajar muda bukan mementingkan diri kita, bukan prestise, namun kita harus mementingkan mereka yang ada disana. Because it’s not about us, it’s about them.

Layaknya fenomena tipping point yang dituliskan oleh Malcolm Gladwell, saya merasa mood saya berubah baik ketika bertemu dengan anak-anak di sekolah saat Pengalaman Praktek Mengajar dan Kegiatan Belajar Bermain di tempat pelatihan Indonesia Mengajar beberapa waktu lalu . ada aura positif yang saya dapatkan ketika saya berinteraksi dengan anak-anak. Akhirnya mood saya berubah baik. Saya percaya bahwa ketulusan yang kita pancarkan akan balik memberikan ketulusan lagi kepada kita.

Dengan cepat, senyum dan tawa anak-anak tadi merasuki relung hati saya yang sudah lama tidak bersinggungan dengan anak-anak. Menyebar cepat, berdampak pesat. “Terima kasih sudah mengajar kami di sekolah ini Bapak/Ibu guru. Kami sedih sekali, kenapa mengajar di sekolah kami hanya satu minggu? Kenapa tidak satu tahun seperti Bapak/Ibu guru mengajar di daerah Rote Ndao nanti?”

Saya mendapat isi surat itu dari siswa saya di SD N Cilegong kemarin. Surat itu ditujukan bukan hanya kepada saya, tetapi juga kepada 8 teman saya yang akan ditempatkan di Rote Ndao. Sungguh, ada rasa haru menyelimuti hati ketika membaca surat itu. Mereka menulisnya dengan hati, dan kami yang menerimanya pun setulus hati.

Saya sendiri ketika membaca surat itu terbawa suasana sedih. Saya tidak pernah membayangkan mereka akan menulisnya untuk kami. Memang kami meminta mereka untuk menulis surat, puisi, pantun, ataupun menggambar, tapi itu ditujukan untuk siswa-siswa di daerah penempatan kami nanti. Ketika mengetahui mereka menulis surat juga untuk kami, it was awesome! Di setiap desahan nafas, keluhan sakit, dan pancaran sinar haus akan ilmu yang ada di pikiran, saya menjadi kuat kembali. Senyum anak-anak, semangat teman-teman pengajar muda, serta keikhlasan panitia dan pemateri, membuat moodbuster saya meningkat.

Pertanyaan Why am I here? memang belum saya temukan jawabannya, namun satu hal yang tidak pernah pudar adalah: “Sesulit apapun saya berada disini atau sekeras apapun hidup saya 1 tahun nanti, saya percaya bahwa semua akan kembali pada niat. Mundur ke belakang justru tidak mungkin, berhenti di posisi sekarang apalagi. Yang harus saya lakukan adalah mengatur hati sedemikian rupa agar saya bisa menjalani kehidupan baru dengan lebih baik. Tanpa beban, tanpa takut, dan tanpa keluhan. Jadikan ini sebagai pembelajaran hidup.”


Cerita Lainnya

Lihat Semua