Menjenguk Teman, Berbagi Suka Cita
Bella Moulina 22 Februari 2014“Anak-anak, hari ini siapa son masuk na?” tanya saya ke anak-anak.
“Imel, Bu. Imel su son masuk seminggu nah. Dia demam tinggi, Bu. Kemarin Imel pung mama sampaikan ke katong, waktu itu Ibu son mengajar katong.”
Imel, murid saya di kelas 3 tidak biasanya sakit sudah selama ini. Imel adalah murid kelas 3 tahun lalu yang harus mengulang kembali tahun pelajaran ini bersama saya. Imel saya tempatkan duduk di depan, di tengah Eldath dan Mardi. Anaknya pendiam, selalu memperhatikan saya saat berbicara di depan kelas, dan penurut. Melihat Imel membuat saya teringat mama saya, persis sekali sifatnya :’)
Ketidakhadiran Imel dalam kurun waktu lama itu membuat saya berinisiatif menjenguknya bersama anak-anak. Maka, kamis kemarin saya mengajak anak-anak untuk ke rumah Imel. Sekedar datang menghibur, mendoakan, dan menyampaikan rasa duka, adalah salah satu cara membangun hubungan persahabatan diantara anak-anak saya. Pun di sisi lain, pelajaran Kewarganegaraan yang saya ampu siang kemarin juga mengajarkan pelajaran Harga Diri. Di setengah jam pelajaran sebelum pulang, saya ingin anak-anak mempraktekkan langsung pelajaran tersebut.
Perjalanan ke rumah Imel melewati pepohonan lontar, rimbunnya pohon damar, dan bukit kecil menjulang tinggi serta rendah sebagai hiasannya. Anak-anak saya peringatkan untuk menjaga diri masing-masing, bagaimanapun juga saya bertanggung jawab atas anak-anak karena membawa mereka belajar di luar kelas. Kami lantas mempercepat langkah, bukan saja karena sengatan matahari, namun juga semangat untuk bertemu teman yang sudah seminggu tidak belajar.
Kami akhirnya sampai di rumah Imel. Saya membawa satu kaleng susu cokelat dan 10 buah kue untuk Imel. Makanan dan minuman itu hasil dari tabungan anak-anak. Kedatangan ini tidak hanya sebagai aplikasi pengajaran, namun membangun interaksi positif dalam berbagi suka dan kepedulian antar anak-anak.
Kami measuki rumah Imel. Disana ada kakak Imel yang sudah pernah saya temui sebelumnya. Saya melihat Imel lebih kurus dari biasanya. Saya kira ia kurang makan dan lemah sekali. Matanya juga sayu. Saya meraba keningnya, meski panas tinggi tak lagi menghinggapi dirinya, tapi Imel lebih banyak melamun saat teman-temannya memandangnya. Entah karena banyaknya teman yang mengerumuni di rumahnya yang tak seberapa besar dengan rumah anak-anak di kota, entah mungkin Imel yang butuh lebih banyak waktu istirahat.
Tidak lama disana, kami berniat pamit. Sebelumnya, anak-anak menyampaikan rasa prihatinnya kepada Imel. Beberapa anak bahkan bertanya kapan Imel masuk kembali ke sekolah? Pertanyaan yang menyiratkan kerinduan akan belajar bersama, timbul sendiri dari nurani anak-anak. saya bergegas mengajak mereka untuk berdoa. Mendoakan kesehatan Imel, mendoakan yang terbaik bagi Imel, dan menyemangati Imel yang sedang sakit.
Sebagian anak-anak memiliki pengalaman tersendiri dalam menjenguk teman yang sakit. Alih-alih dituliskannya soal latihan apa yang akan dilakukan jika teman sakit, mereka bahkan telah mempraktekkannya, bukan sekedar wacana belaka. Di akhir pembelajaran budi pekerti itu, saya mengajak anak-anak ke tepi pantai di Batu Hun. Saya meminta anak-anak untuk menuliskan pengalaman mereka dalam menjenguk teman yang sakit, pengalaman berbagi suka cita.
“Pada hari kamis saya menjenguk Imel. Saya dan teman-teman berdoa supaya Imel cepat sembuh. Saya senang menjenguk Imel. Saya juga senang membuat Imel tersenyum. Saya senang kalau nanti Imel masuk lagi.”
Sepenggal paragrap yang ditulis Rival tentang pengalamannya menjenguk Imel di atas membuktikan bahwa anak-anak butuh ruang untuk dihargai, menghargai, dan meluapkan perasaannya di atas secarik kertas.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda