Mimpi Sederhana Aku dan Tirus.

Belathea Chastine Hutauruk 13 Juli 2016

‘Percayalah akan kurikulum Tuhan’

Kata-kata itu yang selalu menjadi kata-kata yang cukup dalam yang sering aku ingat, ketika ada hal-hal yang luar biasa yang terjadi dalam masa penugasanku disini.

Sudah hampir setengah perjalanan dalam waktu masa tugasku menjadi seorang Pengajar Muda disebuah desa yang bernama Desa Harapan. Di desa ini aku menemukan banyak arti makna kehidupan, dan bagaimana Tuhan sedang mengajar aku untuk mengasihi dengan penuh-penuh. Selain menjadi guru di sekolah formal, disini aku mencoba untuk berbagi dengan menjadi guru sekolah minggu disebuah gereja di Desaku, sebuah gereja yang bisa dibilang gereja yang cukup sederhana, berbeda dengan kondisi gereja di kota yang sering aku temui. Gereja ini dibangun dengan bangunan dari kayu, pengurus gereja yang seadanya. Selama aku menjadi Guru sekolah minggu disini, aku mempunyai 13 murid. Dan aku bersyukur atas itu. Dari 13 orang itu, ada seorang anak yang bernama Tirus. Ya saya akan bercerita tentang tirus,. 

Tirus anak kedua dari tiga bersaudara dikeluarganya. Saat pertama kali aku mengenalnya tirus berusia 11 tahun, kesehariannya adalah bermain dan membantu orang tua nya bertani di ladang kelapa sawit. Dengan kata lain tirus sejak umurnya seharusnya sudah mengenyam pendidikan sampai usia saat ini tirus tidak bersekolah. Hal tersebut aku ketahui saat aku mengajar sekolah minggu.

Pada saat kegiatan sekolah minggu berlangsung, aku mencoba untuk membiasakan anak-anak sekolah minggu untuk membaca beberapa ayat alkitab secara bergantian, dan pada saat bagian tirus untuk membaca. Keadaan sempat hening beberapa saat, dan aku melihat mereka dengan perasaan bingung kenapa ayat selanjutnya tidak berlanjut dibacakan. ‘Tirus ayo dua ayat selanjutnya adalah bagianmu, ayo dibacakan.’

Dia hanya menggelengkan kepala

‘kenapa tidak mau membacanya?’

‘Aku ndak bisa bu. Ndak bisa baca. Yang lain saja yang membacakannya’ Ia berkata dengan wajah yang mencoba untuk tetap menjaga harga dirinya, terlihat seperti tetap kokoh, walaupun aku tahu anak ini sebenarnya rapuh saat aku menatapnya dalam-dalam ada perasaan malu.

Aku memang bukan cenayang yang bisa mengetahui hati anak-anak dengan benar-benar. Tapi saat iaku menatapnya hal yang bisa aku tangkap, ia seperti ingin berkata padaku. ‘ seandainya aku bisa membaca, pasti akan kubacakan ayat itu , Bu.’

Aku sempat diam cukup lama pada saat itu. Kalimat yang terbesit dipikiran saya saat itu adalah. Bagaimana bisa anak yang sudah berumur 11 tahun tidak bisa membaca, tidak mengenal huruf dan angka.

‘Baiklah, silahkan kawan disebelahnya yang melanjutkannya’

‘Untuk Tirus, setelah sekolah minggu selesai. Nanti tirus bisa bicara dengan ibu kah?’ Sambil mengangguk ia menjawab. ‘Iya bu.’

Aku mengamati mereka secara diam-diam dan tirus. Aku melihat bahwa tirus anak yang memiliki kemauan untuk belajar, hal itu terlihat dari frekuensi kehadirannya di sekolah minggu dan kemauannya untuk mencoba mendegarkan setiap ayat yang dibacakan dengan serius. Saat sekolah minggu selesai, aku bertanya. ‘Kenapa tirus belum bisa baca?’

‘Aku tidak sekolah.’ Anak ini mempunyai cara bicara yang tegas, dan mata yang tajam apabila berbicara denganku. Tapi hal ini tidak membuat aku putus asa untuk berharap dia bisa bersekolah.

‘kenapa tidak pergi sekolah, tirus?’

‘Bapak, mamak ndak sekolah. Akupun ndak usah. Tidak ada yang jaga dan bantu mamak dirumah.’

‘kenapa mama harus dijaga, kan ada bapa?’

‘Bapak ke ladang.’

‘Tapi tirus mau sekolah kah? Nanti ibu coba bicara sama orangtuamu?’ ‘aku tidak mau sekolah.’

‘Ibu, aku harus pulang sekarang, ndak ada yang menjaga mamak dirumah.’

‘Baiklah tirus, hati-hati dijalan.’ Hari itu cukup menjadi hari yang menguras emosiku, tirus akan menjadi bagian penting yang akan kupikirkan selama di desa ini. Aku tidak boleh putus asa untuk mengajaknya sekolah. Tapi apa yang harus saya lakukan kalau dianya saja tidak mau sekolah. Pikirku saat itu.

Pada hari minggu berikutnya, setelah kegiatan sekolah minggu. Aku mencoba untuk mengajaknya lagi agar mau bersekolah.

‘Tirus, tidak maukah mencoba dulu ikut pergi bersekolah besok?'

‘tidak.’

‘tidak usah takut, ada ibu disekolah. Bisa jadi temanmu disekolah.’

Tetapi sekali lagi tirus hanya menggelengkan kepala, yang berarti jawaban itu ‘tidak’

Pada kegiatan sekolah minggu selanjutnya tirus menjadi jarang untuk datang sekolah minggu. Mungkin salah satunya karena aku terlalu sering untuk mengajaknya bersekolah. Setelah kejadian itu aku menjadi sangat jarang membahas mengenai sekolah kepadanya.

Dan pikiran soal tirus benar-benar datang menggangu pikiran saya pada waktu penerimaan siswa baru disekolah. Aku mencoba untuk mengalihkan pikiran saya mengenai tirus. Tapi kata hati saya berkata. Anak itu harus terus diperjuangkan untuk bersekolah.

Hari pertama penerimaan siswa baru saya coba untuk menahan. Hari keduapun saya coba untuk menahan. Sampai dengan hari ketiga saya tidak menahan pikiran saya mengenai tirus, ada seorang anak yang berharga di depan mata saya yang belum merasakan pendidikan. Bukankah ‘Keadilan sosial itu bagi seluruh rakyat Indonesia?’ dan itu termasuk mengenai pendidikan. Dan Ia juga harus mendapatkan hak yang sama. Akhirnya saya memutuskan untuk berkunjung kerumah Tirus, bersama adik angkat saya yang masih duduk dibangku kelas 2 SD. Tak banyak yang tau rencana saya ini. Sebelum saya berangkat jantung saya berdegup kencang, ada pikiran-pikiran yang muncul.

‘Bagaimana kalau saya dianggap sok pintar mengenai pendidikan?’, ‘Bagaimana kalau saya diusir sebelum saya selesai bicara?’ dan yang paling saya khawatirkan. ‘Bagaimana kalau akhirnya tirus benar-benar tidak akan pernah bersekolah?’

Tapi apakah saya harus kalah dengan perasaan takut seperti itu?

Saya harus coba menerobos tembok-tembok itu. Dan Saat dirumah Tirus, Saya mencoba menjelaskan kepada orangtua tirus mengenai pentingnya pendidikan bagi tirus, salah satu cara tirus dapat mengenal agamanya lebih dalam dan bisa membaca alkitab adalah dengan mengenyam pendidikan. Saya juga menginformasikan bahwa masih ada satu hari lagi untuk penerimaan mahasiswa baru. Masih ada kesempatan bagi tirus untuk bisa bersekolah. Senang rasanya bisa berdiskusi banyak dengan orangtua tirus, mendengar alasan orangtua tirus tidak mendaftarkan tirus bersekolah. Dan diakhir percakapan orangtua tirus berjanji akan datang besok pagi pukul 09.00 WITA untuk mendaftarkan tirus bersekolah.

Jantung saya berdegup kencang lebih kecang daripada sebelum saya berangkat. Senang luar biasa aku mendengarnya, dan Terimakasih Tuhan. Rasanya tidak sabar menunggu besok untuk melihat orangtua tirus datang kesekolah bersama tirus membawa persyaratan yanga ada agar dia bisa bersekolah.

Hari terakhir Penerimaan Mahasiswa Baru tiba, aku melihat jam dinding sekolah, menunjukan hampir pukul 9, lewat dari jam 9 dan menunjukan hampir pukul 10. Baiklah, mungkin ucapan yang kemarin hanya untuk menyenangkan hati saya. Pikiran itu yang terbesit dipikiranku saat itu. Tetapi saat itu saya tetap berharap ada keajaiban bahwa mereka bisa benar-benar datang. Dan tepat pukul 10.00 WITA dari kejauhan saya melihat lelaki bapak separuh baya menggandeng tangan seorang anak-anak laki berumur 11 tahun. Itu Ayah Tirus dan Tirus. Keajaiban itu datang. ‘Maaf Bu, kami datang terlambat, tadi saya mencoba untuk mengajak adiknya juga untuk bersekolah.’ Terharu rasaya, bahwa akhirnya orangtua tirus mau mengajak kedua anaknya untuk bersekolah. Tidak hanya tirus yang ia dukung untuk bersekolah, tetapi satu anaknya lagi.

‘ Tidak apa-apa pak. Lalu dimana adiknya tirus?’

‘Dia belum mau sekolah bah bu, mungkin tahun depan akan saya coba ajak dia lagi.’

‘Ndak apa-apa, kita doakan sama-sama agar dia mau sekolah.’ Setelah pendaftaran secara administrative di sekolah selesai, pada hari sabtu berikutnya seluruh calon siswa baru diinformasikan untuk datang kesekolah menggunakan seragam dan berfoto. dengan bantuan dari beberapa pihak,tepat pada hari sabtu tirus datang ke sekolah menggunakan seragam yang lengkap. Senyum bangga yang terlihat dari wajah anak itu. Kali ini dia bisa bicara dengan lantang bukan sekedar sok kokoh, tetapi benar-benar kokoh karena dia bisa bercerita kepada teman-temannya kegiatan sehari-harinya sama dengan teman-temannya. ‘Aku, Tirus sekarang sudah bersekolah.’

Saat aku menatap dalam-dalam tirus saat ia menggunakan seragam sekolahnya, tidak banyak kata yang bisa aku keluarkan. ‘Tirus selamat, sampai ketemu senin tanggal 18 disekolah. Harus terus bersemangat.’

Tirus mencium tanganku, matanya berkaca aku tau anak ini tidak bisa menahan rasa senangnya dan tirus menangis, memeluk saya. Perasaan yang terdalam akan kerinduannya untuk bisa bersekolah, hari itu dia tunjukan di depan orangtuanya, guru, pendeta, dan saya. 


Cerita Lainnya

Lihat Semua