info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

SASI Tanimbar

Bartolomeus Bagus Praba Kuncara 28 Juli 2012

30 November 2011

“Warisan budaya bukan untuk dipajang tapi dihayati”

-Bartolomeus B-

SASI

                Istilah Sasi, kukenal memiliki arti Bulan. Bagi aku yang orang Jawa, ya memang itulah artinya. Misalnya ada pertanyaan, Sekarang Sasi piro? Sasi Sebelas (artinya November). Nah, begitu sampai di MTB, ada istilah SASI yang kalau dipikir-pikir memiliki semacam arti SEGEL.

                Masyarakat Maluku ternyata memiliki budaya yang bernama Sasi. Sasi digunakan untuk MENYEGEL benda-benda agar selama masa SASI tidak boleh seorangpun yang menjamah benda tersebut. Benda-benda ini bermacam-macam mulai dari hasil alam seperti pohon, sayuran, kelapa, dll, lalu rumah sampai SASI manusia. Di masa zaman para datuk menyeberang lautan hanya dengan kulit kerang (bia’), sasi digunakan untuk menjaga alam dari pengrusakan oleh tangan-tangan tidak bertanggung jawab. Mereka menyegel tanaman dengan doa adat yang melibatkan SOPI (arak Molu), SOPI disiram ke tanah, lalu memasang plang pada tanaman yang diSASI. Tanaman yang kena SASI tidak boleh di sentuh sama sekali. Orang yang melanggar dengan mengambil bagian tanaman seperti buah, batang atau daun akan terkena semacam kutuk yang membuat orang tersebut mati. Misalnya SASI kelapa. Setelah melalui prosesi adat, maka orang tidak boleh lagi mengambil buah kelapa dimanapun area SASI diberlakukan. Jika yang diSASI adalah kelapa dalam suatu kebun, maka dalam satu kebun itu tidak boleh dimanfaatkan. Jika yang diSASI adalah kelapa dalam satu pulau, maka dalam satu pulau tidak boleh diambil buah kelapanya.

                Saat ini, pada zaman para presiden menyeberang lautan dengan pesawat terbang ada beberapa perkembangan pada budaya ini. Ketika Injil masuk ke Maluku Tenggara Barat, prosesi SASI diambil alih oleh gereja. Benda atau hasil alam yang mau diSASI, dibawa di altar gereja, lalu Pendeta mulai prosesi dengan doa dan memercikkan air pada benda sebanyak 3 kali. Bagi yang melanggar, akan bebas dari “kutukan” jika datang ke altar gereja untuk didoakan. Jika tidak, maka dosa ditanggung sendiri dan Tuhan yang tahu cara menghukum. Memulai SASI disebut dengan istilah TUTUP SASI. Benda yang TUTUP SASI tidak boleh diapa-apakan hingga masa BUKA SASI.

Saat pertama datang dan melihat budaya ini, banyak hal kutanyakan pada orang-orang di MTB apa esensi utama budaya ini. Jawaban bergam muncul, terlebih jawaban dari generasi di bawah 30 tahun. Rata-rata mereka menjawab SASI ya SASI, just it, more than that...They don”t know. Hingga Max Betokki, pendeta di Adodo Molu, yang dulu seorang wartawan di salah satu harian Ambon mengatakan bahwa SASI pada mulanya adalah budaya turun temurun yang digunakan untuk melestarikan alam. Pada zaman dulu, orang suka menebang, membakar, dan membabat hutan seenaknya. Alam lautan yang ganas, dan cuaca yang sangat panas akan menjadi seperti “hell” kalau alam hijaunya di daratan juga habis.

Pada beberapa daerah di Maluku, masyarakat memberlakukan SASInya sesuai perkembangan budaya di tempat masing-masing. Dikenal istilah SASI ATAS dan SASI ATAS-BAWAH. Istilah ini muncul sebagai bentuk masyarakat yang mulai beranjak meninggalkan tradisi lama. Sebagian orang-orang tua yang merasa memiliki budaya ini, merasa sangat dirugikan karena budaya SASI menjadi memiliki TOLERANSI. Kalau SASI ATAS diberlakukan untuk buah/ tanaman yang hasil buahnya menjadi busuk kalau jatuh. Jadi buah yang masih di atas pohon tidak boleh diambil, tapi kalau sudah jatuh ke tanah, siapapun berhak mengambil. Kalau SASI ATAS-BAWAH, buah baik yang diatas maupun yang jatuh, tetap tidak boleh diambil. Masyarakat yang sudah menjadi tetua ataupun masyarakat yang peduli budaya agak menyayangkan paham SASI ATAS. Terdapat beberapa kasus yang membuat masyarakat akhirnya memandang remeh sasi ini.

Ada cerita tentang SASI mangga. Masyarakat MTB sangat menyukai mangga, apalagi Molu. Karena mangga disukai akhirnya diberlakukan SASI ATAS untuk mangga di Molu. Mangga yang di atas pohon tidak boleh dimakan, tapi yang jatuh boleh diambil. Akhirnya setiap hari orang-orang jaga di bawah pohon mangga menunggu buah yang jatuh. Malam harinya, banyak yang saling berburu mangga yang jatuh karena kelelawar malam. Ini masih cara yang halal. Kian lama, orang yang berburu mangga akhirnya memperlakukan segala cara untuk membuat mangga jatuh. Namanya juga orang. Pergeseran budaya mulai sedikit terlihat dengan masyarakat yang mulai membuat toleransi-toleransi budaya.

Namun ada cerita menarik tentang SASI. Jika di masa lalu, SOPI digunakan sebagai simbol adat, di masa kini banyak orang yang dimabuk SOPI. Kalau mabuk, hal-hal yang negatif di luar dugaan bisa terjadi. Nah akhirnya SOPI yang jadi simbol adat ini sendiri, akhirnya di SASI juga. Hal ini biasa dilakukan saat di event-event besar seperti perayaan 17 Agustus, Pilkada, Natal, dan kegiatan besar lain dengan tujuan agar tidak ada orang yang buat kekacauan. Di Tutunametal (Tutuna = tanjung, metal = bersambung-sambung) dilakukan SASI sopi saat PILKADA 17 November lalu. Pdt Patikawa pada awalnya tidak mau menSASI SOPI karena itu adalah peninggalan budaya, tapi karena masyarakat sendiri sadar bahwa SOPI juga memiliki sisi negatif yang dampaknya merusak, maka mereka meminta di SASI.

Pak Patikawa, melakukan prosesi SASI berbeda dengan pendeta lain. Setelah beliau mendokan sebotol SASI di gereja, SOPI langsung dituang di lantai gereja, lalu sebagian dituang di sumur, sebagian di tuang di mata air desa, sebagian dituang di laut. Setelah itu, beliau mengatakan bahwa setiap orang boleh meminum SOPI dengan syarat mereka minum di atas pohon, boleh mabuk di atas, tapi tidak boleh menyentuh tanah lagi hingga SASI berakhir, karena SOPI sudah dituang di darat, laut dan mata air, hanya di pohon yang belum. Jika dilakukan, kematian ditanggung sendiri. Singkat cerita, seminggu setelah itu ada orang yang tiba-tiba meninggal tanpa diketahui penyebabnya. Saat diperiksa tubuhnya, tidak ada tanda-tanda penyakit dalam maupun luar hingga ada seorang temannya yang datang ke pendeta dan bererita bahwa 1 hari sebelum temannya meninggal, mereka sempat minum-minum SOPI. Dia diajak oleh orang yang meninggal itu. Karena takut mati, dia pergi ke Pendeta untuk didiokan.

Bagi yang merasa menjadi bagian masyarakat modern mungkin menganggap hal-hal ini berbau magis. Ya...kita tidak tahu bagaimana menjelaskan hal ini secara sains. Namun, yang pasti ada hal yang perlu kita perhatikan. NILAI Budaya akan menjadi semakin luntur seiring pergantian generasi. Bukan berbicara soal bentuk budaya yang dinilai berbau magis atau tentang prosesi budaya yang sakral, tapi lebih ke bagaimana menilai keluhuran nilai budaya kita. Bahwa dulu nenek moyang kita yang notabene belum pernah sekolah di SD Inpres sekalipun memiliki kearifan untuk melestarikan alam....terlebih seharusnya kita?

Ada cerita lagi tentang SASI. Di Adodo Molu, ada seorang kepala sekolah yang sudah belasan  tahun menjadi guru disana. Tapi kepsek ini sering sekali tidak menjadi contoh bagi masyarakat. Sering sekali teriak-teriak PIG AND DOG pada anak muridnya. Sering hanya memakai kaos dalam saat masuk ke kelas, dan yang paling bahaya kalau sudah mabuk SOPI. Hingga suatu hari, tanggal 27 November, saat ada kegiatan Kelompok Kerja Guru se Molu Maru. Beliau baru saja pulang dari Jakarta. Kalau biasanya seorang ayah pulang ke rumah sambil bawa oleh-oleh ke anak dan istrinya. Kali ini kepsek pulang dengan membawa dampratan pada istrinya. Karena dibakar cemburu, kepsek memukuli istrinya, sambil mabuk, padahal sedang ada acara KKG yang dipimpin bapak Camat langsung. Wah.....langsung sontak terjadi keributan, pak Camat meneriaki kepsek untuk diam. Singkat cerita kepsek mendapat sangsi wajib lapor ke kantor kecamatan dan penahanan gaji. Tapi ada satu lagi yang menarik. Kepsek ini sangat sering “pergi dinas”, entah dinas betulan atau dinas-dinasan, entah ke Ambon atau ke Jakarta.....padahal sekolahnya sangat kurang guru. Nah.....agar kepsek ini tidak pergi-pergi sembarangan dan tidak selalu membuat coreng figur guru, ditetapkan untuk SASI RUMAH. Jadi rumah kepsek tersebut di SASI. Jika kepsek pergi keluar, maka rumah di TUTUP SASI. Jika pulang, kepsek tersebut harus lapor diri ke gereja untuk ke pendeta untuk buka SASI.

Seandainya SASI juga berlaku di JAWA, mungkin yang paling tepat dilakukan SASI ISTRI dan ANAK, agar para suami dan ayah yang tidak bertanggung jawab tidak berani macem-macem J

                Budaya GREEN LIFESTYLE ternyata sudah dimiliki masyarakat Maluku sejak zaman tempurung kura-kura bisa jadi perahu sesuai dengan pola pikir manusia zaman itu. Mungkin ini hal yang harus dijaga. J. KEEP OUR NATURE


Cerita Lainnya

Lihat Semua