Negeri Tanpa Waktu

Bartolomeus Bagus Praba Kuncara 25 Februari 2012

23 Juli 2011

“Menjadi Tua itu pasti, tapi Menjadi buta waktu itu Pilihan “ -Bartolomeus B-

Negeri Tanpa Waktu

Siang ini di sela-sela latihan pesparawi aku ngobrol dengan beberapa anak-anak SMA Molu Maru. SMA ini merupakan SMA baru dengan angkatan pertamanya. Tanpa gedung, tanpa guru, dan tanpa fasilitas apapun. Boleh dibilang ini SMA 1 Bonek. Setiap kesempatan kulakukan untuk mengasses sejauh mana anak-anak belajar di sekolah. Penasaran mungkin, mereka mengama-amati jam di pergelangan tangan kiri ini. Nah....langsung mereka kubuatkan soal cerita. Saat itu ada Evan, Nathan yang murid SMA dan Irwan yang baru lulus SMA tahun ini.

Santos ingin pergi ke Saumlaki.  Santos berangkat dari Adodo Molu pukul 17.00 dan sampai di Larat pukul 19.00. Karena tidak ada perhubungan yang datang, maka baru pada besok hampir siang pukul 03.00 Santos berangkat ke Saumlaki dan sampai di Saumlaki pukul 05.00. Berapa jam perjalanan Santos?

Irwan memegang janggutnya dan berpikir...

Nathan hanya senyum-senyum...

Evan menatap ke langit-langit....

3 menit kemudian...

Irwan memegang keningnya dan berpikir...

Nathan masih senyum-senyum...

Evan menatap ke lantai...

5 menit kemudian...

Irwan terperangah....Nahhhhh

Nathan kaget...

Evan menatap kearahku dengan mulut bengong...

“22 jam pak”, Kata Irwan. “Tepat Wan, bagaimana menghitungnya?”. Lalu dia menjelaskan perhitungannya. Kepalaku mengangguk-angguk tanda deal dengan  penjelasannya. Lalu kulihat Evan yang

Tetap bengong......dan Nathan yang tetap senyam-senyum..

“Woi, mikir apa? Sudah mengerti jawabnnya?...

Tak diduga tiba-tiba keluar jawaban ini....

“Wah ....itu tidak mungkin pak,.....Saumlaki itu jauh”

Dalam hati aku terperangah...Ternyata dari tadi dia bengong itu bukan memikirkan jawaban soalnya, tapi memikirkan  kalau soal itu tidak masuk akal.....Walah...walah. Untuk informasi, Adodo Molu-Larat itu 6 jam perjalanan ferry dan Larat-Saumlaki itu 12 jam perjalanan ferry.

Ditanya apa, yang dipikir apa. Lalu kutanya sekali lagi satu-persatu jam berapa yang ditunjukkan jam di tanganku. Ternyata mereka sudah SMA tapi tidak tahu sama sekali tentang jam.

Anak-anak SD, SMP, dan SMA menunjukkan gejala yang sama, mereka tidak paham akan jam. Di desa-desa di Molu Maru, jam hanya ditandai oleh lonceng gereja. Aku tidak menemukan jam di rumah-rumah penduduk di Momar, kecuali di rumah pak Camat dan para Kades. Makanya, mereka tidak tahu jam.......

Lonceng gereja berdentang pukul 8.30 di hari minggu, 15.30 di hari Senin, dan 17.00 di hari sabtu. Itu saja patokan mereka. Tapi yang menarik, mereka “very very enjoy” dengan itu semua.

Ketika di kota orang diburu oleh waktu. Di Momar orang bisa tetap santai pantai ramai. Hal ini menjadi perhatian unik untukku.

Ya...inilah negeri tanpa waktu yang pertama kali kulihat. Tidak peduli pagi, siang, atau malam, mereka bisa menikmati hidup mereka dengan cara mereka sendiri. Mungkin lain kali bagi para Workaholic di kota bisa mampir ke Momar untuk bisa merasakan hidup tanpa kejaran waktu J

Lets enjoy this life !!!


Cerita Lainnya

Lihat Semua