info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Menjadi Orang yang Di-Molu Maru-kan

Bartolomeus Bagus Praba Kuncara 12 September 2011

“Orang baik akan bertemu proses yang baik, Orang benar akan menjalani proses yang benar, Orang setia akan menghasilkan buah yang mulia” -Bartolomeus B-

Menjadi Orang yang Di-Molumaru-kan

Molumaru, nama salah satu kecamatan di Maluku Tenggara Barat (MTB) yang terletak di area paling utara. Kecamatan ini belum berusia 1 tahun karena baru diresmikan pada 15 November 2010. Molumaru ini terdiri dari dua pulau yang bernama Molu dan Maru. Pulau Molu terdiri dari 4 desa yang masing-masing bernama Adodomolu, Tutunametal, Wulmasa, dan Wadankou. Pulau Maru terdiri dari 1 desa yang bernama Nurkat. Tuhan menganugerahi kecamatan ini dengan alam yang luar biasa indah. Pantai biru, pasir putih, karang-karang alam, barisan lambaian daun kelapa dan hutan yang masih hijau. Mungkin bagi yang mereka yang punya hobi traveling, aku sarankan untuk mencoba tempat ini. Nanti foto-fotonya bakal ku-upload.

Tapiiii.....

Kamis, 16 Juni 2011, 01.30 dini hari, kami tim pengajar muda MTB berangkat menuju Ambon. Kami bertujuh yaitu Dedi, sang koordinator, Arum, Dissa, Matilda, Ratih, Sandra, dan aku didampingi Safira dari kantor Indonesia mengajar.  Dulu aku hanya tahu Ambon dari pelajaran IPS dan sejarah, tapi hari itu untuk pertama kali, udara Ambon kuhirup. Satu malam kami menginap di kota Ambon dan selama siang kami berkeliling ke beberapa tempat. Bekas-bekas kerusuhan 1999 masih nampak di beberapa sudut jalan, bangunan-bangunan yang rusak ditinggal begitu saja oleh pemiliknya.

Di salah satu sudut Ambon, di suatu desa untuk pertama kalinya kami melihat belut sebesar bayi yang baru lahir...(mantap). Masyarakat disana membiarkan begitu saja para belut berkeliaran, tidak ada treatment budidaya, karena mereka masih takut dimarahi “alam”. Kami juga menyempatkan untuk melihat Gong Perdamaian yang menjadi simbol ditegakkannya atmosfir damai di Ambon. Kami juga mampir di kantor pusat PMI Ambon yang ternyata relatif kecil. Pengurusnya sangat ramah terhadap kami. Kami banyak diberi buku-buku panduan tentang Palang Merah. Satu malam cukup membuatku sedikit memiliki gambaran tentang Ambon. Sebuah kota dengan jalan-jalan kecilnya yang dipercaya menjadi ibukota provinsi. Mungkin di Pulau Jawa Ambon mirip dengan kota Kediri, Jawa Timur. Tidak terlalu besar, bangunan-bangunan tinggi dapat dihitung.

Esoknya kami melanjutkan perjalanan ke Saumlaki, ibukota kabupaten MTB. Saat terbang di atas pulau Yamdena (pulau terbesar di MTB), serasa melihat hutan Amazon yang dibelah sungai Amazon. Sangat mirip. Jika hutan Amazone dibelah sungai, maka pulau ini dilewati teluk yang jauh menjorok ke dalam.

Selama 4 hari kami di Saumlaki, kami bertemu dengan Pak Roland, seorang kontraktor yang juga mantan preman Jakarta menggambarkan penduduk MTB seperti buah durian, luarnya kasar tapi dalamnya lembut. Dan hal itu memang terbukti, disana angkutan seperti diskotik berjalan. Suara musik fullsound berdebum sepanjang jalan. Orang-orang berdialog dengan suara yang keras. Tapi mereka sangat ramah terhadap orang baru dan apa adanya. Jadi kalau mereka ada kurang enak hati atau malu hati, seketika itu juga mereka sampaikan dengan tanpa mengurangi hormat. Sedikit berbeda dengan orang-orang di Jawa yang mungkin ramah, namun terkadang antara yang disampaikan dengan yang di hati .......(sensor-rahasia umum).

Sebelum berangkat ke MTB, kami sangat minim mengetahui tentang MTB. Boleh dibilang kami berangkat dengan membulatkan hati saja namun tidak tahu bagaimana gambaran umum daerah kerja kami nanti. Selama bertemu dengan orang-orang MTB, selalu kalimat yang sama mereka ucapkan,”Aduh bagaimana bisa jauh-jauh kesini?”. Selanjutnya ketika masing-masing kami jelaskan daerah penempatan kami dan mendengar kata Molumaru, kalimatnya selalu berlanjut,”Aduh kasihan sekali, jauh sekali itu Bapak. Kami saja yang orang-orang MTB tidak ada yang mau kesana. Di sana masih banyak ilmu hitam. Makanan susah, hanya ada makanan-makanan tanah (ubi dkk). Transportasi kesana juga susah. Nanti kalu sudah sampai di tempat segera ambil pasir pantai dan oleskan pada lidah. Dengan itu kita akan terhitung tuan tanah disana dan yang disegani di tempat itu tidak akan mengganggu” Karena kami tidak tahu sebagaimana si Molumaru ini, kamipun hanya tersenyum mendengar itu.

Setiap daerah penempatan kami memiliki tantangan masing-masing dan pasti mereka juga bercerita di blog masing-masing. Dissa di Lumasebu, Arum di Werain, Ratih di Adaut, Sandra di Labobar Barat, Matilda di Lamdesar barat, lalu aku dan Dedi di Molumaru (Adodomolu dan Wadankou).

Para Pengurus PMI Ambon, Bung Theo (driver angkot di Saumlaki), Bapak Nanariain (pegawai Dinas Kehutanan MTB), Pak Niko (kepala Mesin Feri  KMP Egron), mengatakan cerita yang sama tentang Molumaru. Mereka bercerita bahwa daerah sana masih kuat ilmu hitamnya, bahkan mereka juga enggan untuk tinggal di sana. Tapi Pak Niko mengingatkan bahwa ada dua kunci untuk masuk daerah itu yaitu Tuhan nomor satu dan dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung.

Dari Saumlaki kami naik KMP Egron (satu-satunya kapal feri untuk daerah MTB) menuju kecamatan Larat. Kapal berhenti hingga pukul 02.00 esok harinya. Perjalanan dilanjutkan dan tiba di Molumaru pukul 10.00 pagi. Perjalanan yang cukup panjang untuk tidur di kapal. Begitu sampai kami ke rumah Pak Camat Molumaru dan ternyata Camat dari kecamatan baru ini masih Muda. Beliau bernama Marthen R Bebena, S.STP yang lahir pada 26 Februari 1980 (Aku lahir 26 Februari 1989 ^_^). Secara aktif baru bekerja sejak Januari 2011. Jadi secara umum status pak Camat dengan kami berdua (Aku dan Dedi) adalah sama-sama orang baru. Hari itu adalah kamis, 23 Juni 2011. Rumah Pak Camat terletak di Adodomolu sebagai ibukota Kecamatan. Setelah beristirahat, kami berencana ke Wadankou. Jalur menuju Wadankou dari Adodomolu bisa dilalui dengan 2 cara yaitu jalur laut dengna speedboat atau jalur darat melalui hutan dan kemudian naik speedboat. Area jalur darat harus melewati jalanan hutan, barang-barang bawaan kami yang banyak tidak memungkinkan kami melewatinya. Akhirnya kami mencoba lewat jalur laut.

Molumaru mengenal 2 musim untuk gelombang laut, yaitu musim barat dan timur. Jika musim timur maka laut pada arah Wadankou tinggi dan berbahaya untuk naik speed kesana (Juni-September). Jika musim barat maka laut pada arah Adodomolu yang berbahaya (Januari-Maret). Meski saat ini musim timur, kami mencoba untuk lewat jalur laut menuju Wadankou. Tapi memang Tuhan masih sayang kami. Setelah sepertiga perjalanan ternyata gelombang sangat tinggi, dan speed yang kami gunakan harus berbalik ke Adodomolu. Akhirnya Dedi harus sementara tinggal di Adodomolu.

Pak Camat menjelaskan bahwa sifat dasar penduduk Molumaru ini malu hati (pemalu) dan cuek. Ibaratnya seandainya ponsel kita tertinggal di jalan, maka sampai besokpun tidak ada yang akan mengambil. Saat siang hari perkampungan dengan 181 KK berasa seperti perkampungan tidak berpenduduk. Sangat sepi. Pak Camat Bebena yang merupakan camat pertama Molumaru kemudian mulai mengajak kami berkeliling ke desa-desa Molumaru. Sebelumnya kami melakukan upacara adat terlebih dahulu. Di Adodomolu upacara adatnya dihadiri tua-tua adat, selanjutnya ada Sopi (arak khas MTB) yang di bawah botolnya disisipkan uang Rp50 ribu. Setelah Tetua adat berdoa dengan bahasa pulau setempat dan menyiramkan Sopi ke tanah, kami semua satu persatu minum Sopi. Di Adodomolu kami tinggal di rumah salah seorang guru bernama Bu Batmomolin. Tapi karena beliau masih di Saumlaki untuk ujian Universitas Terbuka, kami disambut suaminya Pak Rahanwaty. Setelah semalam menginap, esoknya kami berjalan-jalan keliling desa.

Awalnya kami ke desa Tuturnametal, tapi karena disana pak Kadesnya sedang tidak ada, kami menuju Nurkat. Di desa Nurkat kami menginap di Kepsek SD Nurkat. Disana kami juga upacara adat. Prosesinya sama dengan di Adodomolu tapi terdapat perbedaan, dimana kami berdua dipercikkan air pada kepala, dada, tangan, dan kaki . Yah...intinya kami tidak paham, tapi menarik juga.

Selama di Nurkat Bapak dan Ibu camat banyak bercerita pada kami. Disini aku mendenganr istilah yang unik. Pak Camat merupakan lulusan STPDN dan beliau bekerja di Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten sebelumnya. Beliau merupakan salah satu pegawai yang memiliki kompetensi tinggi. Para petinggi di BKD dan kantor Bupati menyenangi kinerja Bapak Camat. Beliau juga mungurus daftar nama calon camat Molumaru. Hingga tiba hari pelantikan, seluruh calon nama camat tidak ada yang datang dan akhirnya secara mendadak beliau langsung ditunjuk Bupati untuk menjadi Camat Molumaru yang baru. Siang ini ditunjuk, sore itu juga langsung berangkat ke Molumaru.

Tanpa banyak persiapan barang dan persiapan hati. Seluruh keluarga yang ditinggal di Saumlaki menangis selama 2 hari.Seluruh pegawai BKD pun menanyakan, ”Mengapa orang sebaik  bapak Bebena harus dibuang ke Molumaru?, apa kesalahan yang dia buat”. Ternyata di MTB, area Molumaru seimage dengan Nusakambangan di Jawa. Daerah itu merupakan daerah orang buangan, daerah orang yang kinerjanya buruk dan terkenal di internal dinas kabupaten dengan “Orang yang di-Molumarukan”.

Bapak Camat pun awalnya tidak mengerti mengapa beliau ditempatkan disana. Sesampai di Molumaru, saat akan menurunkan barang, tidak satupun masyarakat yang mau membantu mengangkat barang. Saat dimintai bantuan, mereka tidak mau karena takut basah. Jawaban yang cukup menjengkelkan. Penduduk yang bersifat dasar malu hati sering kabur kalau melihat Bapak Camat sedang berjalan-jalan. Kantor Camat yang ada baru saja hancur diterpa ombak dan mereka akhirnya kontrak di salah satu rumah penduduk. Cukup lengkap alasan untuk mengeluh dan berkata,”Lebih baik aku kembali ke pekerjaan semula”. Namun, suatu anugerah ketika Pak Camat memiliki isteri yang sangat mendukung. Ditengah semua kesulitan merintis daerah baru, Bu Camat justru menguatkan suaminya untuk terus mengandalkan Tuhan. Jika Tuhan berkehendak mereka berada di Molumaru, berarti Tuhan ingin memberkati Molumaru melalui mereka.

Dalam SK yang diterima saat pengangkatan Camat, Pak Bebena hanya ditugaskan selama 3 bulan. Jika dalam selang waktu tersebut Camat dapat bertahan, maka akan segera ditarik dan diangkat menjad Sekretaris BKD Kabupaten. Namun setelah lewat 3 bulan dan pak Bebena akan ditarik di Kabupaten, 5 Kades pergi ke Saumlaki dan memohon pada Bupati untuk pak Bebena tetap menjadi Camat mereka. Ternyata masyarakat yang awalnya acuh tak acuh terhadap keberadaan Camat Muda yang baru, sekarang menginginkan pak Camat untuk bertahan.

Selama 6 bulan, Bapak dan ibu camat yang merangkap sebagai ketua UPTD berkeliling ke seluruh sekolah di Molumaru. Mereka menjadi pengajar IPA, TIK, dan Bahasa Inggris serta mengajari anak-anak SD untuk mandi dan berpakaian rapi sebelum berangkat ke sekolah. Beliau bercerita bahwa hampir di semua sekolah, murid-murid SD tidak tahu cara mandi dan berpakaian. Bahkan pernah suatu saat di suatu desa, saat pak Camat akan mengajar di suatu kelas, begitu beliau masuk, begitu juga beliau seketika keluar karena hampir muntah akibat bau anak-anak yang tidak tertahankan. Pak Camat dan Bu Camat juga mengajari masyarakat untuk mulai membuat MCK dengan baik. Sungguh suatu perjuangan besar selama 6 bulan. Pak Camat juga merombak prinsip “naik kelas”. Awalnya angka kelulusan dan naik kelas di Molumaru adalah 100%, tapi tahun ini 50% lebih tidak naik kelas. Hal ini terlihat sebagai penurunan, tetapi justu ada pondasi baru yang ditanamkan. Pak Camat menekankan, jika anak memang tidak berkapasitas untuk naik kelas, jangan dinaikkan, karena jika dinaikkan, justru menghacurkan masa depan anak itu sendiri.

Kecamatan Molumaru belum memiliki jalan darat yang menghubungkan kelima desa, masyarakat secara umum juga  belum mengenal MCK (mandi cuci kakus). Di desa Nurkat, masyarakat yang mau buang air besar, cukup pergi ke pinggir pantai atau masuk kedalam hutan. Pak Camat besrta Staffnya akhirnya mempelopori untuk membersihkan pantai yang sudah sangat kotor. Selam 6 bulan pak Camat bertugas, sudah mulai dibangun darmaga dan tim PU Kabupaten juga sudah mensurvei seluruh lokasi Molumaru untuk pembuatan jalan besar.

Jika dibandingkan dengan tugasku nanti selama setahun, tugas yang dihadapi pak Camat jauh lebih kompleks dan menantang lahir batin. Tapi baru 1 minggu bersama dengan Bapak dan Ibu Camat, aku dapat melihat bagaimana energi positif berpendar mereka pancarkan. Hal yang menyentuhku adalah ketika Bu camat dalam salah satu kunjungan pertamanya di Wadankou berkata,” Bapak Bupati ini pintar, tepat menempatkan Bapak Camat yang masih muda di Molumaru, sehingga masyarakat Wadankou lebih cepat menerima”.

Tetapi pak camat menimpali,” Ibu, bukan pak Bupati yang hebat, tapi Tuhan kita yang hebat”. Sebuah iman yang tangguh sehinga menghasilkan energi positif yang besar. Sebelum pak Camat datang, Wadankou adalah daerah awal kebudayaan di Molumaru, masyarakat di sana marah ketika daerah mereka tidak dijadikan ibukota kecamatan dan bersumpah tidak mau menerima camat yang baru. Tetapi sampai sekarang keberadaan pak Camat dapat mereka terima dengan hangat.

Cerita ini bukan tentang profil pak Camat muda yang revolusioner dan staffnya yang tangguh, tetapi pada cara pandang terhadap suatu kondisi. Aku salah satu orang yang memiliki pandangan bahwa orang baik tidak selalu mendapatkan hal yang baik secara langsung, tetapi mereka akan mengalami proses untuk memperoleh suatu yang baik.

Bagi pak Bebena yang selama ini sudah berprestasi, namun di-Molumaru-kan bukan merupakan sebuah hukuman. Tapi justru disitu mungkin salah satu bentuk pembentukan buah ketulusan. Aku dan Dedi saat ini mengalami tahap yang sama dengan pak Camat. Kami sama-sama menjadi orang yang di-Molumaru-kan. Semoga kamipun bisa menancapkan ketulusan Gerakan IM.

Salah satu pegawai kecamatan bernama Alo Rahansirang bercerita pada tahun 2008, dia menjadi petugas adsminsitrasi SMP Nurkat, tetapi dia mendapati kasus pembelajaran pendidikan yang salah dimana murid kelas 3 SMP belum bisa baca tulis dengan lancar. Di dalam marahnya dia berkata,”Kita ini punya tanggung jawab untuk bersama mencerdaskan kehidupan bangsa. Jika kita membiarkan hal seperti ini terjadi bagaimana masa depan anak-anak ini.”

Wow..Ternyata sebelum ide IM tercetuskan mengenai memenuhi janji kemerdekaan, jauh di ujung MTB sudah ada seorang pegawai sekolah yang memiliki spirit yang sama. How Spiritfull !!

Aku menulis ini, saat genap 12 hari aku sakit malaria dan pembengkakan hati. Semangat keluarga Pak Camat dan Pak Alo cukup menjadi alasan untuk kami rela menjadi orang yang di-Molumaru-kan,

Belajar bersama sepertinya menyenangkan....

Selasa, 12 Juni 2011


Cerita Lainnya

Lihat Semua