Betapa Luasnya Negeriku

Bartolomeus Bagus Praba Kuncara 16 Desember 2011

20 Juli 2011

“Nilai tambah suatu lembaga menjadi tinggi seringkali karena Manajemennya tepat”   -Bartolomeus B-

Betapa Luasnya Negeri Kesatuan Republik

Kira-kira 4 tahun yang lalu, saat tahun pertama masuk jurusan di kampus kami ada gathering jurusan bersama kakak-kakak kelas yang saat itu bagi kami orang-orang keren. Kami disambut dengan orang-orang yang punya idiologi soal persoalan-persoalan bangsa.  Salah satu masalah yang diangkat adalah “Mengapa Indonesia saat ini kalah dibanding Singapura, Jepang, Thailand, dan Vietnam?”. Singapura mampu menjadi negeri paling nyaman untuk orang berduit, Jepang menjadi negara teknologi terhandal di Asia, Thailand mampu menjadi negara pengekspor produk pertanian berkualitas (sebut saja durian Thailand, jambu Thailand, Mangga Thailand dan Thailand-Tahiland yang lain), Vietnam mampu menjadi pengekspor kopi. Aku yang saat itu berpikir sederhana menjawab,” Karena mereka tidak seluas kita Indonesia”.

Aku ini memang berbakat menjawab salah pertanyaan yang diajukan dalam forum. Ada salah satu dosen yang memberiku predikat anak yang aktif meski suka salah. Mantap kan....^_^. Nahjawabanku dalam forum itupun langsung di cut. “Wah bukan itu jawabannya!, karena Cina dan India meski luas dan berpenduduk banyak ternyata bisa makmur”. Hahaha....terdiamlah aku ini. Bocah baru, salah jawab lagi. Kakak kelas itu, yang aku lupa nama dan wajahnya, menjawab dengan jawaban yang aku juga lupa apa jawabannya, tapi yang pasti saat itu aku tidak setuju dalam hati. Aku tetap berpendapat bahwa luas wilayah ini tetap menjadi salah satu faktor belum meratanya pembangunan. Meski itu tidak menjadi faktor utama, tapi itu menjadi salah satu titik kritis. Tapi sekali lagi ini menurutku yaa...

Kira-kira sebulan lima hari yang lalu, aku sampai d Ambon. Di tulisanku sebelumnya kujelaskan kalau Ambon hampir mirip kota-kota kecil seperti Kediri atau Madiun. Untuk ibukota provinsi, kondisi ini seharusnya sudah lebih baik. Namun di Ambon, untuk menemukan pusat-pusat perbelanjaan modern, hampir tidak ada. Memang pusat-belanja bukan tolok ukur yang valid, tapi coba pastikan di kota besar manapun, pasti parameter itu ada. Hal pertama yang  langsung tersirat adalah, ini hanya karena SDM Indonesia yang belum “kaya” sehingga hidden curicculum seperti korupsi, nyolong, selewengkan dana pembangunan, dan serakah mengakibatkan hanya pulau Jawa yang “nyaman”.

Ambon demikian, kemudian sampai di MTB. Rasa jengkel itu makin bergejolak dalam hati. Pikirku, untung Tuhan memberi damai di negeri ini, jika tidak bisa saja orang-orang Indonesia timur ini dengan gigih memberontak dan membentuk negara-negaranya sendiri. Saat mengalami sulitnya transportasi di MTB, dimana hanya 1 kapal feri untuk 1 kabupaten yang lebih luas daripada Singapura dan masyarakat sudah banyak yang menjadi korban keganasan ombak ketika motor laut mereka terbalik, aku langsung berkata,” Wah, menteri perhubungan harus coba ini sekali-kali naik speed ke MTB”.  Perjalanan antar pulau membutuhkan rata-rata 16 jam. Paket kirimanku dari rumah (Malang-Jatim) saja selama 3 minggu belum sampai di Saumlaki. Penduduk MTB pun seringkali mengeluhkan jauhnya akses-akses ke pusat-pusat keramaian.

Saat naik feri menuju Molumaru, tanpa sengaja melihat AC dengan merk Panasonic. Piokirku melayang ke konsep industri. Semakin besar industri, semakin kompleks kepengurusannya. Semakin multinasional suatu produk, semakin panjang rantai pasokan produk, semakin kompleks manajemennya.

Aku tetap berpendapat bahwa negara yang luas menjadi salah satu faktor masalah pembangunan yang saat ini belum merata, yang menjadi masalah, SDM kita belum mumpuni untuk memanajemen faktor itu . Akibat yang dihasilkan, masalah menjadi berkepanjangan.

Manajemen sistem mengenal supply chain system (sistem rantai pasok). Sepertinya negara ini perlu belajar pada Astra Internasional yang mampu membuat Toyotanya, Daihatsunya, Hondanya bisa datang lebih dulu daripada pemerintah. Belajar pada Yamaha, Yanmar, Panasonic, Coca-cola, Nestle Dancow, Aqua,  dan produk-produk lain. Bagaimana mereka produsen-produsen asing ini mampu memasok produk mereka secara kontinu di daerah yang Pemerintahpun enggan menjamah.

Aku sempat menceletukkan kalimat itu, dan salah satu teman PM menceletuk juga,” Hal itu karena masyarakat yang butuh produk mereka”. Tidak sepenuhnya salah. Tapi hubungan antara produsen dan konsumen itu adalah saling ketergantungan. Tanpa konsumen, produk dijual ke siapa?. Tapi yang perlu di garis bawahi, ada ketergantungan antar keduanya. Produsen terbuka terhadeap keluhan konsumen, dan konsumen bangga akan produk produsen. Menurut Anda, siapa produsen dan siapa konsumen dalam pembangunan?

Ini bukan tulisan tentang politik, tapi SERUAN untuk membuat siapapun sadar. Dalam keterbatasan masayarakat yang belum bisa mandiri, mereka dibiarkan untuk lama dalam semua keterbatasan hidup. Para Pengampu negeri ini mungkin perlu melihat masyaraktnya sebagai pihak yang saling membutuhkan.

Dr. Handry Satriago, General Manager dari General Energy pernah mengatakan dalam kuliah umumnya bahwa,” Perkembangan ekonomi Indonesia ini 50% ditentukan oleh tingkat konsumtif masyarakat. Jadi tanpa ada yang bekerja, cukup dengan jadi konsumen, ekonomi Indonesia sudah berjalan separuhnya”. Hal ini benar-benar menajdi senjata bagi para produsen produk komersial sepertinya. Mereka tidka hanya melihat pulau Jawa, tapi dimanapun ada manusia, di situ mereka harus ada.

Nah, saranku bagi para pakar-pakar yang merasa pakar mulai melihat konsep supply chain. Apakah konsep itu juga perlu diadopsikan pada pembangunan. Dan satu lagi perlu diingat bahwa produsen dan konsumen dalam pembangunan adalah kita semua. Hehehehe....bukan hanya pemerintah. Seperti Gerakan IM, semua bertanggung jawab dalam porsinya. Namun,sekali mengingatkan untuk Anda mengajarkan pada setiap generasi yang baru bahwa keserakahan dan keegoisan manusia mengakibatkan dampak yang sangat jahat.


Cerita Lainnya

Lihat Semua