The Nowhere

Bartolomeus Bagus Praba Kuncara 6 Januari 2012

“Batu pun bisa berlubang dengan tetesan air” -Bartolomeus B-

The Nowhere

Sebelumnya Molu Maru tidak terhitung sebagai tempat yang jangankan didatangi, dipikirkan pun tidak. Tapi ini ada cerita menarik yang ternyata ga cuma di film-film, di sini, di bumi Tanimbar, ada generasi yang membuktikan bahwa “Iman dan Ketulusan” itu bekerja sama untuk menghasilkan energi positif yang sangat kuat.

Hari itu kira-kira pertengahan Juli saat aku dikabari Molu Maru akan ikut lomba paduan suara pesparawi. Wey....”Bagaimana mungkin?, kecamatan saja belum 1 tahun, masyarakat masih banyak tertinggal informasi”. Tapi pak Camat sedang gambling dengan keyakinannya.

Tanggal 21 Juli, hari pertamaku mengajar. Di sana datang Bung Roy, pelatih dari panitia yang bertugas untuk membantu penyeleksian peserta paduan suara. Molu Maru berniat mengajukan tim pemuda dan remaja dengan kategori dari 15-23 tahun. Karena kecamatan baru, pak Camat memutuskan peserta hanya dari desa Adodo Molu untuk mewakili kecamatan. Hal ini karena perhubungan antar desa yang sulit dan salah satu desa nanti (Wadankou) akan mengisi tarian NABAR di acara peringatan 17 Agustus di kabupaten (Saumlaki). Siang itu setelah selesai mengajar aku diundang untuk ikut melihat-lihat penyeleksian. Wey....dari jauh sudah terdengar...Babi..Anjing...kamong samua. Wah..wah...ada apa ini. Masak Babi dan Anjing ikut audisi paduan suara? Langkah kulanjutkan ke kelas

Oh...ternyata ada ibu bernama Bu Saruning yang berteriak-teriak, beliau guru Agama sekaligus mengajar menyanyi di SMP. Bung Roy yang ternyata dulu anggota paduan suara di Ambon menyeleksi anak-anak SMP dan SMA dengan sabar dan dihiasi kata-kata yang tadi kudengar saat di pintu (by Bu Saruning). Alhasil didapatlah 30 orang. Tapi suaranya macam-macam, kalau digabungkan lebih mirip kaleng rombeng sobek-sobek yang diseret mobil. Bung Roy cuma berkata, ini sudah yang maksimal dari minimal. Di Adodo Molu, yang suka musik justru kaum dewasa (ibu dan bapak), anak mudanya lebih suka fashion. Bung Roy hanya 1 minggu di Adodo Molu dan setelah itu semua urusan akan diatur oleh panitia yang dibentuk di kecamatan. Ketika pak Camat mendengar suara anak-anak yang demikian menggetarkan pulau, beliau berkata padaku,” Pak Bagus ikut sudah paduan suara, di bass boleh.” (umurku 22 tahun)

Yup...setelah itu, perjalanan 1 bulan bersama tim “ZERO” segera dimulai.

Minggu berikutnya, pak Camat mendatangkan pelatih dari Desa Tutunametal bernama pak Massa untuk menggantikan bung Roy yang pergi. Beliau dulu saat berusia 25 tahun sudah menjadi Pengawas dan kepala sekolah. Mantap kan. Latihan dilakukan 2 kali sehari pagi pukul 7 pagi dan malam pukul 7 malam. Tapi anak-anak yang dasarnya memang buta not. Mereka jadi malas untuk datang ketika menemui kesulitan. Apalagi mereka dibabi anjingkan kalau salah oleh ibu guru Agama mereka. Pak Massa yang selalu bercerita tentang kehebatan beliau pada masa muda juga menyadari hal ini. Tiga minggu berlalu, Pak Agus ketua tim pesparawi, Pak Massa pelatih umum, bu Saruning pelatih sopran, bu Jaftoran (kepsekku) pelatih alto, pak Pendeta Max pelatih tenor, dan aku membantu di bass mempersiapkan anak-anak untuk show pertama kali di gereja. Hasilnya......kaleng rombengnya sudah tidak rombeng lagi walaupun masih terdengar terseret.

Ada 3 lagu yang dinyanyikan, lagu uji panggung, lagu wajib, dan lagu pilihan. Untuk bisa lagu wajib sudah setengah mati. Para pelatih sudah mengeluarkan seluruh kalimat-kalimat motivasi, tapi agaknya tidak mempan karena masih ada yang membabi-anjingkan. Belajar lagu pilihan lebih setengah mati lagi. Para pelatih sudah menyebut ini sebagai “PECAH BATU”. Batu-batu ini susah kali jadi pasir. Jangankan pasir, pecah kecil saja susah. Terjadi perselisihan antara pelatih dalam pemilihan lagu pilihan wajib. Ini harus melewati satu minggu untuk bisa clear.

Satu minggu perayaan 17 Agustus memotong waktu latihan anak-anak Molu. Mereka kebanyakan ikut menjadi paskibra. Hal yang diduga benar terjadi. Setelah 1 minggu tidak berlatih, kalengnya mulai sobek lagi. Wah perlu usaha keras untuk memulai pemulihan. Bu Saruning sudah mundur dari kepelatihan.

Pak Massa yang dari awal bersikeras untuk mengajari anak-anak mulai dari membaca not berhasil membuktikan pendiriannya. Sebelumnya para pelatih sudah menyerah dengan susahnya mengajari anak-anak Molu akan nada. Mereka belum peka pada perpindahan nada. Tapi setelah 1 minggu aku tidak membantu latihan (karena mengadakan Kelompok Kerja Guru dan Musyawarah Guru Mata Pelajaran), anak-anak ibarat kaleng rombeng yang dilebur lagi dalam api dan dibentuk lagi menjadi ember. Mereka bisa sangat memukau sekali.

Selama satu minggu aku ikut latihan. Kami memantapkan mereka. Selama persiapan ini, banyak cerita dari bapak ibu Camat, pak Agus, dan staff-staff kecamatan. Mereka bahkan hampir mati ditelan ombak hanya untuk membawa hasil dana dari Saumlaki ke Molu Maru. Tuhan mengasihi insan-insan ini ternyata.

Tanggal 1 September feri menjemput kontingen. Dua hari setelah itu sampai di Saumlaki. Banyak orang bercerita yang membayangkan kontingen Molu Maru seperti orang-orang “ndeso” yang membawa tas jerami untuk barang-barangnya. Berlebihan memang mereka, tapi itulah gambaran orang Molu di MTB. Tapi ternyata mereka keluar dengan baju rapi dan tas-tas traveling. Mantap kan...Satu lagi ada kecamtan yang sangat sombong dengan keberadaan mereka. Mereka merupakan kontingen dengan budget paling mahal. Bahkan merendahkan anak-anak Molu.

Seluruh kontingen Molu menginap di rumah pak Camat. Ada kasih di sana yang menghidupi  lebih dari 50 orang. Di saumlaki biaya semua mahal, bisa dibanyangkan berapa habis dana dari pak Camat untuk semua ini. Tapi itu semua terbayar lunas pada malam 5 September. Anak-anak Molu maju urutan pertama dan berhasil memukau para penonton. Gema tepuk tangan para penonton yhang gemuruh merupakan penghargaan yang ditunggu kami semua, terlebih pak Camat yang turun langsung menjadi dirijen. Terharu sekali malam itu. Dari kaleng rombeng menjadi anaki-anak berbaju keemasan dengan suara yang diberi applaus banyak orang.

Puncak kebahagiaan kami pada malam 7 September. Molu Maru meraih juara 3 untuk kategori remaja dan mengalahkan kecamtan yang dari awal sudah sombong. Pak Camat menangis ketika menerima hadiah dari panitia. Beliau berkata,”Ini mujizat Pak Bagus, pasti para malaikat ikut bernyanyi waktu Molu Maru bernyanyi.”

Anak-anak Molu bersukacita. Mereka debutan baru, daerah tertinggal, lambang kebodohan, tapi mampu membuktikan bahwa tetasan air hujan juga bisa membuat lubang baru karang. Tahun 2013 Pesparawi diadakan di Molu Maru. Mereka menjadi tuan rumah. Banyak orang berpikir ini gila. Tapi melihat anak-anak tim pesparawi, sepertinya Tuhan akan mengijinkan lagi yang mujizat ini.

Batu itu tidak pecah dengan makian dan pukulan, tapi batu-batu itu menjadi lembut karena kasih pak Camat, ketulusan para pelatih, kejujuran pak Agus, iman bu Camat, dan hati para penyanyi yang menyambut kehangatan itu.


Cerita Lainnya

Lihat Semua