Cap Go Meh

Bagus Handoko 5 Februari 2012

Pada sebuah lukisan, tergambar sebuah perayaan yang meriah. Wajah-wajah penuh sukacita, sebagian bertopeng sebagian tidak. Kesan klasik dan berkarakter sangat kuat dari goresan kuas. Lukisan itu berjudul “Cap Go Meh”, dilukis oleh tokoh senirupa Indonesia Sudjojono di tahun 1940. Sekilas orang tak akan mengira bahwa lukisan itu menggambarkan perayaan Tionghoa. Merahnya merah tak tergambar di sana, tak ada liong, tak ada mata-mata sipit, yang ada hanya sebuah perayaan bak pasar malam para pribumi.

Dari lukisan itu saya sadar bahwa perayaan Cap Go Meh bukanlah sebuah perayaan baru, bukan pula hal asing, bahkan terasa perayaan ini-sekalipun menggunakan bahasa Cina-adalah milik siapapun. Di waktu ketika Pemerintahan Kolonial mengkotakkan masyarakat berkedok cacah jiwa, Cap Go Meh menjadi perayaan bersama di mana semua orang baik mereka yang dilabeli pribumi dan Tionghoa. Pembauran telah terjadi ketika konsep-konsep multikultural dan hak asasi belum muncul.

Cap Go Meh, yang dirayakan setelah Imlek selalu memberi kesan yang mendalam buat saya. Terlebih lagi tahun ini, ketika saya bertugas sebagai Pengajar Muda di suatu daerah dengan etnis Tionghoa yang jumlahnya sangat minim. Mungkin juga karena saat ini kondisinya yang berbeda, atau mungkin juga karena saya hidup sedari kecil dekat dengan budaya Cina, sehingga terasa ada yang "kurang" tahun ini - meriahnya merah dan gegap gempitanya kembang api yang laksana bunga di langit malam. Imlek telah menjadi sebuah perayaan nasional. Sebuah pengakuan akan mereka etnis Tionghoa - sebuah entitas yang selama ini dianggap beda.

Tapi apakah sebuah perayaan seremonial bisa menunjukkan perasaan seseorang? Sepertinya kelewat absurd apabila mengakui Imlek sebagai perayaan nasional bisa menjadikan etnis Tionghoa merasa nyaman menjadi Indonesia. Saya tidak bermaksud rasis terhadap etnis Tionghoa. Yang saya tekankan bukanlah Imleknya, tetapi terlalu seringnya kita terjebak dalam fantasi acara seremonial. Pertanyaan tersebut bisa saja ditunjukkan untuk semua. Saya, kamu, kalian, bahkan mereka yang merasa “bangga” menjadi kaum pribumi.

Rasa nyaman sendiri saya akui relatif, bahkan kemunculannya adalah sebuah probabilitas. Karena saya tidak ingin menambah rumit racauan saya, maka saya menyederhanakan rasa nyaman menjadi nasionalisme, yang apabila diidentifikasi lagi adalah sebuah laku kepedulian dan keaktifan etnis Tionghoa dalam hidup berbangsa dan bernegara. Selama ini terkesan hanya segelintir orang Tionghoa yang peduli dengan situasi sosial ataupun keadaan negara. Mungkin juga mereka masih trauma karena selama Orde Baru karena “pembatasan-pembatasan” terhadap etnis ini.

Yang terlihat di mata kita, etnis Tionghoa jago berdagang, maka logis apabila mereka banyak yang merajai bisnis di Indonesia. Kaya, memiliki hunian eksklusif, mobil mewah, seringkali hang out dalam kelompok sesama Tionghoa, bahkan dalam memilih sekolah, seakan tak tersentuh oleh “pribumi”. Susah rasanya melihat anak-anak muda Tionghoa ada di kampus negeri, lantang ngomong masalah sosial di kampus ataupun tempat demo, nongkrong di angkringan.

Rasa iri kemudian muncul, dan syak wasangka tumbuh bak cendawan di musim hujan. Etnis Tionghoa kemudian hanya dicap kelompok pencari keuntungan ekonomi semata, tidak membaur, nggak paham dan peduli dengan masalah sosial karena hidupnya yang eksklusif. Maka tak heran ketika kerushan Mei ’98 toko-toko milik etnis inilah yang menjadi sasaran pertama penjarahan dan penghancuran. Bahkan hingga sekarang hal ini masih berlaku.

Yang tak terlihat di mata kita, ada etnis Tionghoa yang kere, berkulit hitam karena harus mengais sesuap nasi di bawah terik matahari, suka nongkrong bareng orang-orang “pribumi”, bahkan peduli dengan lingkungan sekitar meskipun borju. Tidak percaya? Cek saja Cina Beteng dan di daerah Teluk Naga atau di sudut manapun di kota, pasti ada etnis Tionghoa-yang kaya sekalipun, yang jauh dari stereotip negatif. Yang diperlukan hanya mencari dengan teliti, dan mengenal mereka dengan hati.

Menurut saya semua manusia itu sama saja. Tanpa melihat SARA, pasti akan ditemukan orang yang baik maupun yang jahat. Begitu juga dengan etnis Tionghoa. Saya temukan banyak yang menyebalkan, tapi orang-orang Tionghoa yang baik dan peduli pun tak terhitung jumlahnya. Begitu juga saat ini, saya temukan banyak etnis Tionghoa yang sangat baik, nasionalis, dan peduli akan kondisi sosial bangsanya. Saya tak perlu sebutkan sipa mereka satu per satu.

Mereka adalah teman-teman saya, rekan-rekan diskusi saya ketika kegelisahan tentang bangsa ini sudah sampai di ubun-ubun, dan guru-guru saya yang memberikan bekal mengabdi selama setahun. Mereka adalah yang kita anggap “tak tersentuh” dan berbeda. Tapi mereka punya keberanian untuk berpikir keras membangun negeri ini, bersusah-susah hidup dalam kesusahan, berjibaku dengan kondisi alam yang keras, dan membaur bersama masyarakat.

Dengan pengalaman yang hebat dan tingkat pendidikan yang tinggi, mereka bisa saja mengenyam kenikmatan dalam pekerjaan-pekerjaan mapan, ataupun duduk dalam pemerintahan. Tapi mereka memilih untuk “hanya” menjadi bagian dari Pengajar Muda. Menjadi guru di daerah terpencil, mengajarkan kejujuran dan betapa bangsa ini masih elok meskipun rapuh pada hati anak-anak di pelosok negeri. Dan ketika perayaan Imlek tak bertabur warna-warni kembang api, dan Cap Go Meh hanya diiisi oleh suara lenguh sapi dan ringkikan jangkrik, cuma kalimat So Hok Gie yang saya ingat:

“Saya telah menjawab bahwa saya adalah seorang intelektual yang tidak mengejar kuasa tapi seseorang yang ingin mencanangkan kebenaran”

Bharata Handoko

Sori Bura, Tambora, Cap Go Meh 2012

Untuk Ibu Wei, dan teman-teman etnis Tionghoaku


Cerita Lainnya

Lihat Semua