12 Jam Perjalanan dan 1 Malam Penuh Bintang

Bagus Handoko 6 April 2012

Kita tak pernah tahu kemana kita akan melangkahkan kaki kita. Setinggi apapun cita-cita kita, sejauh apapun imaji kita melanglang buana, kita tak pernah tahu kapan dan di mana petualangan besar akan dimulai. Kita hanya memiliki kaki-kaki kecil yang setapak demi setapak menjalani kehidupan ruang dan waktu.

Begitu juga aku di sini. Di tempat yang aku tak pernah membayangkan sebelumnya. Sebuah tempat sunyi sepi jauh dari centang penerang dan klakson yang melenguh panjang bernama Tambora. Sebuah tempat di mana hanya ada bayu yang mendesir dan tanah sabana beratap langit penuh sebaran bintang di malam hari.

Selama dua belas jam aku berguncang-guncang dari Bima menuju Kecamatan Tambora – tempatku mengajar selama setahun. Di jalan-jalan berdebu nan terjal diapit oleh Gunung Tambora di Selatan dan Laut Flores di Utara, aku seakan tersedot perlahan-lahan menuju sebuah negeri baru. Dari keramaian kota, berlanjut ke jalanan beraspal yang menanjak, lalu perlahan memasuki pekatnya malam perkampungan di padang sabana. Dua belas jam yang pendek, namun juga terasa panjang di jalan yang seakan tak berujung.

Petualangan besarku berawal di sini. Di negaraku, di suatu tempat yang seringkali kulihat dalam peta namun seakan tanah antah berantah tak tersentuh. Petualanganku ternyata tidak dimulai di sebuah tanah bernama Amerika, tempat di mana aku menjejakkan kaki dua tahun lalu. Bukan kopi Starbucks dan sepotong muffin yang kunikamati di pagi hari, namun segelas kopi hitam pekat Tambora bercampur manisnya gula dan sepotong puncak gunung yang berwarna emas. Tak ada seribu kunang-kunang di Manhattan, tetapi langit maha luas dengan kerlip bintang-bintangnya diselingi sesekali bintang jatuh.

Setahun ke depan, bersama anak-anak yang akan kuajar, aku belajar menjadi Indonesia. Indonesia yang selama ini hanya kuketahui dari televisi, majalah, dan buku-buku pelajaran. Ribuan lembar kubaca selama bertahun-tahun tentang negeri ini, dan berjam-jam kutonton videonya, tapi aku tak pernah tahu secara pasti negeriku ini. Aku akan belajar menjadi Indonesia. Indonesia yang cantik molek dengan alamnya, Indonesia yang yang belum dipoles hedonisme dan modernisasi sehingga terlihat kumuh.

Aku teringat kala itu, seorang teman di hadapan Wakil Presiden berkata, ”tempat-tempat terindah di Indonesia seringkali adalah tempat-tempat termiskin.” Entah mengapa, di saat-saat terakhir aku meninggalkan Jakarta yang seperti lautan neon, kalimat itu selalu terngiang. Bahkan, di tengah rasa sendu ketika melepas teman-teman satu pelatihan di bandara aku masih mengingatnya. Kami semua akan menuju tempat-tempat terindah di Indonesia, tapi kami juga akan mencemplungkan diri dalam keseharian penuh keterbatasan yang keras.

Aku berfikir, apa yang dapat kuperbuat di tengah keterbatasan itu. Aku hanya anak kota yang terlanjur dibuai lama oleh kenikmatan. Apakah aku bisa bertahan di tengah padang sabana tanpa listrik dan sedikit air? Bisakah aku menamatkan petualangan besar ini? Sejak aku di bandara, dalam 12 jam terguncang-guncang di truk sapi, aku selalu berfikir.

Tapi, dalam satu malam penuh bintang di Tambora, entah mengapa aku mulai yakin bahwa petualngan ini bisa kulewati. Mungkin yang kujalani nanti tak melulu berisi romansa. Mungkin aku akan terjatuh dan terperosok beberapa kali. Mungkin aku akan merasa lelah dan mengumpat di tengah jalan. Mungkin kehadiran dan karyaku di sini nanti tak semegah yang aku bayangkan. Dan ketika aku pulang, tak kan ada sambutan meriah bak seorang kstaria menang pertarungan.

Tapi aku yakin bahwa aku bisa menjalani tugasku di sini, di tengah keterbatasan fasilitas namun bersama orang-orang dengan keramahan melimpah. Aku yakin aku mau mengajar dengan baik...dan anak-anak yang aku ajar nantinya yang akan mengubah tempat-tempat terindah Indonesia menjadi lebih baik.

Sori Bura-Tambora, 22 Juni 2011  


Cerita Lainnya

Lihat Semua