Broken Arrow

Bagus Handoko 11 Desember 2011

Sudah beberapa hari ini surau dusun di tempatku selalu ramai sehabis Isya oleh anak-anak. Di dusun yang hanya berjumlah 40 KK ini, tanpa listrik, dan udara dingin menusuk bersama angin bergemuruh bak derap kuda-kuda liar di malam hari, berada di luar rumah sehabis Isya bagi anak-anak adalah mustahil. Siluet pohon-pohon dadap dan kelanggo menjulang tinggi bak raksasa hitam dan suara desir angin di sela-sela daun adalah horor.

Orang-orang dewasa pun, lebih memilih duduk di dalam rumah mengitari lampu minyak, sebuah kehangatan dan penerangan kecil yang menentramkan jiwa-jiwa sederhana. Jikalau tidak, mereka akan berkumpul di salah satu rumah, berbagi cerita yang tak jelas ujung pangkalnya, sambil membakar tembakau harum dan menyeruput kopi yang sepekat langit malam.

Sehabis Isya, anak-anak itu duduk bersila atau bersimpuh, membentuk setengah lingkaran atau berjajar rapi. Mata-mata kecil mereka berbinar memantulkan cahaya lampu minyak bak bintang kejora.  Mulut-mulut mungil berkomat-kamit menghapalkan surat-surat pendek Al-Quran. 10 surat pendek, tak kurang tak lebih. Mengalirkan bisikan ilahi di keremangan surau yang meruang.   Menghapal surat-surat pendek untuk mengikuti lomba MTQ tingkat desa. Bukanlah sebuah prestise semata, tapi lebih bagaimana anak-anak bisa merasakan atmosfer kompetisi yang sehat.

Bersabar mengasah kemampuan membaca Al-Quran malam demi malam, berani menyuarakannya dengan sebaik mungkin di atas panggung, dan berbesar hati menerima segala hasil meski tak juara, adalah hal-hal yang lebih berharga dari kemenangan lomba dan hadiah apapun.

Menghapal bukanlah hal yang mudah. Ketika mata harus memincing melihat huruf-huruf hijaiyah bersambung di bawah cahaya temaram, ketika lidah terasa kelu berucap karena tak terbiasa. Seperti bahasa Indonesia, membaca Al-Quran adalah hal yang luar biasa bagi anak-anak itu mengingat keterbatasan akses untuk belajar. Para orang tua memang fasih membaca Al-Quran dan berbahasa Indonesia, tetapi mereka adalah jiwa-jiwa sederhana yang bahkan terlalu sederhana. Seakan mereka sudah terlalu lelah mengolah tanah-tanah padas untuk bertani sehingga tak sempat memperhatikan pendidikan anak-anaknya, dunia dan akhirat. Namun kesadaran adalah sebuah proses, bukan kejadian serta merta atau pemberian sejak lahir. Kehadiran para pendidik, lomba MTQ ini, dan dengung suara anak-anak menghapal Al-Qur’an menggetarkan hati para orang tua betapa pendidikan itu penting.

Pada malam lomba semua orang berkumpul. Setelah dua hari dirundung was-was karena hujan lebat berangin, malam itu mereka merasa lega karena bisa mengadakan MTQ tingkat desa, yang bahkan ternyata adalah MTQ tingkat desa pertama di Kecamatan Tambora. Masyarakat berbondong-bondong ingin melihat jagoannya beraksi, tak peduli harus melewati hutan gelap dan jalan licin berlumpur. Ini bukan pasar malam menurutku, tapi keceriaan orang-orang terasa seperti di pasar malam.

Satu per satu peserta naik panggung, menampilkan kemampuan terbaik mereka. Tak terkecuali anak-anak. Setiap penonton menyaksikan dengan seksama seperti menonton layar tancap. Sementara temanya tampil, anak-anak lain sibuk komat kamit menghapal Al-Quran seperti merapal mantra, ataupun sekedar membaca beberapa ayat untuk meluweskan lidah yang kaku karena grogi.

Ada satu anak dusunku yang terlihat gelisah dan kesepian di tengah hiruk pikuk manusia. Bukan karena grogi, tapi seperti orang yang menanti sesuatu. Matanya menyapu seluruh sudut tempat lomba, sedikit-sedikit menoleh di antara duduknya yang tak jenak. Di sebelahnya duduk ibunya, mengusap lembut kening anak perempuanya yang sedikit menangis.  Ketika anak itu naik panggung, anak itu pun masih sempat menatap barisan penonton dengan hening sebelum membaca Al-Quran. Lidahnya kelu, nafasnya tertahan di awal-awal, seperti ragu melanjutkan lomba atau tidak. Dan ketika penampilannya selesai, anak itu turun panggung dengan menatapi anak tangga satu-satu, lesu. Keluarga anak itu, ayah ibunya, baru saja bercerai.

Pada bulan ramadhan yang seharusnya syahdu dan damai orang tuanya bertengkar. Amarah yang lepas menggetarkan dusun yang tak seberapa besar itu, dan setiap fajar menyingsing adalah sebuah episode drama tragedi. Seorang anak yang tumbuh dengan jiwa sederhana, di tempat di mana hiruk pikuk kehidupan dan lini masa seakan berhenti berjalan, harus menghadapi situasi yang kompleks di umur yang belia. Saat itu kulihat ia begitu tegar di usianya yang rapuh. Selalu tersenyum biar amarah yang mengelilinginya jua, selalu lantang bercakap denganku tanpa beban bahwa mala mengikuti. Tapi memang aku tak berhak untuk menilai perasaan manusia, apalagi seorang anak.

Apa yang ada di wajahnya, di balik satu senyuman manis, bisa jadi adalah sejuta luka yang tak terperi. Ini adalah waktu ketika simpati dan empati tak cukup menyelami hati yang sudut-sudutnya adalah labirin perasaan yang menyesatkan.

Anak itu tetap duduk diam, sebuah keheningan di keramaian. Wujudnya seakan semakin surut di malam yang larut, air mata menitik yang seperti embun jatuh di malam yang salah. Esok hari, ketika matanya tak lagi sembab, ibunya bercerita kepadaku apa yang terjadi dengan anaknya semalam. Tepat ketika bayu mulai berdesir di sela-sela dedaunan, menggugurkan daun-daun berwarna kuning tanda penghabisan takdir, ucapan ibunya menambah ngelangut.

Pada malam lomba, anak itu menanti ayahnya pulang melihat ia tampil di panggung seperti ayah anak-anak lain yang mengantar menembus halimun dan menapaki kegelapan malam. Tapi di antara orang-orang itu, di antara wajah-wajah itu, tak satupun ia melihat wajah laki-laki yang ia kenal, wajah ayahnya....

Bharata Handoko

Sori Bura, Tambora, Idul Adha 2011

Untuk muridku yang pikirannya pernah mengembara ke medan Kurusetra yang berdebu.


Cerita Lainnya

Lihat Semua