surat untuk adik-adikku, arek-arek Suroboyo

Ayu Dewi 24 April 2011

Adik-adikku, arek-arek Suroboyo, Dalam hidup kita, kita telah bertemu ribuan orang. Sebagian besar di antaranya kita bahkan tidak ingat bahwa kita pernah bertemu, sebagian sisanya kita hanya kenal nama atau wajah, sebagian kecil kita kenal dekat, dan hanya segelintir yang kita anggap telah memiliki andil paling besar dalam memahat kita hingga kita menjadi diri kita yang detik ini tengah membaca tulisan ini. Segelintir orang ini bisa siapa saja. Bisa Ayah dan Ibu yang telah mengajarkan banyak hal yang tampaknya remeh-temeh tapi sebenarnya sangat fundamental: seperti kebiasaan membuang sampah di tempatnya. Bisa seorang guru Bahasa Indonesia yang telah membuat kita cinta sastra dan suka menulis. Atau seorang kakak angkatan yang mengenalkan kehidupan berorganisasi yang mendewasakan kita. Atau juga seorang yang tidak kita kenal yang secara tidak sengaja kita temui dalam sebuah perjalanan, yang akhirnya menjadi sahabat dekat. Dan bila kita mengingat-ingat kembali, siapa-siapa saja yang telah sangat berjasa itu, kita tidak bisa memungkiri bahwa mereka begitu berkesan karena mereka telah mengajarkan sesuatu pada kita. Mereka adalah guru-guru kehidupan kita. Adik-adikku, arek-arek Suroboyo, Saya beruntung punya orang tua yang visioner dan sangat peduli pada pendidikan. Tapi bagi banyak anak Indonesia, pendidikan adalah sesuatu yang masih abstrak dan sama sekali tidak ada kait-mengkaitnya dengan peraihan mimpi-mimpi. Karena toh berpendidikan setinggi apapun, anak laki-laki akan bekerja menjadi nelayan atau petani, dan anak perempuan akan duduk diam di rumah menunggu pinangan dan pada akhirnya beranak-pinak. Anak-anak di sudut-sudut penjuru Indonesia, yang tinggal di garis-garis terdepan Nusantara, adalah anak-anak kita. Mereka tidak pernah memilih untuk dilahirkan di desa terpencil, yang akses ke pendidikan dan informasi sangat terbatas. Untuk mereka, pergi ke Jakarta saja adalah sesuatu hal yang mustahil. Untuk mereka, mimpi itu terlalu muluk, terlalu jauh. Maka ketika kita mengambil bagian untuk mengajar anak-anak di pelosok ini, kita sebenarnya sedang mendekatkan mereka pada mimpi mereka. Kita mengajarkan bahwa mereka bisa punya mimpi apa saja, dan bahwa mereka juga punya hak yang sama dalam berpendidikan dan berkehidupan dengan anak-anak lain yang kebetulan dilahirkan di pusat-pusat kota. Adik-adikku, arek-arek Suroboyo, Banyak yang mempertanyakan keputusan saya untuk melepas karir di jenjang manajerial di sebuah perusahaan multinasional besar di Singapore, untuk mengajar di sebuah SD di lereng gunung di tepi pantai di pelosok Halmahera. Tapi, sungguh, ini adalah keputusan terbaik yang pernah saya buat. Rasanya, saya belum pernah merasa sebahagia dan seberharga ini. Saya merasa bahwa apa yang saya lakukan benar-benar akan membuat perbedaan pada hidup anak-anak ini, dan bahwa saya dirindukan, dicintai, dan diharapkan kehadirannya, setiap harinya. Saya pernah menulis tentang seorang anak kelas 2 yang bernama Wapiti, yang entah kenapa cinta setengah mati pada saya. Tiap saya pulang ke rumah, Piti selalu lari keluar dan memeluk saya. Sudah beberapa kali dia tertidur di teras rumah saya yang dingin, karena dia menunggu saya, berharap saya bisa meluangkan waktu sejenak untuk mengajarinya membaca. Setiap kali saya merasa malas berangkat ke sekolah, saya hanya perlu mengingat Piti, dan saya membayangkan akan betapa kecewanya dia bila saya tidak datang mengajar. Tadi malam saya menangis di rumah salah satu anak murid kelas 6 saya: Iman. Iman adalah anak yang sangat luar biasa. Dia adalah calon pemimpin besar negeri ini: cerdas, pemberontak, berkharisma. Setiap Sabtu sore saya biasanya memutar film di laptop saya. Tapi kemarin sore, meski film sudah diputar beberapa menit, Iman belum muncul. Saya memutuskan untuk mencari Iman ke rumahnya. Dan ketika saya sampai di depan pintu rumahnya, pandangan saya tertuju pada dinding ruang tengahnya. Di sana terpajang dua buah ‘piala’ yang sebenarnya hanya potongan kardus bekas yang saya lapisi kertas mengkilat dan saya gunting. Yang satu berbentuk seperti piala, yang merupakan piala juara dua pertandingan sepak bola untuk tim yang Iman pimpin, dan yang satu adalah piala sepatu bola yang merupakan penghargaan untuk top scorer. Minggu lalu kami baru saja menyelesaikan pertandingan sepak bola di SD kami. Yang membuat saya berkaca-kaca adalah di bawah piala itu, Iman menempelkan tulisan ‘Ibu Ayu, I Love You. Forever Forever Forever Forever.’ Adik-adikku, arek-arek Suroboyo, Dengan mengajar, kita menyentuh hidup orang lain. Dengan mengajar, kita jadi bisa lebih menghargai hal-hal kecil yang dulu diajarkan orang tua dan guru-guru kita. Dengan mengajar, kita menjadi lebih kaya, setiap harinya. Saya masih 10 bulan jaraknya dari berakhirnya tugas kehormatan Setahun Mengajar ini, tapi saya yakin bahwa kehidupan saya setelah ini akan sangat seru dan menyenangkan. Saya bisa dengan bangga berkata bahwa saya sudah pernah berbuat sesuatu untuk negeri ini. Saya bersahabat dengan para pemuda-pemuda terbaik dan terberdedikasi Indonesia, yang kelak akan menjadi manusia-manusia besar pada zaman dan di bidangnya masing-masing. Adik-adikku, arek-arek Suroboyo, Petualangan kehidupan kita masih sangat panjang. Berapa umur adik-adik sekarang? 22? 23? 24? Sebagian besar dari kita masih akan bekerja sampai umur 60-65. Itu berarti, 40-45 tahun dari sekarang. Setahun mengajar tidak akan membuat adik-adik ‘tertinggal’. Justru setelah setahun ini adik-adik akan memiliki pengalaman dan kekuatan yang tidak dimiliki oleh orang-orang lain. Justru setahun ini akan menjadi poin berharga dalam perjalanan karir dan kehidupan adik-adik. Setahun mengajar bukanlah sebuah pengorbanan. Ini adalah sebuah kehormatan. Kehormatan untuk ikut mendidik anak-anak bangsa. Kehormatan untuk ikut mewujudkan janji kemerdekaan negara Indonesia. Sampai jumpa di pelosok Indonesia! Ayu Kartika Dewi Pengajar Muda Angkatan I Indonesia Mengajar Alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga


Cerita Lainnya

Lihat Semua