Calon Pemimpin Besar Negeri Ini (a.k.a. Jatuh Cinta Setengah Mati – part one)
Ayu Dewi 19 Januari 2011
Pak Arif Rahman, guru yang luar biasa itu, pernah berpesan sebelum kami diberangkatkan untuk tugas kehormatan ini: selama setahun mengajar, jangan jatuh cinta ya!
Ketika itu kami semua tersenyum simpul. Ada yang tersenyum karena memang yakin akan ada yang jatuh cinta, ada juga yang tersenyum karena tak yakin apa ada yang bisa di-jatuhcinta-i di pelosok nusantara nanti.
Nyatanya, hanya setelah satu minggu saya ada di sini, saya sudah jatuh cinta setengah mati.
Namanya Lusiman, seorang anak kelas 6 SD. Lusiman Senen lengkapnya. Teman-temannya biasa memanggilnya Iman.
Selalu ada saja tingkahnya yang membuatku semakin terkagum-kagum. Sulit rasanya membayangkan bila anak secerdas, seceria, dan sepemberontak Iman kelak tidak menjadi seorang pemimpin besar negeri ini. Di usia semuda itu, sudah jelas nampak Iman adalah sosok kharismatik yang disenangi dan didengarkan teman-temannya.
Maka tulisan ini adalah sedikit petikan dari seribu satu alasan mengapa aku jatuh cinta pada Iman.
Suatu hari ketika saya sedang mengajar di kelasnya, ada yang melemparkan sebungkus permen lewat kaca jendela yang sudah pecah. Di kemasannya ada surat singkat: untuk Iman. Dengan riang dia mengambil kado itu, membacanya sebentar, lalu memasukkannya ke kantong bajunya dan meneruskan mengikuti pelajaran seperti tidak terjadi apa-apa.
Minggu lalu kami mengadakan pertandingan bola di sekolah. Ketika ada pemain cadangan yang sudah gelisah karena ia belum diturunkan juga setelah sekian menit permainan berlangsung, Iman biasanya adalah orang pertama yang berbesar hati menawarkan diri untuk diganti. Dan selalu saja dilarang oleh teman-temannya. Bagaimana tidak, Iman adalah top scorer di liga sepakbola ini.
Dalam sebuah pertandingan, tim lawan melakukan pelanggaran yang mengakibatkan wasit memberikan tendangan penalti untuk tim Iman. Sebagai striker utama dan kapten tim, Iman bisa saja dengan mudah mengambil kesempatan emas itu. Tapi tidak, Iman dengan besar hati justru meminta salah satu anggota timnya untuk menendang bola. ‘Tendang sudah!’, ucapnya dalam bahasa Indonesia pasar khas Halmahera. Meski tidak membuahkan gol, kejadian mengagumkan itu adalah salah satu momen yang paling saya ingat dari rangkaian pertandingan bola ini.
Anak bandel ini tidak mau terkungkung dengan cara belajar konvensional. Membosankan, katanya. Setiap malam dia datang ke rumah dengan rasa ingin tahu yang meluap-luap. Herannya, setiap saya memberikan buku untuk dibaca atau soal untuk dikerjakan, dia akan menghilang hanya sekejap setelah saya memalingkan pandangan. Namun bila saya sedang bercerita, tentang apa saja, mulai dongeng dari negeri antah berantah, atau tentang tata surya, atau tentang makhluk apa sebenarnya demokrasi itu, ia akan mendengarkan dengan mata berbinar. Seringkali ia belum mau pulang meskipun saya sudah selesai berkisah.
Siang itu, jam pelajaran terakhir, saya meminta anak-anak untuk duduk melingkar di lantai. Saya memutar-mutar sebuah bola pingpong dan mengilustrasikan bagaimana bumi berotasi. ‘Oooh, jadi bukan matahari yang berputar ya, Bu?’, tanya Iman sambil terus memperhatikan bola pingpong berwarna oranye itu takjub. Saya tersenyum dan mengangguk.
Kali lain, selepas kami ‘bermain’ tata surya, kami duduk lagi di sudut lantai yang sama dan saling menceritakan bagaimana masa rotasi dan revolusi tiap planet berbeda-beda. Ketika saya sampai di Jupiter, yang masa rotasinya adalah 90 hari bumi, Iman sambil tertawa berceletuk, ‘wah, kalau kita puasa di Jupiter bisa mati ya, Bu?’. Luar biasa, daya nalar anak itu bisa mengambil kesimpulan sejauh dan secerdas ini tentang masa rotasi sebuah planet.
Seperti biasa sepulang sekolah saya menyempatkan mampir ke salah satu rumah murid untuk sekedar ngobrol dengan orang tuanya. Siang itu saya memutuskan untuk mampir ke rumah Iman yang hanya berjarak 4 rumah dari tempatku tinggal. Ketika kami melewati pintu rumahnya yang selalu terbuka -karena pintu rumah di desa tidak dibuat untuk menahan orang tapi untuk menahan angin- ada seorang anak kecil tetangga yang sedang duduk di ruang tengah di rumahnya dan tampak sedang kesulitan membuka sebuah kemasan kudapan. Dia dengan tenang mengambil kudapan itu, membukakannya, dan mengembalikan ke anak kecil itu, dan berpaling ke hadapanku, ‘Ibu mau minum air putih?’. Saya mengangguk sambil masih sedikit tertegun.
Ketika hari Senin dia mengibarkan Sang Merah Putih, dan lagu Indonesia Raya berkumandang lantang dari speaker mungil laptopku, air mataku berlelehan. Haru. Bangga.
Siang itu pelajaran Bahasa Indonesia, saya mengajak anak-anak menulis puisi. Ini adalah puisi yang Iman tulis, yang langsung saya simpan di hp saya dan saya baca ulang setiap kali saya merasa perlu kobaran semangat baru. Perhatikan bahwa huruf depan dari setiap barisnya membentuk kata BELAJAR DI SEKOLA (yup, dia tidak menuliskan huruf H-nya J)
Bu,
Engkau
Lah yang memberi
Aku ilmu, untuk aku
Juga teman-temanku
Aku sangat bangga padamu. Aku dan
Regu kami di sekolah senang melihat ibu
Di sekolahku
Ini ada
Seorang ibu di kelas
Enam. Dia sangat baik hati
Kalau aku juga ingin seperti guruku
Oleh ibuku membuat aku pintar
Lalu aku punya ibu bernama ibu
Ayu
Begitulah, aku jatuh cinta setengah mati. Bila aku hanya boleh mengajar di satu sekolah, maka aku ingin mengajar di sekolah tempat Iman belajar. Bila aku hanya boleh mengajar di satu kelas, maka aku ingin mengajar di kelas tempat Iman belajar. Dan bila aku hanya boleh mengajar satu anak, maka aku ingin mengajar Iman.
Catatan: sesuai dengan azas keadilan yang harus dipegang oleh seorang guru, Iman sama sekali tidak tahu bahwa ia adalah cintaku dan semangatku. Iman adalah satu-satunya anak yang pernah saya perintahkan untuk keluar kelas. Dalam sebuah kelas matematika, Iman terus-menerus bermain-main dan melompat-lompat di kelas ketika saya sedang mengajar. Setelah dua kali diingatkan, akhirnya saya berkata pelan, ‘Iman, mainlah di luar. Nanti jam berikutnya masuklah lagi.’ Iman langsung duduk di kursinya, meskipun, dasar Iman, bandel, ia tidak mau keluar kelas.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda