Negosiasi Malaria (a.k.a. deg-degan setengah mati – part two)

Ayu Dewi 19 Januari 2011

Ketika saya meminta ditempatkan di Halmahera, saya sama sekali tidak mengira bahwa bara kerusuhan masih ada (ref: note saya yang berjudul Luka Itu). Dan saya juga sama sekali tidak sadar bahwa kabupaten ini adalah daerah endemi malaria, yang satu-satunya obat adalah pil kina yang pahit luar biasa, dan yang  efek samping obat itu adalah kerusakan retina yang irreversibel. Pilihan yang sulit. Mau malaria? Atau kebutaan permanen? Hmmm... Anyway, tulisan ini masih tentang Iman. Setiap pembicaraan dengan Iman adalah negosiasi alot yang memaksa saya mencari cara untuk membuatnya berkata ‘Ya!’. Siang itu, seperti biasa Iman mampir ke teras rumah saya. Seperti biasa, nanti malam selepas Maghrib teras rumah saya dipenuhi anak-anak yang sedang belajar. Saya sedang akan berusaha membuatnya datang lebih awal supaya saya punya waktu untuk mengulangi materi-materi yang ia belum paham benar. Beginilah kurang lebihnya perundingan konyol itu berlangsung: Saya       : kamu mau belajar matematika untuk ujian besok? Iman      : ngga mau, Bu! Malas! Saya       : *merutuki kalimat pembukaan saya yang tidak diplomatis* jadi kamu mau belajar matematika sekarang atau nanti sore? Iman      : mmm... nanti sore deh Bu! Saya       : *bersorak-sorai dalam hati* baiklah. Jam berapa? Iman      : Jam 7! Saya       : *agak menyesal mengapa saya dulu tidak mengambil jurusan komunikasi atau ilmu politik, sehingga saya bisa bernegosiasi dengan sedikit lebih baik* yah, itu sih malam, bukan sore... Iman      : Jam 6.30 deh... Saya       : Jam 4! Iman      : Hah? Ngga mau. Jam 6.25 aja! Saya       : Hah? Jam 4 lebih 5 deh... Iman      : Jam 6! Saya       : *meratap merintih dalam hati, kapankah negosiasi kocak ini akan segera berakhir* jam 4.30 deh... Iman      : Ngga mau! *sambil menyilangkan tangannya di depan dada, pura-pura ngambek* Saya       : Jam 4.35? *berharap-harap cemas* Iman      : Baiklah! 4.35! *mengacungkan jari kelingkingnya dan mengaitkannya pada jari kelingkingku, sebagai tanda perjanjian ini sudah disahkan* Lalu ia tersenyum jahil, dan meloncat pergi. Iman adalah anak yang selalu menepati janji. Sorenya ia benar-benar datang. Ia terlambat 20 menit, tapi itu adalah keterlambatan yang sangat bisa dimaklumi karena di rumahnya tidak ada jam. Kami langsung memulai dengan membahas pohon faktor, lalu berlanjut ke KPK dan FPB, dan metriks pengukuran. Malamnya ketika anak-anak kelas 6 mulai berdatangan, pelajaran masih terus dilanjutkan. Tidak seperti biasanya, Iman agak pendiam malam itu. Saya pikir ia agak lelah saja. Sekitar jam 8 malam, Iman dengan sepintas lalu mengatakan bahwa ia demam. Saya reflek menempelkan punggung tangan saya ke keningnya. Benar-benar panas. ‘Pulanglah, Iman, istirahatlah’. Seperti yang sudah bisa diduga, Iman menolak pulang. Dasar bandel. Keesokan paginya, sebelum ujian berlangsung, saya menyempatkan diri mampir ke kelas 6 dan memeriksa suhu badan Iman. Masih panas. Maka ketika hari berikutnya Iman tidak tampak di barisan apel pagi, saya langsung mohon diri untuk menengok Iman. Saya mendapati ia masih dalam baju tidurnya, dan tampak kuyu. Ibunya, tanpa ditanya, langsung menjelaskan bahwa Iman tidak bisa ke sekolah karena demam. Saya langsung menyeret Iman dan berkata, ‘kita ke dokter sekarang’. Kali ini tidak ada perlawanan. Tidak ada negosiasi alot yang penuh dengan tawar-menawar konyol. Di atas ojek yang kami naiki bertiga menuju rumah sakit di kota, meski terlapisi kaosnya, saya bisa merasakan badan Iman yang membara panas. Dokter yang bertugas pagi itu datang sedikit terlambat. Ketika itulah untuk pertama kalinya saya benar-benar bersyukur karena saya membawa hp dan laptop, sehingga Iman bisa membunuh waktu dengan menonton Penguin of the Madagascar dan bermain games. Kami juga sempat ngobrol tentang ingin jadi apa Iman kalau sudah besar nanti. ‘Tentara’, katanya. ‘Iman tidak ingin jadi dokter?’, tanyaku. Sebenarnya aku bertanya asal saja, hanya karena kami sedang berada di rumah sakit yang identik dengan profesi dokter. ‘Ih, ngga Ibu. Saya takut darah!’. Saya mengerutkan kening dan mengingat-ingat kejadian minggu lalu ketika ada perkelahian dan seorang anak melemparkan batu yang  melukai kepala temannya. Anak malang ini bernama Barkawi. Kepalanya bocor. Darah mengucur menutupi wajah Barkawi dan membasahi lantai. Saya sedang mengajar di kelas 6, di kelas Iman, ketika terdengar teriakan-teriakan panik di luar. Saya tidak bisa menangkap ada apa, tapi Iman melompat ke luar kelas sambil berteriak, ‘Ibu, kepala Barkawi pecah!’. Anak-anak sudah mengerumuni Barkawi dengan ngeri bercampur rasa ingin tahu, khas anak kecil. Saya menyibakkan kerumunan dan langsung mempraktekkan pengetahuan P3K saya yang terbatas. Saya tidak ingat siapa saja yang ada di sana. Saya hanya ingat ada Barkawi yang berlumuran darah, dan ada Iman yang berjongkok kebingungan di sampingnya. Saya juga ingat saya meminta Iman menekan nadi di dekat luka Barkawi sembari saya berusaha secepat mungkin membersihkan dan menutup lukanya. Saya ingat tangan saya gemetar. ‘Iman takut darah? Berarti waktu ibu minta kamu menekan luka itu kamu takut?’ ‘Iya bu. Ibu tidak lihat tangan saya gemetar?’ Saya menggeleng. ‘Tapi kenapa kamu mau?’ ‘Ya kan ibu suruh...’ Saya terdiam sebentar. Anak ini berani sekali. Jiwa penolongnya mengalahkan rasa takutnya. Dokter akhirnya datang. Tidak ada gejala flu. Tidak ada rasa pening di kepala. Tapi demam tinggi yang tidak turun selama 3 hari. Dokter merekomendasikan tes darah. Saya tercekat. ‘Ada kemungkinan malaria, dok?’. ‘Ya.’ Rasanya jantung saya sempat berhenti sebentar. Jangankan saya harus membayangkan kalau Iman benar-benar terkena malaria. Melihatnya ditusuk jarum suntik untuk diambil darahnya pun sudah cukup membuatku teriris-iris. Apalagi karena Iman tegang, pada saat pengambilan pertama di lengan kanan tak ada darah yang keluar. Darah baru bisa diambil pada percobaan kedua di lengan kirinya. Panasnya sudah turun, digantikan dengan keringat dingin. ‘Besok kemari lagi untuk ambil tes darahnya ya’, ujar petugas lab. Saya mengambil obat penurun panas dan anti-infeksi yang diresepkan dokter, dan kami pulang dengan ojek melewati segaris jalan yang menembus hutan gunung yang menghubungkan desa kami dengan peradaban. Sesampai di rumahnya, Iman sudah kembali seperti Iman yang biasa: bandel dan jahil. Negosiasi ajaib supaya ia mau menelan obat dan lalu berbaring tempat tidur supaya saya bisa mengompres keningnya berlangsung seru. Di tempat tidur, Iman tidak bisa berhenti tertawa geli, apalagi setelah beberapa anak datang -untuk mencari Iman yang tidak kelihatan seharian di sekolah dan di jalanan desa sepanjang siang- mengintip-ngintip dari balik tirai kamarnya. Sebelum saya pergi, saya mendekat ke Iman dan berkata pelan, ‘Iman, lihat Ibu’. Iman masih tertawa terkikik-kikik. ‘Iman, ayo lihat Ibu sebentar’. Ia mengintip dari balik kain kompresnya sambil tersenyum nakal. ‘Kamu tahu Ibu sayang kamu?’. Iman mengangguk cepat dan menutupi matanya dengan kain kompresnya lagi, dan pura-pura tidur. Setelah saya menyerahkan obat ke ibunya dan menitipkan selaksa wejangan tentang takaran obatnya, saya pulang. Besok pagi saya akan ke rumah sakit lagi, mengambil hasil tes. Hmmmp. Rasanya sudah lama saya tidak merasa sekhawatir ini.


Cerita Lainnya

Lihat Semua