info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Bagai bola, demokrasi itu bundar

Ayu Dewi 19 Januari 2011
Meski sekolah kami hanya sekolah kampung, sekolah kami tak kalah dengan AFF dalam ihwal persepakbolaan. Dan lewat bola yang bundar ini, kami belajar berdemokrasi. Sudah 3 hari Liga Sepakbola SD Papaloang berjalan. Anak-anak laki-laki di sekolah kami, dari kelas berapa pun, yang ingin ikut bermain, campur aduk menbentuk tiga tim. Sebelum Liga dimulai, saya memanggil semua pemain untuk duduk dalam Technical Meeting. ‘Ayo kita buat tata tertib dan jadwal pertandingan!’. Menyenangkan sekali melihat mata-mata anak-anak itu berkilat penuh semangat. Mereka dengan tertib mengambil secarik kertas kecil yang saya sodorkan, menuliskan beberapa poin usulan tata tertib, dan menempelkannya di papan tulis. Saya hanya perlu memberikan sedikit bimbingan, dan anak-anak cerdas itu sendiri yang merumuskan tata tertibnya – usulan mana yang sebaiknya dimasukkan dalam tata tertib, dan usulan mana yang sebaiknya tidak. Inilah tata tertib Liga Sepakbola SD Papaloang kami tercinta: 1. Harus saling percaya. Usulan nomor satu ini datang dari Iman (baca note saya yang berjudul ‘jatuh cinta setengah mati’). Ketika saya tanya, ‘apa maksud dari peraturan ini?’, ia menjawab ‘artinya kita semua harus saling percaya, Bu. Jadi misalnya kalau sedang menggiring bola dan ada teman yang lebih dekat dengan gawang, maka kita harus percaya bahwa dia akan menyelesaikan serangan ini dan kita harus mengoper bolanya’. Saya mengangguk-angguk pelan, menyembunyikan ketakjuban saya atas kebijaksanaan anak semuda ini. 2. Tidak boleh melawan wasit 3. Tidak boleh emosi 4. Tidak boleh memukul teman 5. Tidak boleh memaki lawan 6. Tidak boleh tendang kaki 7. Yang terakhir saya lupa, tapi yang jelas ada tujuh peraturan dalam tata tertib ini. Anyway... Kami menggunakan peluit pramuka untuk wasit, dan bendera semaphore pramuka sebagai benderanya hakim garis.  Kami menggunakan secarik kertas kuning sebagai kartu kuning, dan sepotong kertas pink untuk dipakai sebagai kartu merah. Saya tidak berhasil menemukan yang lebih mendekati merah daripada kertas pink itu. Ah, tak apa lah. Yang dimaksud dengan 'lapangan sepakbola’ adalah sepetak tanah pasir berbatu yang biasa menjadi lokasi upacara bendera. Dan yang dimaksud dengan 'gawang' adalah setumpuk batu yang menjadi batas antara gawang kiri dan kanan. Tak ada palang atas, dan tak ada jaring. Jadi memang rentan konflik, karena tidak ada yg bisa membuktikan apakah sebuah tendangan gol atau tidak gol. Sampai saat ini pertandingan bejalan lancar dan seru. Ini adalah laga final, dan pertarungan sedang berlangsung sengit-sengitnya. Kedudukan hanya beda tipis 4-3. Tiba-tiba terjadilah hal yang saya takutkan: seorang anak menendang bola ke arah gawang dan bersorak-sorai ketika kiper tidak berhasil menangkap. ‘Gol!!’, katanya. Wasit juga mengatakan gol. Tapi kiper dan tim lawan keukeuh mengatakan itu bukan gol. Wasit bertahan pada pendiriannya. Dan sebelum saya sempat bereaksi, Endi, anak kelas 4 SD yang badannya sudah sebesar anak SMP menampar leher wasit dari belakang. Saya langsung melompat ke lapangan dan mendorong Endi menjauh, sambil menyuruh wasit memberi kartu merah. Riski, si wasit, mengacungkan kartu merah. Endi dengan bersungut-sungut melangkah lebar meninggalkan lapangan. Kecewa. Timnya masih memprotes wasit yang menurut mereka berat sebelah. Mereka menuntut wasit diganti. Kecewa. Dengan cepat Riski melepaskan tali peluit, menyerahkan peluit dan kartu kuning-merah pada saya, dan berlari menunduk menuju kelasnya. Kecewa. Saya sempat tercenung sebentar. Duh, kenapa bisa begini. Pertandingan yang semula begitu menyenangkan berakhir dengan kekecewaan beruntun. Saya menimang-nimang peluit dan kartu kuning-merah di tangan saya beberapa saat. Lapangan yang biasanya ramai dengan sorak-sorai, kini senyap. Hari itu, kebetulan sekali, Junarih, salah satu Pengajar Muda Halmahera Selatan, sedang berkunjung ke SD papaloang. Saya menghampiri Jun yang sedang dikelilingi anak-anak kecil yang sedang menyimak cerita Jun dengan saksama. ‘Jun, saya minta saran dong’. Jun mohon diri pada anak-anak, dan berjalan mendekati saya. Saya menceritakan sekilas kejadiannya, dan menunjukkan peluit masih saya pegang. ‘Gimana nih, Jun? kalau ini pertandingan saya hentikan, pasti anak-anak akan kecewa..’ Jun yang bijak itu mengajak saya menuju ke tata tertib yang tertempel di dinding sekolah. ‘Lihat’, ucapnya sambil menunjuk poster itu, ‘anak-anak telah melanggar poin 2, 3, dan 4. Jadi biarkan saja mereka kecewa, supaya mereka tahu bahwa tata tertib itu dibuat untuk dipatuhi, dan supaya tertanam di benak mereka bahwa setiap pelanggaran tata tertib akan mendatangkan konsekuensi’. Saya menghembus napas panjang dan berkata, ‘Kamu benar’. Maka saya kembali lagi ke kerumunan anak-anak yang masih berharap pertandingan bisa dilanjutkan, dan berkata dengan tegas, ‘pertandingan dihentikan. Kalian sudah melanggar tata tertib’. Dan sebelum anak-anak bisa memprotes lebih lanjut, saya berbalik meninggalkan mereka. Ketika itu saya hanya berharap takkan ada perkelahian lanjutan. *** Siangnya ketika saya sedang berjalan di jalan kampung, Endi -entah kebetulan atau tidak- sedang berjalan ke arah yang sama. Ia mengejar saya dan dengan nada bersalah ia bertanya apakah pertandingan bisa dilanjutkan lagi. Saya menyembunyikan senyum saya. Jun benar. Anak-anak harus menyesali tindakan pelanggaran tata tertib mereka. ‘Kita lihat saja besok. Ibu tidak mau ada pelanggaran lagi’. Keesokan paginya, setelah apel pagi, saya mengumpulkan semua pemain dalam sebuah rapat, dan bertanya, ‘Kalian mau pertandingannya dilanjutkan?’. Semua serentak menjawab ‘YAAAA!!!’. ‘Ibu juga ingin pertandingannya berlanjut, tapi Ibu harus bisa yakin dulu bahwa di pertandingan ini tidak akan ada pelanggaran tata tertib lagi. Menurut kalian bagaimana caranya?’. Dari depan kelas saya bisa melihat bola-bola mata mereka bergulir ke kanan dan ke kiri, saling melirik. Tidak ada yang berani menjawab. ‘Baiklah, Ibu akan keluar sekarang. Kalian berdiskusilah apa yang perlu kita lakukan supaya nanti tdak akan ada lagi pelanggaran tata tertib’. Saya mengambil tas ransel oranye saya dan melangkah menuju ruang guru. Saya sempat berhenti sebentar di depan jendela terakhir, dan mengintip ke dalam. Suasana kelas yang tadi mencekam kini penuh dengan suara-suara diskusi hidup dalam sebuah lingkaran kecil. Saya tersenyum bangga. Ah, anak-anakku, tahukah kalian bahwa kalian sedang bermusyawarah? Dan tahukan kalian bahwa cara kalian bermusyawarah lebih sopan dan lebih bermoral dari banyak orang dewasa? Tidak sampai 10 menit, 3 orang utusan sidang datang menjemput saya. Dan ketika saya masuk ke ruang kelas, anak-anak menghujani saya dengan usulan-usulan cerdas. Mulai dari usulan yang melarang Endi ikut bermain, usulan untuk mengganti wasit, usulan untuk semua bersumpah untuk mentaati tata tertib, sampai usulan supaya Endi dipindahkan posisinya dari striker menjadi kiper. Saya ingin Endi mendapat sebuah konsekuensi yang membuat dia dan semua orang tahu bahwa apa yang dia lakukan kemarin adalah salah, namun saya tidak ingin membuat Endi berhenti bermain. Maka saya tertarik dengan usulan yang terakhir. Saya tahu, memindahkan Endi dari striker menjadi kiper adalah hantaman telak untuk Endi, karena ia sangat menyukai perannya sebagai pilar depan. Ia adalah salah satu top scorer. ‘Endi, kamu terima menjadi kiper?’ Endi dengan ragu-ragu mengangguk. ‘Semuanya, kalian bisa mematuhi SELURUH peraturan di tata tertib?’.  Jawaban ‘YAAAA!’ memenuhi ruangan. ‘Endi, sekarang kamu minta maaf pada Riski’. Endi dengan malu-malu melangkah mendekati Riski dan menjulurkan tangannya. Riski tersenyum lebar dan menerima jabatan tangan itu. Hati saya seperti disiram air sejuk: lega. Spontan saya bertepuk tangan, dan semua anak ikut bertepuk tangan, dan kami semua berarak-arak menuju lapangan. Endi berbesar hati menjadi kiper. Riski dengan berani bersedia menjadi wasit sekali lagi. Dan pertandingan berakhir dengan kemenangan telak tim Endi, 9-4. Lewat bola kami belajar bagaimana membuat dan mematuhi tata tertib, bagaimana mengendalikan emosi, dan bahwa semua pelanggaran akan mendatangkan konsekuensi. Lewat bola kami semua belajar menjadi sedikit lebih bijak dan menjadi sedikit lebih dewasa. ps: ini adalah foto tim pemenang yang membawa piala Liga Papaloang yang saya buat dari kardus bekas :) Endi berdiri di paling kiri, menutupi wajahnya dengan bola hadiah :)

Cerita Lainnya

Lihat Semua