Ceritanya Asmar

Avina Nadhila Widarsa 5 Februari 2015

Kemarin saya naik mobil ber-AC, duduk di depan sebelah pengemudi. Tiba-tiba perasaan saya ga enak. Saya mau muntah. Alifuru eee... (Kampungan ya?) Haha. Padahal sudah satu bulan kembali ke Jakarta. Tapi, sepertinya saya belum terbiasa dengan kondisi di dalam mobil ber-AC. Ternyata, "bau AC" itu benar-benar ada dan membuat saya ingin muntah. Hembusan angin dari AC mobil yang kencang memang membuat saya pusing seketika dan ingin muntah. Sepertinya saya kualat sama Asmar. Haha.

Namanya Asmar Kapita. Siswa kelas VI SD Inpres Sawangakar, sekolah penempatan salah satu pengajar muda di kabupaten Halmahera Selatan. Asmar adalah salah satu Anak Rantau yang terpilih mewakili sekolahnya untuk berangkat ke Ternate. Selama di Ternate, Asmar tinggal di rumah Tete Muhsin bersama Sinta dan Sindi, temannya dari desa Indong dan desa Papaloang.

Sebagai anak yang terbiasa hidup di desa pesisir pantai, tentu saja Asmar tidak akrab dengan mobil ber-AC. Sialnya, seluruh aktivitas yang dilakukan di Ternate, mobilisasinya dilakukan dengan mobil ber-AC. Pada saat pertama kali Asmar naik mobil ber-AC diantarkan ke rumah Tete Muhsin bersama Sinta dan Sindi, ia terlihat baik-baik saja.

Namun, setelah kami gabungkan kedelapan Anak Rantau bersama tiga orang pengajar muda dalam satu mobil, Asmar tampaknya tidak tahan. Ia muntah. Mengingat penuhnya mobil, kami akhirnya memakai strategi memecah peserta dan panitia, sehingga mobil tidak terlalu penuh. Namun, strategi tersebut tidak berhasil diterapkan untuk menahan muntahnya Asmar.

Di perjalanan berikutnya, ia selalu tidak tahan berada di mobil ber-AC. Ia muntah beberapa kali selama perjalanan. Bahkan untuk perjalanan yang jaraknya sangat dekat sekali, kurang dari 3 km. Dan akibat muntahnya itu, ada beberapa temannya yang juga tergoda untuk muntah, sehingga pernah suatu kali ketika kami berjalan, mereka muntah massal.

Setelah ditelusuri, ia ternyata tidak tahan dengan bau AC. Ia pun kami berikan minyak kayu putih sebagai penghilang rasa bau dan kami dudukkan di depan, sebelah supir supaya bisa bernapas lebih leluasa. Tapi, strategi ini juga belum berhasil. Ia masih tidak tahan bau AC dan selalu meminta supir membuka jendela saat perjalanan.

Kami pikir, inilah waktunya Asmar untuk membiasakan dirinya naik mobil ber-AC. Pembiasaan ini adalah suatu hal yang harus dipaksa, jika tidak, Asmar sendiri yang akan kesusahan saat ia besar nanti dan harus sering naik mobil ber-AC.

Pada hari kedua, ternyata ada satu hal yang membuat Asmar sedikit melupakan keinginannya untuk muntah karena bau AC. Ia menemukan bahwa dirinya sangat senang sekali mendengarkan musik keras-keras di mobil sehingga ia lupa dengan bau AC. Ia pun selalu meminta Pak Supir memutar musik keras-keras supaya ia tidak muntah di perjalanan.

Ah, ya, anak itu memang belum pernah merasakan AC seumur hidupnya. Wajar saja ia tidak tahan dan muntah karena bau AC :D

Setelah pulang ke Halmahera Selatan, beberapa minggu kemudian saya kembali bertemu dengan Asmar. Namun, ada yang berbeda di pipinya. Pipi bagian kiri Asmar tampak bengkak, warnanya biru lebam, seperti habis ditonjok seseorang. Saya awalnya tidak memperhatikan pipinya, namun Jaka yang memperhatikan terlebih dahulu membahasnya di sebuah forum. Ketika Asmar lewat di depan kami, barulah kami memperhatikan dengan seksama pipinya yang biru dan berusaha ia tutupi dengan kacamata.

Usut punya usut, setelah saya tanyakan kepada Roro, pengajar muda di Sawangakar, ternyata pipinya biru akibat ditonjok Ibunya. Ya, ditonjok. Saya penasaran apa alasan Asmar sampai bisa ditonjoik Ibunya. Mengingat Asmar anaknya baik, rajin dan penurut, saya rasa Asmar tidak akan melakukan kesalahan yang fatal.

Roro kemudian bercerita, suatu hari, ada saudaranya Asmar datang dari desa Indong. Kemudian Ia diajak pergi ke Indong oleh saudaranya (atau Asmar yang minta ikut pergi? Saya sendiri lupa, haha). Pergilah ia ke desa Indong dengan tujuan utama untuk menemui temannya, sesama Anak Rantau, Sinta. Sinta ini memang anak yang sangat lucu dan bisa dikatakan cantik untuk ukuran anak kelas V SD di Halsel.

Asmar pergi ke desa Indong tidak bilang-bilang kepada Ibunya. Pada saat jam makan malam, Ibunya mencari Asmar ke seluruh desa dan panik karena tidak menemukan anaknya di mana-mana. Keesokan harinya, ketika Asmar kembali ke Sawangakar, sebuah bogem mentah jatuh tepat di pipinya. Ibunya mem-'bage' (memukul-red.) dia dengan menggunakan batang kayu, tepat di pipinya. Ya, Asmar memang pantas mendapat hukuman karena telah membuat Ibunya khawatir. Namun, sangat disayangkan hukuman yang diberikan Ibunya adalah hukuman fisik.

Lucu sekali kalau dipikir-pikir. Ia rela pergi jauh ke Indong yang beda pulau hanya untuk menemui Sinta. Ah, bahkan anak kelas VI SD sudah tahu bagaimana cinta itu harus diperjuangkan. Haha.

Sebelum saya kembali ke Jakarta, suatu malam Asmar menginap di basecamp. Saat itu, saya mengajak Asmar dan Arisi untuk pergi mengantar Jaka dan Patrick ke rumah kepala sekolahnya dengan menggunakan mobil ber-AC. Saya paksa Asmar duduk di belakang untuk membiasakan dirinya berada di mobil ber-AC. Ternyata, dia masih tidak tahan dengan bau AC dan akhirnya harus istirahat di rumah kepala sekolahnya Jaka.

Haha, Asmar... Asmar, sepertinya Ibu kualat sama kamu, Nak...

 


Cerita Lainnya

Lihat Semua