Satu Minggu, Dua Keranjang Rambutan (Part 1)

Astri Lestari 5 Desember 2011

Tok.. tok.. Gubrak.. Kreeeek... Suara pintu kelas VI sedikit demi sedikit terbuka. Anak-anak kelas lain yang sedang “istirahat belajar” karena para guru mereka sedang “banyak kegiatan” melakukan keributan diluar kelas, mengintip kami, kelas VI belajar. Begitulah cara mereka mengintip, membuka pintu pelan-pelan, hingga pada akhirnya pintu terbuka lebar. Jika  saya biarkan ini berlangsung, lambat laun satu persatu anak masuk kelas. Berbaris satu persatu dipinggir kelas dekat pintu untuk melihat proses belajar mengajar kami. Sementara itu, siswa kelas VI yang merasa terganggu mulai menunjukkan protes dengan saling melempar kalimat menggunakan bahasa ibu mereka, bahasa Mandar. Sehingga suasana kelas terlihat seperti pasar.

Fiuuuh.... Melihat keadaan ini, saya akhirnya memutuskan untuk mengajak semua siswa yang menonton kami belajar untuk ikut bergabung belajar bersama. Siswa-siswa yang mengintip ini, saya sebut sebagai siswa dadakan. Siswa dadakan terdiri dari kelas dua sampai kelas lima SD bahkan ada beberapa orang anak SMP (karena sekolah kami tergabung dengan SMP yang baru dibangun sekitar satu tahun). Senyum sumringah terlihat dari wajah mereka saat dipersilahkan masuk dan ikut belajar bersama. Sebelumnya, saya membuat kesepakatan terlebih dahulu dengan mereka agar tidak mengangggu kakak kelasnya yang sedang belajar dan berlaku sopan serta tidak menimbulkan kegaduhan. Dengan wajah penuh keyakinan, mereka setuju dan saya pun merasa tenang.

Kegiatan belajar mengajar yang sedang dilakukan saat itu adalah belajar melukis dengan menggunakan cat air. Setiap siswa dipinjamkan bahan-bahan yang dibutuhkan dan mereka pun mulai berkreasi membuat gambar yang bertemakan “Alam”. Peminjaman alat dan bahan melukis diprioritaskan untuk siswa kelas VI, karena keterbatasan bahan. Sementara, siswa lain ada yang menonton, ada yang ikut melukis, dan ada juga yang hanya berkeliling-keliling kelas untuk melakukan “pengamatan”. Untuk beberapa menit diawal kegiatan belajar, suasana kelas cukup kondusif. Siswa kelas VI dapat dengan tenang melukis, sementara siswa dadakan memperhatikan mereka mengerjakan tugas. Kondisi kelas dapat diatur karena siswa mematuhi peraturan dengan baik.

Namun jangan percaya jika mereka akan tetap berlaku manis hingga akhir pelajaran, karena hanya kurang dari setengah jam mereka dapat tenang. Sisa waktu pelajaran selanjutnya terjadi banyak pertempuran. Mulai dari berlari-lari dalam kelas, naik bangku guru, buka-buka lemari kelas, bermain-main di tengah kelas, menganggu siswa kelas VI yang sedang belajar dan lain sebagainya. Perhatian saya pun mulai teralih pada para siswa yang “aktif”. Saya berusaha menenangkan mereka dengan memberikan kesibukan lain. Namun belum sempat semua siswa ditenangkan, tiba-tiba dari arah belakang saya terbang sebuah benda berbentuk kotak, berbahan kapuk, dan penuh dengan sisa tinta. Dan ternyata benda yang melayang itu adalah penghapus papan tulis yang untungnya tidak sampai “mengenai” saya. Penghapus tersebut dilemparkan oleh salah seorang anak dari kelas IV. Sebut saja namanya Lias. Ya, dia adalah salah seorang anak yang harus diberikan banyak perhatian karena tingkahnya yang sangat agresif, penuh dengan ide-ide cemerlang untuk menjaili teman-temannya, termasuk saya, gurunya. Sesaat saya terdiam, kemudian dengan tenang saya bertanya kepada sekumpulan anak yang bergerombol di belakang saya. “Baik, siapa yang tadi melempar penghapus papan tulis?” (sambil tetap tersenyum). Anak-anak secara serentak dan merasa senang karena temannya pasti akan kena marah menunjuk Lias. “Bu, bu.. yang tadi lempar Lias bu, hayooh dihukum loh!”. Kemudian saya hampiri mereka dengan tenang, lalu mengarahkan pandangan pada setiap anak dan berkata, “Hmm, Lias ya? Aah tapi kok ibu tidak percaya yah kalau Lias yang melempar, Lias kan anak baik, iya kan Lias (sambil mengarahkan pandangan pada Lias)?”. Lias tersenyum malu dan teman-temannya mengejek, “Cieee, Lias anak baik cieee..” Saya pun tersenyum dan kembali memberikan arahan pada siswa yang lain.

Kemudian, sepulang sekolah. Seperti biasa, saya pulang bersama-sama anak-anak. Menuruni jalanan curam penuh batu yang biasa kami lewati sehari-hari jika ingin ke sekolah. Di samping kelas, saat berjalan sambil bercerita-cerita dengan para siswa. Tiba-tiba saya melihat dua orang anak yang sedang bersitegang dengan ekspresi wajah penuh “perdebatan”. Saya tidak bisa mengatakan bahwa mereka sedang berkelahi, karena tidak ada tanda-tanda kekerasan. Hanya saja, tangan mereka sedang berpegangan erat satu sama lain. Setelah didekati, tangan mereka memegang sebuah pulpen berwarna hitam dan memperebutkannya. Saat saya meghampiri mereka lebih dekat, ternyata kedua orang tersebut adalah salah seorang kelas VI yang terkenal rajin dan pintar bernama Akbar dan satu orang lagi adalah dia, si anak cemerlang yaitu Lias. “Haduuuh, apalagi ini?”, pikir saya dalam hati. Saat saya bertanya tentang apa yang terjadi, Akbar mengadu bahwa Lias telah mencorat-coret dinding kelas, dengan tangan yang masih saling berpegangan. Lalu seperti yang telah saya lakukan sebelumnya, saya menyatakan bahwa Lias anak yang baik dan sangat tidak mungkin jika ia telah mencorat-coret dinding. Lalu setelah melerai keduanya, kami pun kembali melanjutkan perjalanan untuk pulang.

Di sore hari, saat saya sedang duduk di ruang atas yang dindingnya hanya setengah (sebenarnya lebih tampak seperti teras yang diberi pagar kayu). Saya melihat dari kejauhan, Lias sedang berjalan ke arah rumah, mengarahkan pandangan pada saya dan menunjukkan barang yang ia bawa di tangannya. Saya pun langsung menyuruhnya untuk datang menghampiri saya. Dan ternyata, ia membawa banyak rambutan yang ia petik sendiri dari kebun ditangannya. Ia memberikannya pada saya dengan wajah yang sedikit malu-malu. Saya pun bertanya, “Ini untuk ibu semuanya?”. Lias pun menjawab, “Iya bu”. Lalu ia segera berlari dan pergi keluar. Saya pun berteriak, “Terima kasih, Lias”. Dari kejauhan ia menjawab, “sama-sama ibu”. Subhanallah, saya pun bersyukur karena sikapnya itu. Sepertinya ia telah menyerap sedikit demi sedikit perkataan saya yang menyatakan bahwa ia adalah anak yang baik. Dan ia pun ingin menunjukkan itu. Menunjukkan bahwa ia adalah anak yang baik. Sebenarnya Lias adalah anak yang sangat manis. Setelah saya sadari, ternyata berbagai hal yang ia lakukan, hanya bertujuan untuk menarik perhatian saya. Hal ini ia tunjukkan melalui tatapan matanya yang mengatakan bahwa ia ingin lebih akrab dengan saya.

*Sebagai catatan, dihari kedua saya tinggal disini. Saat pergi ke air terjun yang terletak sekitar 4-5 kilo dari rumah dan membutuhkan waktu tempuh sekitar dua jam perjalanan. Lias adalah anak yang selalu berjalan disamping saya dan selalu melirik-lirik ke arah saya ketika berjalan (dengan tatapan yang sama, tatapan ingin lebih akrab).


Cerita Lainnya

Lihat Semua