Bisikan Hati (Part 2)
Astri Lestari 31 Juli 2012Ramadhan kali ini sungguh berbeda dengan ramadhan-ramadhan sebelumnya. Memang setiap tahun saya menjalani bulan puasa di tempat dan suasana berbeda. Namun tahun ini sungguh jauh lebih mengesankan dan sungguh jauh berbeda, karena akhirnya saya memutuskan untuk menjalani puasa dan lebaran di tanah Mandar. Jauh dari rumah, jauh dari mama, jauh dari bapak dan jauh dari saudara-saudara saya.
Hari Kedua Puasa: Super Bombastis!
Kemarin, saya dipanggil oleh salah seorang warga yang merupakan panitia bulan ramadhan di mesjid. Saya diminta untuk menjadi penceramah pada shalat terawih. Hmm, saya pun menerima tawaran itu, karena saat ditawarkan menjadi penceramah banyak anak-anak yang mendengar (sepertinya mata mereka berbicara “wah, ibu jadi penceramah, ayo bu!”).
Saya yang biasanya selalu memotivasi anak-anak untuk berani maju dan tampil, harus memberikan contoh yang baik walau dalam hati cukup tegang menerima tawaran itu (Hehe... ). Ya, saya merasa tegang karena ini adalah kali pertama saya menjadi pengisi materi. Biasanya saya menjadi MC atau yang lainnya. Di daerah Mandar, posisi laki-laki jauh berbeda dengan perempuan. Jarang saya melihat perempuan menjadi pengisi ceramah. Apalagi dengan hadirin yang lebih berpengalaman perihal agama, berisi bapak-bapak, ibu-ibu, remaja juga anak-anak. Saya harus siap dan menunjukkan kepada anak-anak, apalagi anak perempuan bahwa kita harus siap dalam kondisi apapun, tetap melakukan yang terbaik walau dalam keadaan mendesak sekalipun.
Sesampainya dirumah sambil menunggu genset menyala karena laptop lowbat, saya mencari bahan ceramah dari buku, namun tidak menemukan tema yang tepat. Saat genset menyala, saya langsung hidupkan laptop dan mencari bahan. Setelah memilih beberapa tema, akhirnya saya memutuskan untuk memberikan ceramah tentang “Nikmat Syukur” yang dikaitkan dengan kondisi saat ini. Saya pun mengutip sebuah kisah dari seorang trainer, seorang motivator bernama Andre Raditya. Begini ceritanya......
Di sebuah desa yang damai, aman dan tidak pernah ada bencana yang terjadi selama beberapa tahun terakhir, tinggalah seorang kakek yang sangat baik. Namun tiba-tiba saja terjadi hujan lebat dan airnya lama-lama sampai ke mata kaki. Warga desa kaget dan heran dengan banjir yang tiba-tiba datang ini, sehingga mereka memutuskan untuk mengungsi ke desa sebelah yang lebih aman. Si kakek pun diajak untuk ikut mengungsi, namun si kakek yang baik hati ini menolak ajakan mereka dan berkata, “Saya yakin Tuhan Maha Pengasih dan Maha Penyayang, Tuhan pasti menolong saya”, ujar si kakek. Akhirnya warga pun pergi meninggakan si kakek. Kemudian lama kelamaan hujan pun semakin lebat dan air sudah setinggi dada orang dewasa. Tim penyelamatpun datang dengan perahu karetnya mencari sisa-sisa orang yang tertinggal untuk diungsikan di desa yang lebih aman. Tim penyelamat pun bertemu dengan si kakek, dan mereka mengajak kakek untuk ikut, namun si kakek tetap tegas dan mantap menjawab, “Tidak, saya tidak mau ikut. Saya yakin Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang, Tuhan pasti menolong saya”. Akhirnya tim penyelamat dengan perahu karetnya pun pergi meninggalkan si kakek. Semakin lama, hujan pun bukannya berhenti tetapi malah semakin lebat, hingga hampir menenggelamkan desa bersama isinya. Si kakek pun berusaha baik keatas genting. Tiba-tiba tim penyelamat pun datang lagi kali ini dengan menggunakan helikopter. Tim pun melihat si Kakek sendirian diatas genting, mereka melemparkan tali penyelamat tepat dimana si Kakek diam. Namun bukannya meraih tali tersebut, si Kakek pun tetap pada pendiriannya dan tetap mengatakan hal yang sama “Saya yakin Tuhan Maha Pengasih dan Maha Penyayang, Tuhan pasti menolong saya”. Singkat cerita, desa pun tenggelam beserta isinya termasuk si Kakek. Di akherat, si Kakek pun protes pada malaikat. “Hai malaikat, saya mau protes. Saya sangat yakin bahwa Tuhan akan menolong saya, Tuhan Maha pengasih, Tuhan Maha Penyayang. Tapi mengapa saya akhirnya meninggal?” protes si Kakek. Malaikat pun heran dan menjawab, “Hei Kakek, bagaimana Tuhan tidak menolong kamu. Saat banjir datang, Tuhan mengirimkan warga untuk menyelamatkanmu, kamu pun menolak. Kemudian Tuhan mengirimkan perahu karet, kamu tetap menolak dan bahkan Tuhan mengirimkan helikopter, kamupun menolak. Yah Tuhan pikir kamu mau mati!”. Si Kakek pun terdiam.
Dari cerita diatas dapat diambil hikmah bahwa kita harus bersyukur akan nikmat yang telah Allah berikan. Mengambil setiap kesempatan positif yang datang pada kita dan memanfaatkannya dengan sebaik mungkin. Saya sangat bersyukur mendapat kesempatan belajar dan mengajar disini. Bersyukur mendapat kesempatan untuk menjalankan ibadah puasa di perantauan. Hari-hari yang saya kira akan membosankan karena jauh dari keluarga dan rumah, ternyata itu tidak terjadi. Walau terkadang merindukan kebersamaan dengan mereka, namun ketika kita ikhlas dan kembali mengucap syukur semuanya terasa indah.
Saya, Astri Lestari, seorang Pengajar Muda Majene yang mendapat kesempatan mengajar di SDN 25 Inpres Lombang, kec, Malunda. Menyebut anak-anak muridnya sebagai Laskar Papelo (Pasukan Pemimpin Lombang) yang percaya akan kekuatan mimpi dan keyakinan bahwa suatu hari nanti ada sosok-sosok penting yang terlahir dari desa ini.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda