info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Bisikan Hati (Part 1)

Astri Lestari 30 Juli 2012

Ramadhan kali ini sungguh berbeda dengan ramadhan-ramadhan sebelumnya. Memang setiap tahun saya menjalani bulan puasa di tempat dan suasana berbeda. Namun tahun ini sungguh jauh lebih mengesankan dan sungguh jauh berbeda, karena akhirnya saya memutuskan untuk menjalani puasa dan lebaran di tanah Mandar. Jauh dari rumah, jauh dari mama, jauh dari bapak dan jauh dari saudara-saudaraku.

Kamis Sore: Menanti Hari Pertama Puasa

Kamis sore itu, warga Lombang tak terkecuali anak-anak mulai sibuk membicarakan hari pertama puasa. Kami menanti informasi dari pemerintah tentang pelaksanaan bulan puasa. Genset yang belum menyala karena hari masih sore membuat kami harus sedikit bersabar dan menunggu malam tiba untuk menonton bersama di salah satu rumah warga.

Sabtu pun diputuskan sebagai hari pertama puasa, walau menurut perkiraan puasa akan dilaksanakan di hari Jumat namun tidak menutup kegembiraan kami menyambut bulan penuh hikmah ini. Jumat sore, saya dan anak-anak memasak “bakwan” dari uang yang dikumpulkan oleh mereka. Setelah memasak dan menyantap “bakwan” di atas batu besar depan rumah, kami pun bersiap-siap untuk melaksanakan pawai (kegiatan dadakan). Pawai ini akan dilaksanakan setelah ashar dengan membawa rebana yang digunakan untuk bershalawat yang terdiri dari anak-anak kecil hingga remaja. Mendengar cerita rekan Pengajar Muda di daerah Paser yang membagikan kartu ucapan puasa, saya pun terinspirasi dan mengajak anak-anak untuk membuat kartu ucapan. Kartu ini dibuat sangat sederhana dari selembaran kertas kecil yang intinya berisi ucapan “Selamat menjalankan ibadah puasa”, dibuat sendiri oleh anak-anak sehingga kalimatnya bervariasi.

Saat kami berjalan beriringan dengan membawa rebana, warga pun terheran. Mungkin dalam benak mereka bertanya “Mau ngapain lagi ini?”. Setelah kami mulai menabuh rebana dan bershalawat, mereka pun sepertinya menyadari bahwa kami akan melakukan pawai. Raut wajah semua orang terlihat senang. Apalagi saat diberikan kartu ucapan. Melihat antusias yang besar dan kebetulan anak-anak sedang berkumpul, saya pun menyebarkan informasi bahwa akan diadakan pesantren kilat selama Bulan Ramadhan yang dimulai di hari pertama puasa, yaitu besok Sabtu. Ditengah kegembiraan kami bershalawat dan menyebarkan kartu ucapan, tiba-tiba hujan turun rintik-rintik. Saking menikmatinya acara ini, hujan yang semakin lama semakin deras tidak dihiraukan. Kegiatan ini tetap dilanjutkan hingga ujung dusun dan kartu ucapan habis disebarkan.

Terawih: Malam Pertama

Terawih hari pertama dilaksanakan lebih lambat dibanding hari-hari berikutnya. Di malam pertama ini, warga biasa mengadakan baca-baca terlebih dahulu. Imam yang sudah biasa mengisi acara baca-baca atau pun orang yang bisa baca-baca, berkeliling rumah warga satu per satu selepas magrib. Jika semua rumah sudah didatangi, barulah warga berbondong-bondong berangkat ke mesjid untuk melaksanakan shalat terawih. Warga tidak tahu pasti alasan dilaksanakannnya baca-baca. Menurut mereka, baca-baca adalah sebuah tradisi turun temurun dan sudah menjadi adat kebiasaan di daerah ini. Saat saya ditanya apakah ada baca-baca di malam pertama puasa di daerah asal, saya pun menjawab tidak. Namun hal ini tidak menjadi penghalang kekhusyuan kami menyambut bulan suci ramadhan.

Sebelum shalat terawih, diadakan ceramah singkat terlebih dahulu oleh ustad-ustad setempat. Dalam melaksanakan shalat terawih, ada yang shalat 23 rakaat dengan witir, namun  ada juga yang 11 rakaat. Jadi jika sudah rakaat ke-delapan, sebagian warga baik anak-anak, remaja ataupun orang dewasa beranjak pulang dan melaksanakan witir di rumah masing-masing, tapi anak-laki-laki kebanyakan menunggu di luar mesjid dengan membawa sarung dan ember karena mulai malam ini mereka akan menginap di mesjid. Sementara itu warga yang ingin melaksanakan shalat 23 rakaat, tetap berada di mesjid untuk melanjutkan shalat terawih berjamaah.

Sahur: Desa pun Bergetar

Sahuuuuuuur... Sahur.. Sahuuuuuur... Sahur...!! Suara anak-anak membangunkan warga untuk sahur. Pada sahur hari pertama, dusun yang sepi dan senyap tanpa lampu atau pun alat elektronik tiba-tiba bergetar. Pukul 02.00 WITA, anak-anak yang menginap di mesjid mulai membangunkan sahur warga. Mereka tidak setengah-setengah, ada yang  membawa ember, kayu, kompan dan alat-alat lainnya yang bisa mereka pukul sebagai alat musik menggantikan gendang. Semua alat mereka pukul dengan keras dan sepertinya penuh semangat bergelora hingga bunyinya bisa membangunkan batu yang tertidur ratusan tahun (saking kerasnya! :D). Kalau sudah begini mau tidak mau warga pun harus terbangun pukul 02.00 WITA pagi. Mungkin jika di kota, ada beberapa keluarga yang memang biasa bangun sepagi itu untuk menjalankan sahur. Keluarga di kota bisa bercengkrama tanpa gelap dan melihat saluran-saluran televisi berisi ceramah ataupun acara hiburan ramadhan lainnya. Tapi disini?? Lampu tidak ada, televisi apalagi. kami makan sahur di kegelapan dengan ditemani suara jangkrik, anjing yang mengonggong dan kicauan burung yang sedikit agak menakutkan. Itulah mengapa banyak warga yang protes saat anak-anak membangunkan sahur jam 02.00 WITA :D

Hari Pertama Puasa: Bombastis!

Saya kira tadinya akan membosankan berpuasa tanpa ada hiburan apapun (red: TV, listrik, sahabat, keluarga, dsb), namun justru ini adalah kesempatan saya untuk meningkatkan ibadah dan semakin mendekatkan diri lagi dengan keluarga angkat, anak-anak dan warga. Mengingat kurang lebih tinggal tiga bulan lagi saya mengajar disini. Di hari pertama ini, warga tetap menjalankan aktivitas layaknya hari-hari biasa seperti memecah kemiri, pergi ke kebun, pasar dan sebagainya walau tidak terlalu sibuk. Tapi keadaan ini berbeda dengan anak-anak. Anak-anak yang biasanya sudah ramai bermain di pagi hari, kini sepi. Mungkin mereka kelelahan setelah bermain perkusi malam sahur tadi. Dusun terasa sunyi dari hiruk pikuk teriakan mereka. Hampir saja saya takut kalau-kalau mereka lupa hari ini dimulai pesantren kilat.

Pesantren kilat yang diadakan sehabis shalat ashar berjamaah pun dimulai. Ternyata hanya kekhawatiran saya saja saat takut anak-anak lupa untuk mengaji. Kenyataannya mereka pun segera berbondong-bondong mengenakan Cipo (red: mukena) untuk perempuan dan baju koko untuk yang laki-laki, ketika melihat saya keluar rumah mengenakan cipo. Begitu cantik dan gagahnya mereka saat satu per satu keluar dari rumah dan bersama-sama berangkat ke Mesjid Al-Amin. Anak-anak yang mengikuti pesantren kilat tidak hanya siswa SD tetapi juga SMP dan SMA bahkan yang sudah lulus sekolah. Saya pun cukup beruntung karena tidak harus mengajar sendirian. Saya ditemani oleh salah satu remaja yang sedang menjalani sekolahnya di salah satu Perguruan Tinggi di daerah Mamuju, namanya Feri. Saya dan Feri sangat senang dengan antusias dan semangat anak-anak untuk mengikuti pesantren kilat. Hingga rasa lelah, lapar atau pun haus sirna saat bersama-sama menjalani aktivitas ini.

Saat mengajar, sungguh disayangkan karena ternyata anak-anak kurang mendapat pengetahuan tentang agama. Mereka seakan-akan haus tentang agamanya sendiri. Namun tidak ada kata terlambat untuk belajar dan ini saat yang tepat untuk saling berbagi. Pesantren diawali dengan membaca ayat suci Al-quran oleh salah satu siswa kemudian ceramah, mengaji bersama, shalawatan dan belajar menulis bahasa Arab beserta artinya. Mereka begitu khusyuk belajar, walau anak-anak yang masih kecil ada yang berlarian di dalam mesjid. Hari ini kami membuat kesepakatan dalam menjalankan pesantren kilat di hari-hari berikutnya yakni penceramah adalah siswa sendiri yang bergiliran setiap harinya, begitu pula pembaca ayat suci al-quran dan pemimpin doa. Sehingga selain mendapatkan ilmu yang disampaikan, mereka juga bisa memupuk kepercayaan diri untuk berani tampil di depan umum. Sungguh sebuah kegiatan yang sangat bermanfaat.

Hari kedua pun tiba. Singkat cerita sepulang pesantren, tiba-tiba saya dipanggil orang salah seorang warga yang merupakan panitia bulan ramadhan. Ia meminta saya untuk mengisi ceramah saat teraweh di Mesjid. Hmm, saya pun menerima tawaran itu, karena saat ditawarkan menjadi penceramah banyak anak-anak yang mendengar (sepertinya mata mereka berbicara “wah, ibu jadi penceramah, ayo bu!”).

Saya, Astri Lestari, seorang Pengajar Muda Majene yang mendapat kesempatan mengajar di  SDN 25 Inpres Lombang, kec, Malunda. Menyebut anak-anak muridnya sebagai Laskar Papelo (Pasukan Pemimpin Lombang) yang percaya akan kekuatan mimpi dan keyakinan bahwa suatu hari nanti ada sosok-sosok penting yang terlahir dari desa ini.

Bersambung


Cerita Lainnya

Lihat Semua