Upacara di Musim Berbeda

Asri Diana Kamilin 7 April 2017

Hari itu sedang musim kering di desa. Air surut hingga tanah kering terlihat. Kami pun memiliki halaman sekolah dadakan. Permainan anak-anak mulai disesuaikan dengan adanya lapangan. Berbagai permainan seperti tarik tambang, lompat tali dan badminton bisa kami mainkan di halaman baru sekolah. Namun, pada tanggal 29 Agustus 2016, ada hal berbeda yang kami laksanakan bersama. Kegiatan yang entah kapan terakhir kali di adakan di sekolah, akhirnya terlaksana kembali.

Dalam rangka mempersiapkan kegiatan ini, Bapak Kepala Sekolah membongkar gudang dengan harapan menemukan barang-barang untuk menunjang pelaksanaan. Tak sia-sia, Beliau menemukan Migao-megaphone portable yang berfungsi sebagai pengeras suara. Teman-teman dari pramuka pun di hari Jumat sudah memperbaiki tiang putih setinggi 10 m yang akan digunakan untuk kegiatan hari ini. Dan, anak-anak pun telah berulang kami memperagakan apa yang di latih di hari-hari sebelumnya. Inilah keriuhan menjelang upacara perdana di sekolah kami.

Antusias anak-anak tidak terbendung. Hari itu, Senin pagi, guru-guru telah siap dengan baju keki khas pegawai. Petugas upacara gabungan dari kelas V dan VI. Bapak kepala sekolah bertindak sebagai Pembina upacara. Beliau menyampaikan pesan pengingat agar anak-anak selalu rajin belajar, membuang sampah pada tempatnya dan bersyukur terselenggaranya upacara pertama ini. Upacara terus berlanjut selama musim kering, hingga musim kering pun berganti..

 

Air mulai memasuki halaman sekolah kami. 31 Oktoner 2016. Sebutalah musim air setengah, yaitu ketika air berada pada ketinggian sedang. Saya sempat ragu apakah upacara akan tetap dilanjutkan mengingat kami tidak memiliki halaman lagi. Saya pun menanyakan kepada Bapak kepala sekolah menganai hal ini. Bagaimana kira-kira upacara kita ya Pak? Jawaban Bapak benar-benar membesarkan hati dan melecut semangat kami. “Kita tetap akan upacara. Di depan kelas masih bisa jadi tempat baris anak-anak. Titian ini bisa untuk petugas.” Bapak menjelaskan sembari menunjuk titian kayu yang ada menghubungkan rumah saya dan sekolah.

 

Semangat Bapak untuk upacara dilengkapi antusias anak-anak menjadi petugas. Guru-guru mulai mengusulkan agar petugas upacara tidak gabungan, melainkan per kelas secara bergantian. Dimulailah pembentukan petugas per kelas dari kelas VI, V kemudian IV. Anak-anak pun berebutan menjadi petugas. Sore hari, sekolah menjadi sangat ramai dengan latihan upacara. Bukan hanya anak, orang tua yang sedang lewat pun terhenti melihat. Di awal upacara, petugas menggunakan alas kaki beragam, sebagian besar menggunakan sandal jepit. Namun, di upacara kali ini, semua petugas telah menggunakan sepatu.

 

Upacara demi upacara terlaksana. Hingga, upacara pada tanggal 30 Januari 2017. Perbaikan mulai dilakukan. Dari menggunakan sandal menjadi sepatu. Tidak bertopi menjadi bertopi. Berdasi, hingga memakai selempang bagi petugas upacara. Ternyata, di musim banyu dalam (air tinggi) perubahan penampilan tidak hanya oleh dilakukan oleh petugas upacara, melainkan anak-anak lainnya. Semakin banyak anak berpakaian rapi ke sekolah pada hari Senin dan hari-hari lainnya. Walaupun,ini masih proses yang tidak langsung sempurna.

 

 

Bagi kita, upacara seolah hal yang biasa. Namun, bagi anak-anak disini, upacara menjadi hal menyenangkan untuk dilakukan. Anak kelas satu menyukai detik-detik ketika Pancasila dibacakan sehingga mereka hafal. Anak lainnya menyukai masa-masa melantunkan lagu kebangsaan Indonesia Raya -walaupun dinyanyikan dengan logat Bajar-. Bagi guru, upacara menjadi sarana komunikasi dengan semua siswa. Mulai memberikan pengumuman agar melepas sandal ketika di kelas hingga himbauan agar tidak membuang sampai di kolam sekolah.

 

Hingga saat ini, upacara tetap terlaksana walau musim berganti rupa. Pada suasana ini, saya kembali belajar bahwa perubahan itu sederhana. Bisa dilakukan bersama-sama dari lingkup terkecil kita saat ini.


Cerita Lainnya

Lihat Semua