Melahirkan di Kapal Kayu (ces)
Asri Diana Kamilin 11 Februari 2017Tidak pernah terbayangkan sebelumnya aku bisa menyaksikan langsung proses lahirnya manusia ke dunia. Salah satu pengalaman paling berkesan dalam hidup yang aku peroleh ketika bertugas di desa. Hal ini dikarenakan aku tinggal di rumah bidan desa yang membantu proses persalinan warga. Di suatu kesempatan, aku menjadi pemegang senter ketika Sanah –bidan desa kami- mulai melihat kepala bayi sedangkan cahaya lampu remang-remang. Dimasukkanlah tangan Sanah ke bagian keluarnya bayi. Sang Ibu mengejan kesakitan. Beberapa perempuan paruh baya di sekelilingnya menyertai dengan kalimat-kalimat kebaikan. Aku, yang pertama kali melihat proses persalinan antara bersyukur dan tegang. Keluarlah kalimat “ayoo..terus..terus..terus.. Tarik napas… sebentar lagi” respon reflek yang entah darimana aku pelajari. Dari lima kali persalinan yang aku ikuti selama di rumah Sanah, salah satu yang paling berkesan ialah ketika seorang ibu melahirkan di atas kapal kayu kecil (ces).
Hari itu, 28 Januari 2017 bertepatan dengan hari libur Imlek. Matahari belum memperlihatkan sinarnya. Sekitar pukul 04.00 WITA. Langgar pun masih sepi. Seseorang mengetuk pintu rumah kami. Sanah, bidan desa yang menjadi rekanku berbagi banyak hal selama di desa membukakan pintu. Ia sudah terbiasa dan ‘sergep’ dengan kondisi ini. Ternyata, seorang suami yang istrinya akan melahirkan hendak menjemput Sanah untuk memeriksa istrinya. Seketika itu juga Sanah berangkat mengikuti suami siaga ini.
Sekitar satu jam, Sanah kembali. Aku pun bertanya ada apa? Iya bercerita bahwa sang Ibu sudah masuk pembukaan 8 tinggal menunggu dua pembukaan lagi menuju sempurna. Pasien perlu dibawa ke rumah Sanah. Maka, pagi itu pun sang suami beserta dua orang perempuan paruh baya mengantar sang istri yang mulai kesakitan memegang pinggulnya. Di rumah Sanah, persiapan pun digelar untuk menyambut kedatangan anak manusia ke dunia. Kami menunggu hingga sekitar pukul 09.10 WITA.
Pembukaan sudah sempurna, namun bayi tidak bisa keluar karena tersangkut di bagian tulang pinggul. Perlu bantuan paramedis lain hingga harus dirujuk ke puskesmas terdekat yang memiliki dokter kandungan. Maka, dirujuklah ke puskesmas Nagara yang berjarak kurang lebih 45 menit dari desa kami. Keluarga pun mempersiapkan segala keperluan. Mulai dari barang-barang hingga kendaraan yang akan ditumpangi untuk mengantar. Karena jalan darat yang rusak, maka kendaraan yang paling memungkinkan ialah ces, sejenis perahu kayu kecil bermesin. Ibu yang hendak melahirkan ini pun diangkat dengan segala kain yang masih melekat. Ada empat lelaki yang membantu memindahkan dari rumah bersalin menuju ces.
Warga pun berdiri di samping pelabuhan membantu mengankat apa saja yang diperlukan. Meminjamkan payung untuk menjadi peneduh bagi sang Ibu. Sekitar pukul 09.30, ces berangkat menuju Nagara. Sanah berada tepat di bawah kaki si Ibu untuk membantu jikalau bayi tiba-tiba keluar. Seorang Nini (nenek) memegang kepala dan tangan sang Ibu dari arah yang sama. Nini lainnya memastikan infus tidak bergerak setelah diletakkan di atas kayu pengayuh. Sang suami diliputi gurat wajah ketegangan. Beliau duduk di depanku. Kami bersusun panjang di atas ces yang melaju cukup kencang.
Sekitar 10 menit ces melaju, Sanah memberikan instruksi untuk segera merapat. Ketika itu, kami berada di perbatasan antaran Desa Baru dan Desa Siang Gantung. Kami merapat di pinggir rumah warga yang berada di atas sungai. Warga yang mengetahui kedatangan ces kami pun riuh menanyakan ada apa gerangan. Melihat seorang perempuan hendak melahirkan, mereka pun mempersiapkan banyak hal. Mulai dari payung super besar yang diletakkan di pinggir kapal hingga air panas bergula jikalau sang ibu memerlukan asupan.
Kami tetap berada di atas ces karena perut si Ibu kembali berkontraksi kuat dan tidak mungkin diangkat. Detik-detik menegangkan itu pun terjadi. Kepala bayi mulai terlihat hingga akhirnya anak manusia pun keluar ke dunia fana. Tapi, ada yang berbeda! Tak ada tangis suara. Kulitnya biru di seluruh badan. Sanah memasukkan selang ke dalam mulut si bayi lalu mulai menyedot cairan yang mungkin masih ada di dalam. Ia juga membalikkan bayi dan mengurut bagian punggungnya. Warga yang melihat di bantaran sungai pun berkaca-kaca melihat sang bayi tak mengeluarkan tangis seperti layaknya. Mereka pun berinisiatif mengambil wajan (penggorengan) dan ‘sutil’ kemudian membuat ketukan-ketukan dengan ritme tak tentu. Mereka juga memberikan kalimat semangat “ayo, nangis nak ai, mamakmu kasian…” Kami pun diliputi ketegangan mendalam. Perjuangan panjang akhrinya berakhir sesuai kehendak Tuhan.
Sekelebat terlintas dalam benarku untuk berucap “all is well…all is well…all is well” seperti yang dilakukan Rancho dan kawan-kawan di film 3 idiot. Namun, sebelum pikiran itu keluar melalui ucapan, sang bayi mungil itu tiba-tiba mengeluarkan tangisnya. “oeekk…oeeekkk..” Tangis itu pun diiringi kalimat syukur atas apa yang terlihat oleh mata. Warga segera menyiapkan perlengkapan untuk memandikan bayi perempuan nan mungil ini. Di tengah keramaian, Sanah membersihkan bagian bawah sang Ibu yang berdarah-darah dan mulai menjahitnya. Keduanya selamat melalui perjuangan panjang yang melelahkah, menegangkan sekaligus membahagiakan.
Usai menyaksikan langsung proses persalinan, betapa semakin bersyukurnya bisa tinggal di desa ini. Bertemu dengan anak-anak super spesial yang selalu diupayakan agar berkembang sesuai fitrah-Nya. Tak terkecuali bayi perempuan yang unik sejak kelahirannya ini. Dialah salah satu aset bangsa yang kelak akan turut serta memberikan sumbangsih terbaiknya bagi dunia. Saya, Anda dan kita semua memiliki tanggung jawab yang sama untuk mendukung kehadiran mereka di dunia. Dengan apa? Berlaku sebaik-baiknya untuk kebaikan semua makhluk-Nya.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda