Murid Kecil Sang Maha Guru Alam

Asa Adetya Pamungkas 3 April 2025

Matahari bertengger hampir di puncak peraduannya. Panasnya mampu untuk menggoreng telur mata sapi, jika kau cukup sabar untuk meletakkan penggorengan di tengah jalan aspal dan menghabiskan waktu satu sampai dua jam di bawah teriknya. Suara kicau burung berlomba dengan suara manusia-manusia kecil yang berlari kesana kemari sambil memekakkan gelak tawa. Di antara mereka ada yang sibuk menghitung uang hasil berjualan bakso ikan lezat yang dibawanya dari rumah untuk dijual kepada warga sekolah. Ada juga yang lahap memakan nasi kuning harga Rp3000 yang lumayan cukup untuk mengganjal perut, setidaknya sampai tengah hari. Yang lainnya duduk di lantai keramik berwarna putih sambil sibuk menggambar rumah khas anak-anak dengan atap datar, dua jendela, satu pintu, dan pohon di sampingnya.

Jam menunjukkan pukul 10.40. Seorang anak dengan prakarsanya yang tinggi menanyakan padaku, “Ibu, toki bel sudah?”. Aku membalas dengan senyum dan anggukan. Tangannya yang kecil meraih sebuah besi panjang yang di ujungnya sudah dililit karet ban. Kakinya yang mungil bergerak keluar ruangan, melewati pintu kayu yang masih kokoh berwarna putih. Dengan tenaganya yang telah diisi dengan bakso ikan dan es sirup, ia memukul sebuah tabung gas berkarat. Tenang saja, tabung gas itu sudah kosong sejak lama. Mungkin saja, usianya sekarang sudah sama dengan usia bangunan sekolah itu. Ia sudah tak lagi berteman dengan kompor dan api, tetapi panasnya matahari. Tubuhnya yang tua dan berkarat itu setiap hari harus rela dipukul oleh tangan-tangan kecil menggunakan besi panjang sebagai tanda untuk mengawali dan mengakhiri jam belajar.

Semua anak masuk ke dalam kelas. Ada tiga ruangan di sekolah yang berada pada ketinggian tanah yang berbeda. Aku masuk ke ruangan yang berada pada lantai bawah, begitu warga sekolah menyebutnya supaya terasa seperti berada di gedung-gedung bertingkat katanya. Anak-anak terlihat duduk di lantai dengan tas mereka yang berada di samping masing-masing. Belum ada meja dan kursi memang, tapi tak masalah. Toh, masih ada lantai keramik yang setia menjadi alas tulis mereka. Walaupun aku yakin, kadang-kadang punggung mereka pasti sedikit pegal karena harus terus membungkuk saat menulis catatan belajar.

“Hari ini, katong belajar di luar”, kataku.

Sorak-sorai memenuhi ruangan yang berisi tujuh orang anak laki-laki yang tidak lama lagi akan melepaskan status mereka sebagai murid SD: Ciko, Iki, Ilham, Laoi, Nasir, Rendi, dan Udin. Ah, pastinya mereka akan berbangga hati karena tidak lama lagi mereka akan sah menjadi anak-anak remaja. Sebenarnya, masih ada satu anak yang hari itu tidak masuk sekolah, Imran.

Kami berjalan melewati jalan aspal di depan sekolah. Di sisi kiri jalan, kumpulan pohon pala memamerkan kesuburannya. Daun-daunnya hijau segar dan rimbun, mampu untuk dijadikan tempat berteduh oleh siapa saja kala matahari terik seperti ini. Tapi, bukan ke hutan lah tujuan itu. Kami terus berjalan sampai akhirnya kami berbelok kanan dan menemukan pemakaman di sebelah kiri. Berbeda dengan suasana pemakaman di perkampunganku di Jawa yang sarat akan stigma mistis, pemakaman di Desa Kilbutak ini justru sebaliknya. Lokasi yang sangat dekat dan berdampingan dengan kampung sama sekali tidak meninggalkan aroma mistis. Justru, aku rasa orang-orang di kampung merasa senang karena keluarganya yang sudah berpulang lebih dahulu kepada muasalnya tetap terasa dekat dengan mereka.

Kami terus berjalan melewati kompleks pusara itu sampai akhirnya menemukan sebuah para-para (tempat duduk) di belakang rumah salah satu warga. Terlihat ada beberapa perempuan dan lelaki mengamati kami. Aku meminta izin kepada mereka untuk sebentar meminjam para-para itu.

Angin pesisir menyentuh kulit kami yang sedikit berkeringat karena perjalanan dari sekolah. Dalam beberapa detik, pandangan kami semua tertuju pada hamparan lukisan alam yang berada tepat di depan. Sejauh pandangan, pasir putih terbentang dari ujung kanan sampai ke ujung kiri. Air surut kala itu mampu membuat bongkahan-bongkahan terumbu karang dapat terlihat jelas. Di antaranya, rumput laut terhampar bak semak-semak yang tumbuh tak beraturan di pekarangan kosong belakang rumah.

Kelas Pantai, kiranya itulah sebutan yang biasa ku gunakan untuk merujuk pada aktivitas luar ruangan yang biasa kami lakukan di pantai. Selain Kelas Pantai, ada juga Kelas Hutan. Kapan-kapan akan ku ceritakan tentang keseruan belajar di rimba belakang sekolah itu.

--

Bahasa Inggris, mata pelajaran hari ini yang akan anak-anak pelajari. Bahasa yang digunakan sebagai lingua franca yang aku harap nantinya bisa mereka gunakan untuk belajar lebih jauh tentang dunia dan seisinya. Bahasa yang akan mengantarkan mereka melewati batas-batas kontinental, mengumpulkan berbagai ilmu, lalu kembali pulang dengan segala kerendahan hati untuk membangun negeri. Kiranya terumbu karang dan bintang laut di sana mendengar harapanku dan mengaminkannya.

Anak-anak kelas 6 belum pernah belajar Bahasa Inggris sebelumnya di sekolah. Mungkin sedikit-sedikit mereka belajar lewat percakapan sederhana antara mereka dengan internet atau pun dengan orang dewasa yang cukup mahir dan mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka yang ajaib.

Mereka mengeluarkan buku tulis dan pena dari genggaman tangan mereka, beberapa mengeluarkannya dari dalam saku celana merah yang panjangnya sudah semakin menjauhi lutut karena tinggi badan mereka yang semakin menjulang. Seperti biasa, mereka menuliskan nama mata pelajaran dan tanggal pada hari itu sebelum mencatat materi. Beberapa dari mereka nampak menggoyang-goyangkan pena untuk memastikan aliran tinta pena bisa mengalir lancar, bahkan beberapa yang lain membuka penutupnya untuk mengeluarkan pipa pena lalu meniupnya. Aku jadi teringat ketika dulu aku masih bersekolah di bangku SD, aku pun melakukan hal demikian. Sungguh mengesankan betapa kami tidak pernah mendapatkan guru yang sama, tetapi yang kami lakukan persis.

Aku mengeluarkan beberapa kertas HVS yang sudah ku potong kecil-kecil. Padanya, sudah ku gambar beberapa benda dengan sederhana, serta nama-nama mereka dalam bahasa Inggris. Di balik masing-masing kertas, sudah ku tuliskan artinya dalam bahasa Indonesia. Aku menunjukkan kertas-kertas itu satu per satu pada mereka. Pertama, aku menunjukkan gambar dan kosakata bahasa Inggris. Aku meminta mereka menebak arti dari kata tersebut. Beberapa dari mereka menebak dengan melihat gambar, beberapa lagi menebak dengan mengatakan apa saja yang terlintas pada pikirannya saat itu. Ada pula beberapa gambar yang tidak terlalu dapat mereka pahami karena sengaja aku buat demikian. Aku coba memberikan mereka petunjuk dengan meminta mereka melihat sekeliling mereka. Ya, kosakata yang kala itu mereka pelajari adalah tentang alam dan laut.

Tentu saja, setelah selesai menebak aku meminta masing-masing dari mereka untuk mencatat kosakata-kosakata tersebut. Bukan apa, meskipun mereka masih kecil dan mungkin saja otak mereka masih lebih segar daripada aku yang sudah hampir memasuki kepala 3, tetap saja mereka perlu memastikan bahwa ingatan mereka akan tetap ada di sana karena dibantu oleh catatan-catatan kecil yang mereka tuliskan di buku mereka yang sedikit lusuh karena terlalu sering dilipat atau digunakan sebagai kipas. Selain itu, aku percaya bahwa proses mencatat merupakan sebuah hal yang penting bagi sistem motorik mereka, memastikan bahwa tangan dan jari mereka tetap luwes menuliskan huruf-huruf yang tersusun menjadi kata.

Setelah selesai mencatat, aku berikan waktu sepuluh menit untuk masing-masing mereka mengingat semua kosakata yang sudah dipelajari. Tak jarang, beberapa dari mereka bertanya lagi untuk memastikan apa yang mereka tuliskan sudah tepat. Tak jarang pula aku menegur beberapa yang lain karena terlalu banyak melamun atau bahkan mengganggu temannya yang lain dengan gurauan yang sebenarnya juga membuatku ingin tertawa.

Aku melihat jam di tanganku untuk memastikan bahwa waktu sepuluh menit benar-benar sudah habis. Setelahnya, aku membagi mereka ke dalam dua kelompok. Masing-masing kelompok bertugas untuk memasangkan kosakata bahasa Inggris dengan artinya. Tidak terlalu penting siapa yang mempunyai jawaban benar paling banyak, tetapi yang terpenting adalah bagaimana mereka bisa bekerjasama satu sama lain. Memahami ketidaktahuan orang lain dan memberikan pemahaman kepada mereka selayaknya tutor sebaya.

Permainan dimulai. Sebelumnya, aku meminta mereka untuk melepaskan sepatu. Aku ingin kaki-kaki mereka yang mungil bersentuhan dengan alam. Sentuhan yang mampu membawa mereka ke dalam kemesraan dengan semesta dan membuat mereka lebih menyayangi ciptaan-Nya. Meskipun setiap hari mereka melakukan hal itu, tetapi kali ini dengan situasi yang berbeda—situasi bersekolah.

Anak-anak nampak sangat bersemangat memasangkan satu kertas dengan kertas yang lain. Tak jarang kertas-kertas yang disusun di pasir itu terbang terbawa angin dan mereka terpaksa harus berlari mengejarnya sebelum angin membawanya ke kubangan air garam. Tak jarang, mereka menggaruk-garuk kepala tanda kebingungan yang mendera. Sesekali, satu anak menegur anak lain yang nampak salah memasangkan kosakata bahasa Inggris dengan artinya. Keceriaan yang terpahat dalam wajah mereka membuat hati siapa saja orang dewasa yang melihatnya menjadi sejuk dan secara tak sadar menciptakan simpul senyum. Keceriaan yang mengisyaratkan tentang keingintahuan juga semangat dan harapan tentang masa depan. Keceriaan yang menjelaskan tentang pengetahuan yang tak akan habis mereka tadah dalam setiap pertemuan-pertemuan dengan alam.

--

Maha Guru Alam dan seisinya, berterima kasihlah manusia padanya karena telah memberikan begitu banyak pembelajaran. Belajar di dalam gedung-gedung kelas dengan berbagai fasilitas mutakhir memang baik, tetapi bersentuhan langsung dengan alam tak kalah apik. Melebur menjadi satu dengannya, merasakannya dalam setiap nafas, pandang, sentuh, dan aroma yang terserap ke dalam rusuk sampai ke dalam pikiran. Lewat harmonisasi yang tercipta antara kehidupan dengannya, manusia mampu untuk terus belajar memahami. Memahami alam yang selayaknya seperti memahami kehidupan.


Cerita Lainnya

Lihat Semua