Papua Tetap Indonesia

Arif Lukman Hakim 13 September 2011

“Pak guru, mari berangkat,” suara bapak angkatku sambil menggendong tas besar. Sore ini, 16 Agustus 2011 kami sekeluarga akan pergi ke pusat distrik untuk melaksanakan upacara bendera. Kami berangkat ke pusat distrik untuk memenuhi undangan Kepala Distrik, karena bapak angkatku adalah Kepala Kampung, jadi wajib hukumnya datang ke sana.

Jangankan menuju pusat distrik, berhubungan dengan kampung sebelah saja harus menyeberang lautan. Jadi sore ini, kami sekeluarga pun menyeberang lautan sekitar 1 jam, memenuhi panggilan kepala distrik, dan panggilan ibu pertiwi untuk memperingati hari kemerdekaan RI.

Selama 1 jam perjalanan laut inilah aku menikmati keramahan Kepulauan Karas. Kepulauan ini terkenal dengan istilah “3 pulau 6 kampung”, karena ada 3 pulau yang dihuni oleh penduduk di 6 kampung, di samping pulau-pulau kecil lainnya.

Matahari terlihat terpencar sinarnya karena awan yang melintang di depannya. Cahayanya terlihat ramah terpantul di atas permukaan laut yang kaya sumberdaya di bawahnya. Garis pantai berpasir putih mulai terlihat, sebentar lagi masuk kampung Malakuli, di mana pusat distrik berada.

Kedatangan kami ternyata telah disambut oleh sunset yang tersenyum hangat di bibir pantai. Inilah “daratan”, kata warga kampungku. Tanah yang kuinjak inilah tanah yang terhubung dengan pulau besar bernama Papua.

Kami langsung singgah di rumah Hasna, anak pertama bapak angkatku yang juga adik angkatku. Dia melanjutkan ke tingkat SMP, dan harus hidup berbeda pulau dengan orang tuanya. Tempat tinggal Hasna adalah rumah panggung yang berdiri tepat di bibir pantai. Rumahnya beratap seng, berdinding dan beralas papan, di samping rumahnya diteduhi pohon kelapa, dan di bawahnya adalah pantai pasir putih yang ujungnya menyatu dengan air laut Papua.

Hasna hidup di rumah mungil ini dengan 3 orang temannya dari Kampung Tarak yang sama-sama sekolah di pusat distrik. Bapak yang dulu membeli rumah ini seharga Rp 700.000,- sejak dua tahun lalu, betul-betul perhatian yang nyata untuk pendidikan anak-anaknya.

Bedug telah terdengar, saatnya berbuka puasa. Petang itu di rumah mungil Hasna yang masih bercahayakan pelita, kami menyantap hidangan berbuka. Tetap nikmat dan hidmat rasanya.

Situasi malam di rumah Hasna sangat eksotis, dan seperti inilah bayanganku sebelum berangkat sebagai Pengajar Muda. Kali ini aku benar-benar mengalaminya. Aku duduk di atas rumah papan, ditemani temaram cahaya bulan, mendengar bisikan angin, dan menatap air laut yang sedang “meti besar” -istilah untuk air laut yang sedang surut dan pantainya akan terlihat sangat luas.

Kawan, sebenarnya perasaan senang yang awalnya menghinggapiku malam itu. Namun, perasaan itu lamat-lamat berubah menjadi keterharuan. Aku betul-betul terharu dengan keluarga baruku. Mereka rela menyeberang lautan, hanya untuk mengangkat hormat kepada bendera kebanggaan. Kemudian Hasna dan teman-teman, rela hidup keseharian di pulau yang berbeda dengan orang tuanya dan hanya bercahayakan pelita, untuk mengejar mimpinya, bersekolah! Kini Indonesia telah 66 tahun merdeka, dengan keterbatasan apapun, kami berusaha berkumpul untuk merayakannya.

Pagi harinya, aku sempat menekan dada melihat bapak angkatku. Inilah kali pertama beliau mengenakan pakaian dinasnya. Gagah, betul-betul layak menjadi kapten kapal besar! Setelah melangsungkan ritual adat, bapak kemudian berjalan menuju lapangan upacara bersama beberapa saudara.

Detik-detik proklamasi telah mendekat. Suara Pak Ayuba yang membacakan teks proklamasi mulai menggema.

Kami bangsa Indonesia, menyatakan dengan ini kemerdekaannya.

Dadaku serasa meledak mendengar kata-kata yang dulu diucapkan Bung Karno itu.

Bangsaku, selamat merayakan hari lahirmu! Bangunlah negeriku! Nyalakan sejuta pelita untuk kaummu! Kami siap mendaki pegunungan atau menyeberang lautan untukmu! Kami akan tetap bangga padamu!

17 Agustus 2011, Distrik Karas, Kab. Fakfak, Papua Barat, INDONESIA!

foto-foto saat perayaan HUT RI ke-66 ada di sini.


Cerita Lainnya

Lihat Semua