Konspirasi Keluargaku di Papua

Arif Lukman Hakim 10 Oktober 2011

Pagi ini seperti biasa, di balik ruang tamu rumah berbatako ini kutiup pelita yang masih hangat mengeluarkan cahaya dari sumbunya. Lalu kubuka tirai jendela kamar gelapku mengintip pagi. Kemudian kulirik sinar matahari yang masih tersipu malu di balik kerumunan awan. September abu-abu, aku menjemputmu di pangkuan angka 16 untukku. Tepat hari Jumat, hari penuh berkah, semoga keberkahan juga melimpah untuk seperempat abad usiaku.

Suara anak-anak lamat-lamat sudah terbesit di telinga. Mereka pasti sedang berjalan menuju medan juang, bangunan yang senantiasa tersenyum di balik rerimbunan pohon dan di garis batas pantai Kampung Tarak. Dua buah ruang yang anggun yang mereka sebut Sekolah Dasar, penuh kebijakan dan tatapan hangat menjamu semangat anak-anak di bumi Kepulauan Karas.

Anak-anak ini bagai magnet kerinduan bagiku, dengan keluguan mereka yang selalu mencuri perhatianku, termasuk pagi ini. Keceriaan tanpa jeda yang murni terus melingkar di raut muka generasi masa depan Papua ini.

Mereka tanpa peduli kisruh berita korupsi, fluktuasi ekonomi, atau polemik politik. Laut, hutan, pantai, berburu ikan, memetik pala, bakar pisang, tendang bola, adalah dunia mereka, dunia istimewa yang sulit didapat di hingar bingar kota-kota. Hari ini juga aku menjemput mereka, menemani seorang guru yang berpeluh keringat menggoreskan kapur menuliskan aksara.

“My family”, begitulah materi yang tertulis di pelajaran Bahasa Inggris, menjadi pembuka pagi ini. mereka tetap berbinar mendengar, megeja, membaca, dan menulis kata-kata yang baru didengar. Mother. Father. Son. Daughter. Uncle. Aunt. Sister. Brother. Grandmother. Grandfather. Kubolak-balik huruf untuk memicu ingatan mereka, 15 menit saja mereka berebut maju mengayunkan jemari di papan tulis, “Beta nomor satu itu!”, Rahim Patur mencoba mendesak di antara Andi Baruan, Ruslan, Muhammad, Kartini, dan lainnya.

Ummm, hari ini spesial untukku, tetapi tidak untuk mereka. Jangankan mengingat hari lahirku, hari lahir sendiri saja mungkin mereka tidak menyisipkan di pikirannya. Akhirnya kucoba membagi kertas kecil, berinisiatif untuk merangkum keluh kesah mereka. “Pak guru minta kalian tulis apapun yang kalian rasakan selama belajar dengan pak guru. Jangan lupa, tambahkan harapan atau keinginan kalian selama dengan pak guru ke depannya”.

 

Satu persatu mulai mengumpulkan kertas kecil yang telah kubagikan. Kertas kecil itu telah terisi berbagai huruf yang berarti dalam bagiku, keluh kesah mereka selama belajar dengan guru pertama yang ada di sekolah yang berasal dari Jawa. Pelan-pelan senyumku tersimpul membaca tulisan-tulisan mereka. “Tidak apa-apa nak, aku tidak ingin kejutan mewah untukku di hari ini. aku hanya ingin dengar suara hati kecil kalian”, kata batinku.

*

Matahari telah condong ke arah barat, tiba-tiba sore itu bapak angkatku mengajakku ke laut untuk memancing bersama. Akhirnya bapak, aku, dan Dedi, tiga laki-laki dengan jarak umur berbeda meluncur di atas pok-pok biru kebanggaan Bapak. Di balik pulau inilah hampir semua pulau di Kepulauan Karas terlihat jelas. Mulai dari Pulau Karas, Pulau Faukia, Pulau Tuberwasak, Pulau Semai, dan Pulau besar bernama Papua. Sore ini teduh, ombak hanya berdesir santai tanpa suara deburnya. Matahari juga sangat berbaik hati menyembunyikan gairahnya di balik awan. Seraya menunggu senja, tali pancing yang kubuang tertarik kencang, dua ekor ikan komo sebesar siku orang dewasa kutarik naik ke atas perahu, mengawali keceriaan bersama keluarga angkatku.

 

 

  •  

     

     

     

  • Dedi, di atas perahu. Di atas beningnya air laut perahu melaju
  •  

     

     

    “Itu ada ikan lagi pak guru, kita putar perahu sudah”, bapak mengatur formasi bak nahkoda perang. Perhatianku bukan pada ikan yang melompat ke udara pada pergantian formasi ini, tetapi pada burung camar yang dengan eloknya meliuk kemudian mengapung di atas air garam. Lalu dengan sigapnya mereka berpindah ke tempat berkumpulnya ikan, mengepakkan sayap ringannya di atas permukaan laut. Cantik sekali hidup burung ini.

    Senja kian temaram. Ranum sinar matahari semakin terpendar di atas lautan. “Kitong pulang sudah, hampir maghrib Pak guru”, seru bapak yang kuikuti dengan menarik tali pancing.

     

     

    “Bapak pelan-pelan! Saya mau lihat karang-karang di bawah ini dulu, hehe”, aku merajuk. Segera bapak menurunkan gas mesin 5,5 PK itu dan menunjukkan kekayaan kampungnya. “Mau loncat?”, bapak mengerti mauku. “Iyo bapak, tara kuat lai melihat di bawah ini”, sambil aku menunjuk ke bawah laut kemudian membuka kaosku.

    Byurrr! Badanku sudah tercelup sepenuhnya di air laut Karas ini. Segera kutenggelamkan seluruh bagian kepalaku, berfokus pada apa yang ada di bawah badanku. Barisan karang, alga, dan ikan hias, terlukis penuh pesona di bawah sana. Kugerakkan kakiku mencoba menelusuri keindahan yang tersembunyi di bawah laut pulauku. Subhanallah, apa yang harus kuucapkan atas hadiah untuk mataku ini, Tuhan? Manfish, ikan biru, ikan badut, dan pawai ikan-ikan lainnya menyapaku, seolah meniup lilin di hari ulang tahunku di bawah laut ini. Oh, Gusti Pangeranku, rupanya doa yang orang-orang panjatkan telah Kau titipkan di sebagian masa tugasku di sini.

    “Sudah?”, bapak menanyaiku yang sedang mencoba menaiki perahu. “Subhanallah, tara bisa bilang apa-apa Bapak”, aku membalas senyuman bapak. Perahu kembali melaju ke arah tanjung. “Itu ada tataruga, penyu, pak guru!”, bapak menunjukkan jari telunjuknya ke bawah.

    Batinku berontak, “Hai kakek laut, sudah berkonspirasi dengan bapak angkatku kah? Atau sudah bikin kesepakatan dengan alam Papua kalau hari ini aku akan mengunjungimu?”, aku hanya tersenyum tanpa sebab melihat sapaan si mbah dari purba itu.

    “Bapak, tepat hari ini saya berumur 25 tahun, pas hari ini. inilah kado spesial untuk saya. Dan saya dapatkan di keluarga baru saya di Papua”, aku melirik bapak. “O iya kah? Ah, kalau begitu pas sudah. Anggap saja ikan hasil pancing tadi, karang-karang, dan penyu itu kado buat pak guru”, kata bapak.

    Tak ada ucapan selamat, tak ada adegan tiup lilin, apalagi kado yang bergelimang untuk hari ini. tetapi tatapan penuh keluguan dari murid-muridku, tindakan penuh ketulusan dari seluruh anggota rumah Pak Amir Sudak, keramahan masyarakat, dan pelukan mesra dari alam Kampung Tarak, adalah konspirasi terindah untukku. Mereka semualah keluargaku, menemaniku melewati titipan usia hingga seperempat abad menghirup udara di dunia.

    _____________________

    16 September 2011. Daratan dan lautan Kampung Tarak, Distrik Karas, Fakfak, Papua Barat. 

    Foto-foto Kampung Tarak ada di sini.


    Cerita Lainnya

    Lihat Semua