Pulang Oh Pulang...

ANNISA NOVITA DEWI 11 September 2012

Nyaris tak bisa pulang ke desa dan melakukan persiapan pelaksanaan upacara 'spesial 17 Agustus' membuat saya cukup menyadari bahwa pulang ke desa Nanga Lauk ini merupakan sebuah perjuangan keras yang memerlukan banyak pengorbanan. Pulang ke desa Nanga Lauk memang bukan perkara gampang seperti di kota-kota lain yang mungkin cukup mengandalkan transportasi umum dan selalu ada setiap saat. Transportasi ke desa Nanga Lauk terdiri dari 2 alternatif.

Alternatif pertama menggunakan angkutan oplet (bus kecil) melalui jalan darat kemudian jalan air (menggunakan motor tempel -perahu yang dipasang mesin 3-15 Pk). Oplet ini hanya ada satu trayek, yaitu dari Putussibau-Nanga Nyabau atau sebaliknya Nanga Nyabau-Putussibau, kami menyebutnya 'oplet Bang Ad'. Jika tidak ada oplet ini ada oplet lain yang menjadi 'cadangannya' tetapi cukup sulit untuk mendapatkan oplet ini. Oleh karena itu jika tidak ada oplet bang Ad, orang desa bilang "Matiii......kulak" (mati kamu). Selain itu, oplet ini hanya datang antara jam 10-11 siang. Jadi, jika ingin berangkat dari desa ke kota Putussibau harus pagi-pagi benar antara jam 6-7 pagi, karena perjalanan lewat jalur sungai memakan waktu kira-kira 3 jam (dengan menggunakan tempel 3,3 Pk dan kondisi air surut) . Jika berangkat terlalu siang akibatnya terlambat sampai di Nanga Nyabau, oplet pun sudah tak ada lagi, resikonya harus menginap semalam di Nanga Nyabau untuk menunggu oplet datang besoknya. Sementara desa Nanga Nyabau merupakan desa yang seluruh penduduknya adalah suku Dayak dan tidak ada muslim disana, otomatis kebudayaannya pun praktis bertolak belakang dengan kami. Maka dari itu, jarang penduduk desa kami, Nanga Lauk, yang mau menginap di tempat itu.

Alternatif kedua menggunakan perahu speed melalui jalan air, transit di kecamatan Embaloh Hilir kemudian lanjut lagi dengan motor tempel. Biaya menggunakan perahu speed cukup besar, sekitar 80-100 ribu sekali jalan, tergantung kondisi sungai surut atau pasang. Setelah sampai di kecamatan, Embaloh Hilir, untuk pulang ke desa pun biasanya harus menunggu ada warga desa yang pulang ke desa. Padahal akhir-akhir ini sangat jarang warga desa yang pergi ke kecamatan. Begitu pula untuk pergi ke kota kabupaten Putussibau melalui Embaloh Hilir, harus menunggu ada warga yang punya keperluan di kecamatan, setelah transit di kecamatan pun, untuk melanjutkan perjalanan ke Putussibau harus menunggu sampai besok paginya untuk naik perahu speed, karena perahu speed hanya ada pagi-pagi hari sekali, sekitar jam 6 pagi.

Baiklaaaaah, saya pun masih cukup menyadari ketika nyaris tak bisa pulang ke desa itu, betapa orang-orang desa yang mengalami kehidupan transportasi semacam ini benar-benar memerlukan pengorbanan yang tidak sesederhana orang pikirkan. Dengan keterbatasan transportasi itu, mereka jadi memiliki bermacam ketrampilan dan kelebihan dibanding lainnya. Ketrampilan mengelola waktu ketika bepergian, ketrampilan negosiasi untuk kendaraan, ketrampilan menghadapi situasi sulit di perairan, dan juga ketrampilan untuk bersabar menunggu kendaraan umum datang.

Keringat 'hangat' setetes demi setetes jatuh dari dahi dan saya tak peduli lagi jika harus mengusapnya dengan menggunakan ujung baju saya yang sudah lusuh dan kotor karena duduk di tanah. Saya cemas berat, menanti kehadiran orang yang akan saya tumpangi perahunya. Itam Siti. Demikian orang desa memanggilnya. Pagi tadi saya memang sengaja tidak ikut menumpang mobil carteran mereka karena saya pikir akan sangat merepotkan jika saya menumpang sementara mereka membawa cukup banyak barang dagangan. Karena itulah akhirnya saya putuskan terima tawaran kawan-kawan untuk mengantar sampai Nanga Nyabau, dan menunggu cukup lama di sana. Sempat ada kabar bahwa mereka tak jadi berangkat pulang ke desa karena tidak ada sama sekali angkutan umum yang bisa ditumpangi ke Nanga Nyabau. Owayai, baiklah, kalaupun harus bermalam disana, tak masalah bagi saya karena dulu saat pertama kali datang sudah pernah bermalam di tempat seorang guru dari Jawa. Tapi masalahnya, besok pagi adalah Upacara Bendera 17 Agustus yang sangat saya dan anak-anak Nanga Lauk nantikan. Tidak mungkin melewatkannya begitu saja. Bagaimanapun saya harus pulaaaaaaaaang !!! Hampir sesak dada ketika memikirkan jika benar-benar tak bisa pulang ke desa. Akhirnya saya ambil keputusan untuk menghubungi orang desa dan meminta untuk dijemput sore itu juga. Tapi itu pun bukan perkara mudah, di desa sedang sepi orang karena mereka semua pergi ke danau menangkap ikan. Buntu, tak ada jalan lagi.......

Tetapi saat saya sudah pasrah dan berusaha menata hati, datanglah mobil pick up hitam dengan banyak barang. Itulah rombongan Itam Siti, yang sangat saya 'dambakan' kedatangannya. Alhamdulillah, secercah harapan muncul, saya pasti pulaaaaaaang sore ini !!!

Hemm, ternyata saya pun terlalu cepat menyimpulkan sesuatu. Cobaan belum selesai. Saya belum pasti pulang sore ini. Ternyata perahu mereka karam saat dimuati barang-barang yang amat berat dan banyak jumlahnya. Otomatis, waktu yang tinggal sebentar lagi gelap pun menjadi semakin tipis waktu, karena digunakan untuk mengurus 'karam'nya perahu. Tak apa lah, masih ada perahu lain yang bisa digunakan untuk mengangkut kami pulang.

Baiklah, pukul setengah lima tepat kami akhirnya berangkat dengan resiko, kami pasti lama di jalan karena sebentar lagi hari gelap. Mesin sudah menyala dan siap berangkat, tetapi belum sampai 5 menit menyala, mesin mati dan susah dinyalakan lagi. Sempurna lah 'kisah' kami sore itu. Terpaksa kami lebih sering mendayung daripada menyalakan mesin tempel, jadi bisa dibayangkan betapa 'payah'nya kondisi perjalanan pulang kami saat itu.  Hari sudah sangat malam saat kami baru menempuh separuh perjalanan dengan kondisi mesin tempel mati-hidup, mati-hidup. Pukul 7 lebih akhirnya perahu kami sampai dan disana sudah banyak orang menyambut mengharap-harap cemas. Tak heran jika saat datang, semua orang yang ada disitu saya peluk satu-satu sebagai tanda terima kasih bahwa saya telah pulang dengan selamat.

Memang orang-orang Kapuas Hulu ini luar biasa 'sabarnya'. Bagaimana tidak, dengan macam transportasi yang mereka hadapi seperti itu, mereka masih bisa bertahan untuk terus melanjutkan hidup dengan bergerak kemanapun dengan transportasi se'minim' itu. Tak heran jika anak-anak di desa Nanga Lauk ini kadang sangat takjub dengan' benda-benda' yang ada di kota macam jalan raya, motor, mobil, lampu merah, dsb. Karena memang benda-benda itu tak pernah mereka temui di desa mereka yang nyaris tak punya 'daratan'. Kemana kaki melangkah jika bukan 'gertak' yang dipijak, pasti air sungai yang diampu telapak kaki. Yang dinamakan 'tanah' sebenar-benarnya hanya tanah lapang dekat sekolah dan kebun-kebun karet milik orang desa.

Hari ini, para perangkat desa memperjuangkan nasib transportasi desa Nanga Lauk di kantor bupati Kapuas Hulu. Mereka siap dengan proposal di tangan untuk mengajukan pembangunan jalan raya dari Nanga Lauk-Nanga Nyabau. Subhanallah semoga dimudahkan. Akan sangat maju desa ini jika ada jalan raya. Potensi ikan dan karetnya akan sangat berkembang pesat jika ada jalan raya. Bukan hanya masalah potensi sumber daya alam, tetapi juga untuk anak-anak yang perlu melebarkan wawasan ke kota. Mereka perlu tahu banyak hal tentang kota dan sekitarnya. Mereka bisa maju jika jalan terbuka lebar. Ada secercah harapan untuk kehidupan mereka supaya lebih baik. Mereka pasti bisa jika mereka mau.

Putussibau, 10 September 2012


Cerita Lainnya

Lihat Semua