maafin ibu guru yaaa?
Anna Mahsusoh 3 Maret 2015“Sukoco” nama yang unik bagiku, murid kelas lima, hitam manis dengan rambut yang sedikit keriting. ia selalu duduk di sayap kiri paling belakang saat di kelas. Dia anak yang rajin, pintar, tulisannya bagus, berbakat dalam menggambar dan sepak bola, sopan, termasuk deretan anak yang pertama menyapa jika ada aku. Kami cukup dekat selama ini, menurutku.
Rabu itu aku sedang sakit kepala. Aku tidak menyiapkan dengan baik amunisi amunisi untuk mengajar padahal akan masuk kelas yang butuh extra amunisi, kelas yang tidak bisa dikendalikan hanya dengan pembelajaran metode klasik, kelas yang riuh dan banyak celoteh jika pembelajaran tak menarik bagi mereka, yaa kelas 5.
Menjadi lumrah sebagian tidak mengerjakan PR, aku tidak marah. Sebagian besar tidak menghafalkan tugas, aq juga tidak marah. Aku hanya mencatat nilai-nilai yang ada dan Semuanya tiba-tiba ke depan meja guru, pun aku hanya meminta mereka duduk di tempatnya kembali dengan lembut.
Kelas riuh, ada yang lari kesana, ada yang menyanyi di ujung, ada yang begini dan begitu, ku biarkan sejenak memberi kelegaan mereka berekspresi. Aku tidak mampu mengendalikan mereka jika tetap duduk, maka aku berdiri, memberikan signal untuk diam dan memperhatikan, menggunakan tunjukan acak untuk praktik, memberikan apresiasi unik bagi yang mau dan berhasil. Yess taktik bekerja.
Sampai aku tunjukan acakku sampai ke “sukoco” yang tidak memperhatikan. Hari itu ia tidak mengerjakan PR, tidak menghafal, duduk mengganggu temannya, sudah menolak instruksi yg kuberikan sebelumnya dan tidak bersedia ditunjuk. Aku minta 3 kali dan tetap tidak bersedia, masih aku minta dengan halus tetapi dia sedikit meninggikan suara untuk menolak. Aku marah tetapi tetap dengan nada rendah menggunakan sedikit ancaman, “yasudah, yang tidak bersedia belajar silahkan belajar diluar, boleh keluar”. Ternyata dia malah meninggi. Dan aku membalas dengan bentakan lebih tinggi. Sukoco menangis dan berjalan keluar, wajahnya penuh kecewa. Aku tidak pernah melakukannya sebelumnya. Semua anak terdiam dan aku sadar, aku telah membentak.
Aku tahan sukoco untuk tidak keluar, ku pegang erat tanggannya dan bilang lirih, “tidak boleh melakukan itu,pun pada guru sama seperti pada orang tua”. Ia kembali duduk. “untuk yang lain juga” ku sampaikan dengan suara keras tapi mulai gemetar, aku merasa sakit atas bentakan yang ku lakukan tadi, ingin menangis karena marahku sendiri. “kalau dipanggil orang tua atau guru tidak boleh menolak, tidak boleh membentak orang tua dan guru” aq melanjutkan kalimat dan aku duduk kembali. Menarik nafas sejenak kemudian teringat, 1 yanng buat masalah tidak boleh menghentikan proses belajar. Maka aq ambil spidol dan menulis materi di papan, membiarkan mereka belajar dengan menulis.
Esok harinya, aku tahu Sukoco takut padaku, aku tidak ada jam di kelasnya hari ini. Aku titip pesan ke wali kelasnya untuk sukoco agar menemuiku setelah jam pulang sekolah. Dia datang padaku, aku masih bingung apa yang akan aku bicarakan. Aku ambil stok permen lolipop di mejaku, sambil menunduk kuberikan lolipop padanya dengan bilang “maaf yaa?”. Dia memeluk erat dan menangis. “Ibu tahu kamu anak baik, maafin ibu yaa?”. Dia mengangguk dan terisak.
Sejak saat itu, dipelajaran pelajaran setelahnya, Sukoco selalu mengerjakan tugas dengan maksimal. Dia selalu bertanya jika tidak mengerti. Dia mengerjakan tahap demi tahap jika dia tidak paham. Dan dia menunjukan usaha untuk mau belajar.
Bukankah guru juga manusia yang kadang punya salah pada muridnya? Bukankah sebelum kita mengajar kita harus mencintainya? Karena kita bisa mencintai tanpa mendidik tapi kita tidak bisa mendidik tanpa mencintai.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda