Ketika Sang Guru Kecil Sakit

Anita 16 Januari 2012

Hari pertama usai liburan Semester saya mulai dengan langkah kaki penuh semangat menuju sekolah. Walaupun semalam kurang tidur karena menyiapkan bahan ajar, namun rasa kantuk tak mampu menghalangi saya untuk segera bertemu dengan jagoan-jagoan kecil saya. I miss them a lot. Padahal tidak cukup seminggu saya meninggalkan desa ini.

Seperti dugaan saya, hari pertama sekolah guru-guru yang lain masih meliburkan diri. Murid-murid yang sudah tiba di sekolah tak cukup dihitung jari, repotnya lagi kunci sekolah entah ada di siapa. Setelah tanya sana sini, akhirnya saya mendapatkan kunci kantor di rumah komite dan baru memulai apel pagi ketika jam sudah menunjukkan pukul 08.00 pagi. Ketika apel saya menatap satu-satu anak didik saya. Baru separuhnya saja yang datang ke sekolah, bahkan kebanyakan mereka datang sangat terlambat. Tapi tidak apa-apa, melihat kembali muka-muka polos itu saya sudah bahagia masih bisa dipertemukan dengan mereka.

Ketika saya hendak memulai apel pagi itu, seorang siswa berlari menuju barisan sambil berteriak pada saya,” Ibu, gurcil sakit buk!”. Gurcil atau guru kecil merupakan sebutan saya untuk siswa yang mampu menjadi guru sebaya bagi temannya. Gurcil yang dia maksud tak lain tak bukan adalah siswa saya kelas 5, namanya Surono. Saya lantas bertanya, “ Surono sakit apa?”. “Dong pe mata sakit buk!”, begitu jawab anak kecil tadi kepada saya.

Awalnya saya tidak terlalu ambil pusing, mungkin besok Surono bisa masuk sekolah. Sorenya, saya beronda keliling desa. Kangen dengan suasana desa yang saya tinggal selama liburan sambil mengingatkan anak- anak yang bolos untuk kembali masuk sekolah. Di jembatan papan, saya bertemu Surono. Ditemani dua orang temannya yang lain, ia berjalan dengan mata agak terpicing. Saya perhatikan kedua mata Surono sangat merah. Ketika saya tanya matanya kenapa, Surono menjelaskan jika kena cahaya, matanya sakit terkadang harus menutupi kedua matanya dengan tangannya. Saya menasehati Surono agar berobat ke Puskesmas. Dia menjawab, “ Kapan buk?”. “ Besok sudah,” perintah saya. Dia membalas, “Saya buk”.

Esoknya saya harus berangkat ke kabupaten karena ada urusan di Dinas pendidikan. Rabu kembali saya masuk sekolah, Surono tetap tidak masuk. Kata teman-temannya, matanya masih sakit. Sorenya saya bertemu Surono lagi dengan teman-temannya. Dia masih berjalan dengan mata terpicing. Ketika saya tanya apakah dia sudah ke Puskesmas, dia jawab belum. Saya tersadar, siapa yang akan membawa Surono ke rumah sakit sementara orang tuanya memang tidak tinggal di desa ini. Kedua orang tuanya ada di Sorong dan sudah lama ia tinggal dengan neneknya.

Kenapa sakitnya Surono begitu menarik untuk diceritakan? Anak ini memiliki kisah yang selalu membuat saya terharu. Entah kenapa ada anak seperti dia. Sejak kecil dia sudah tinggal dengan neneknya. Ibunya orang Jawa tapi ketika ditanya Jawa mana, ia menjawab tidak tahu. Jangan Anda pikir bahwa anak yang ditinggal oleh orang tuanya, akan menjadi anak yang ‘tidak terurus’, nakal dan bodoh. Tingkahnya begitu jenaka dan riang, layaknya anak - anak kebanyakan. Dia selalu berteman baik dengan semua temannya. Hampir tiga bulan saya mengajarnya, tidak pernah saya mendengar dia membuat ulah. Dan hebatnya lagi, dia selalu mendapat peringkat di kelasnya. Semester lalu dia mendapat peringkat II. Dia pintar menyanyi, berjoged dan suka bercanda. Dan dia akan senang hati, jika saya memintanya mengajarkan murid lain yang belum mengerti. Ketika saya memberikannya gelar sebagai ‘guru kecil’ dia senang bukan kepalang. Setiap dia ingin mengajari temannya, dia selalu bilang, “Sini Gurcil kasih ajar”.

Salah satu murid Surono adalah Dina, siswa kelas 6 yang memang agak lambat memahami Matematika. Sekarang Dina juga menjadi gurcil baca untuk teman sekelasnya. Ketika saya ceritakan itu kepada Surono, tanpa pikir panjang dia berkata, “ Kalau begitu kita angkat dia jadi asisten gurcil, Buk!”. Ah, darimana dia dapat logika yang begitu menarik seperti itu. Karena muridnya sudah bisa menjadi gurcil bagi murid lain, Surono menjadikan Dina sebagai asisten gurcil. Saya tertawa keras mendengar jawabannya. Begitulah. Setiap kali mendengar jernih tawanya, jenakanya dia saat berkata-kata, apalagi jika tersenyum matanya akan menghilang (saya sebut sebagai : eye smile), saya yakin siapapun yang mengenal Surono akan langsung terpaut hatinya.

Awalnya saya ingin malam itu juga membawa Surono berobat ke dokter PTT di desa sebelah, desa Paisimbaos. Letaknya sekitar 2 km dari desa saya. Namun, saya tidak berhasil mengontak sang dokter. Tidak ada sinyal. Surono juga malam itu sudah bersiap untuk dibawa berobat, namun saya menjanjikan untuk pergi keesokan harinya saja. Dari pagi hingga sekolah berakhir, dia selalu bertanya, “Kapan torang ke Puskesmas, Bu?”. “ Sebentar,” kata saya, “ nanti sepulang sekolah”. Teman-temannya yang lain langsung menimpali, “Kita ikut ya buk”, “ Kita lagi buk!”, “ Kita juga buk!”. Begitulah mereka saling berebut untuk ikut diajak menemani Surono ke Puskesmas.

Pulang sekolah, kami satu rombongan langsung menuju Puskesmas untuk berobat. Teman-teman Surono membantunya berjalan. Dia masih berjalan dengan mata terpicing dan setengah ditutupi. Sesampai di Puskesmas, saya berhasil menemui dokter Tina, dokter yang tugas praktek disana. Dia memberikan sebotol obat tetes setelah memeriksa kondisi mata Surono. Saat itu juga, di Puskesmas saya langsung memakaikan obat tetes tersebut di mata Surono. Teman-temannya yang lain ikut antusias melihat Surono memakai obat tetes. Dua tetes untuk setiap mata.  Saya meminta teman-temannya mendoakan Surono agar setelah memakai obat, mata Surono cepat pulih. Mereka langsung berteriak, “ Amiiinnnn!!”. Bidan di Puskesmas juga turut berkomentar, “Ini yang sakit satu orang, yang mengantar satu kampung”. Hanya tawa lepas yang terdengar setelah itu.


Cerita Lainnya

Lihat Semua