info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

A Long Road to Bajo

Anita 6 November 2011

Tiga jam mengangkasa bersama Garuda mengantarkan sepuluh pengajar muda angkatan III ke Bandara Sam Ratulangi, Manado. Setelah transit sekitar 25 menit, maskapai melanjutkan perjalanan ke Ternate selama 45 menit. Sebuah bandara kecil yang diramaikan oleh lalu lalang para porter yang sibuk mengangkat bagasi penumpang yang baru turun dari pesawat.

Panas udara Ternate langsung menyengat kami yang baru saja turun dari burung besi ber-AC. Dua orang pengajar muda Angkatan I, Ajib dan Dika sudah menunggu kami di depan bandara. Barang-barang kami yang berlimpah, penuh mengisi satu mobil Avanza. Kami berdua belas menaiki dua mobil lainnya. Malamnya jam 21.30, kami pun melanjutkan perjalanan dengan kapal penumpang menuju Labuha, ibukota Halmahera Selatan. Perjalanan laut selama 8 jam itu adalah perjalanan laut terlama yang pernah saya alami. Namun, saking lelahnya, saya pun tidur dengan lelap di atas kapal. Tanpa sekalipun terbangun.

Pagi sekitar jam 5 kapal sudah merapat di dermaga. Angkot- angkot bewarna biru telah  parkir di sekitar dermaga untuk menjemput para penumpang yang baru turun.  Sekilas kota kecil ini tampak seperti kota kelahiran saya Pariaman, jalan-jalanya masih sepi. Rumah tidak terlalu padat. Tapi setelah orientasi medan bersama para pengajar muda angkatan I, saya baru melihat betapa minimnya sarana dan prasarana kehidupan disini. SPBU yang ada hanya satu. Semua serba mahal disini. Makanan yang rata-rata di atas 15 ribu. Bahkan di salah satu warung yang tidak terlalu besar, nasi goreng dihargai dengan uang 20 ribu yang mungkin jika di Bandung cukup dengan harga 8 ribu. What a price! Apalagi membeli perlengkapan ATK dan bahan ajar, saya sungguh tidak ‘tega’ untuk menyebutkan harganya.

Oke, itu sekilas tentang ibukota Kabupaten. Besok paginya perjalanan dilanjutkan ke desa penempatan masing-masing pengajar muda. Rombongan dibagi menjadi dua kelompok karena memang pelabuhan tempat kami berangkat berbeda. Saya dan 5 orang teman PM 3 yang masing-masing didampingi PM 1 berangkat dari pelabuhan Kupal sementara yang lainnya berangkat dari pelabuhan Babang. Kami berangkat dengan speed boat yang cukup besar sehingga dapat menampung kami berempat belas dengan kepala desa Sawang Akar dan pengajar muda dari Panamboang. Rute yang kami lalui Pulau Mandioli yang paling jauh lanjut ke Botang Lomang baru kembali ke Bacan.

Dua jam menuju Mandioli, perjalanan yang menyegarkan mata namun melelahkan fisik. Menyegarkan karena berjalan di perairan jernih yang dikelilingi pulau-pulau  yang hijau. Melelahkan karena tubuh yang terus terombang-ambing mengikuti laju speed-boat. Bahkan setiap kali kami telah sampai di darat, saya masih merasakan efek goyangan di atas laut.

Satu persatu teman PM Mandioli telah diantarkan ke desanya masing-masing, mulai dari Waya, Indong dan Pelita. Dalam satu setengah jam ke depan, kami akan sampai di  Kecamatan Kepulauan Botang Lomang, pulau dimana desa saya, Bajo dan desa Sawang Akar berada. Speed boat kami semakin ringan dan lengang. Dan saya pun semakin tegang. Tidak lama lagi saya akan sampai di desa tempat saya akan hidup satu tahun ke depan. Seperti apa desa Bajo? Bagaimana keluarga piara saya? Bagaimana dengan anak-anak disana? Bisakah mereka menerima saya menggantikan PM sebelumnya? Pertanyaan-pertanyaan itu berkecamuk di kepala saya.

Dugeun...dugeun... 

Sampailah kami sampai di desa Sawang Akar. Anak- anak telah berbaris rapi di dermaga menyambut kedatangan pengajar muda Ady. Selesai mengantarkan Ady, beberapa menit lagi kami akan sampai di Bajo. Hufff... dada saya sesak oleh rasa tegang. Saya menoleh kepada Aji, pengajar muda yang saya gantikan, mencari dukungan. Aji dengan tenang berkata, “Santai saja”. All iz well. Begitulah doa saya dalam hati.

Akhirnya saya dan rombongan tiba di desa Bajo. Speed boat kami merapat di sebuah jembatan papan kecil yang menghubungkan beberapa rumah terapung. Beberapa anak telah berdiri di jembatan membantu kami mengangkut barang-barang. Berjalan beberapa langkah kami pun sampai di rumah keluarga piara saya. Rumah tersebut hanya berjarak 5 langkah dari bibir pantai.  Tepat di kiri depannya berdiri dengan gagah sebuah masjid. Ketika kami sampai di rumah, mama piara saya sedang memasak kue di dapur. Persiapan untuk hari raya Idul Adha pada esok hari.

Di luar terlihat lengang. Waktu saat itu menunjukkan sekitar jam setengah dua siang. Tak berapa lama, datanglah seorang anak mengatakan bahwa mereka akan menjemput ibu guru baru jam 2 siang. Ups, ternyata speed boat kami sampai lebih awal sehingga acara penyambutan pun tak jadi dilaksanakan. Saya kecewa? Tidak sama sekali. Dari awal saya memang tidak mengharapkan acara penyambutan apapun.

Oke, selamat datang Anita. Selamat berpertualang setahun ke depan!!!


Cerita Lainnya

Lihat Semua