Maaf, Tidaklah Mudah Diucapkan

Anies Wahyu Nurmayanti 29 September 2012

Minggu siang ini 23 September 2012, saya datang di Sekolah Minggu. Guru Sekolah Minggu mengajar dengan penuh kasih sayang dan semangat. Anak-anak sangat antusias mendengar cerita yang dibacakan oleh kak Raden dan kak Eti. Anakusia Sekolah Minggu sebagian besar siswa sekolah dasar. Namun, ada juga siswa SMP. Suasana di dalam gereja sangat ramai dengan jargon sukacita. Saya sangat menikmati kegembiraan anak-anak dan berada di tengah-tengah mereka belajar ilmu agama dan lagu.

Satu jam telah berlalu, saya menjumpai anak-anak menegur sapa dan memperkenalkan signal. Anak-anak sangat senang bertepuk tangan sehingga saya mengajak mereka untuk bertepuk satu kali bila saya bilang merah, tepuk dua kali jika kuning, dan tepuk tiga kali jika hijau. Anak-anak semakin antusias dan disinilah saya mulai masuk dalam alpha zone mereka mengajak mereka untuk belajar  membaca buku di perpustakaan  rumah. Ya, jawab mereka serentak. Nanti malam katong mau belajar dengan ibu.

Di luar pintu gereja ada sekumpulan anak yang asyik bermain. Saya mendekati mereka dan mengobrol santai. Lama-lama saya bertanya mengapa kalian jarang pergi belajar? Kalian belajarnya timbul tenggelam seperti kapal di laut. Tiba-tiba datanglah Eti guru Sekolah Minggu dan mengatakan kepada saya: Ibu, anak-anak tidak pergi belajar karena mereka ada keluhan dan masalah. Seraya Eti menyuruh anak-anak untuk mengemukakan keluhan dan masalah  mereka. Eti memancing agar mereka mau berbicara. Selama ini mereka takut mengatakan langsung kepada saya. Satu anak mulai berbicara disambung anak-anak lainnya.

Keluhan anak-anak dalam belajar

Kamsiupai.... Rakyat jelata..... Mereka dengan lancar mengatakan kata-kata itu setiap hari terpengaruh sinetron di televisi. Dalam kelompok belajar mereka punya kelompok-kelompok sendiri. Entah darimana bisa terbentuk geng di desaku. Ada geng bawah, geng atas, geng Tasya, geng Vivi. Mereka saling mengeluarkan keluhan-keluhan dalam belajar menyangkut kenyamanan. Antar geng ini saling beradu pendapat menyampaikan masalah-masalah mereka. Untungnya, dengan saya datang Sekolah Minggu saya mengetahui apa sebab anak-anak timbul tenggelam belajar. Apa yang saya pikirkan ternyata bisa terjawab disini.

Tiga bulan disini sudah ada geng anak-anak dalam belajar maupun di sekolah. Kebetulan saya tinggal di dekat SD yang bukan tempat saya mengajar. Anak-anak yang tinggal di sekitar SD tersebut setiap malam datang belajar di perpustakaan rumah. 

Berpelukan meminta maaf

Minggu malamnya, anak-anak datang belajar. Selesai berdoa saya bertanya kepada mereka apakah masih ada masalah-masalah yang mengganggu kenyamanan belajar mereka? Kemudian saya menjelaskan keluhan-keluhan yang disampaikan beberapa anak dan mencari solusi bersama. Akhirnya sudah dibuat keputusan bersama mereka akan saling memaafkan dan berpelukan. Masalah ataupun keluhan-keluhan sudah beres. Saya menekankan kepada mereka pentingnya berteman banyak tidak usah ada geng. Kita sama-sama ciptaan Tuhan jangan lagi ada geng atau kata-kata kamsiupai, rakyat jelata yang dapat menyinggung teman yang lain.

Kita semua membuat lingkaran. Satu per satu saling bermaafan dan berpelukan bergantian. Ada rasa haru dalam benak hatiku bercampur rasa bahagia melihat anak-anak bisa rukun dan mau memaafkan orang lain. Awalnya sangat sulit mengajak mereka untuk berjabat tangan memaafkan teman. Dengan kata-kata "kita adalah keluarga" serta mengajak mereka untuk merenungkan bagaimana kalau kita ini satu keluarga? Apa yang bisa kita lakukan? Kewajiban kita sebagai keuarga apa saja? Hal itulah yang mengetuk hati mereka bisa menaklukkan hati yang keras. Mereka terbiasa dengan kekerasan verbal maupun fisik sehingga untuk bilang kata maaf sangat berat. Seiring berjalannya waktu mereka bisa diarahkan untuk memaafkan orang lain.

*****

Kemajuan teknologi kadang membawa pengaruh buruk. Apalagi di desa televisi sudah ada walaupun dengan parabola. Acara televisi yang ditonton adalah sinetron karena hanya bisa menangkap signal beberapa stasiun televisi. Orang tua pun sering menonton sinetron. Siang dan sore hari mereka bekerja. Anak-anak pun ada yang pikul air, jaga burung di sawah, gembala domba, jaga adiknya, memasak, mencari kayu bakar, dan lain-lain. Hampir setiap sore saya jarang menemui mereka bermain. Usia-usia mereka adalah untuk bermain tetapi mereka sudah dipaksakan bekerja. Waktu untuk bermain hanya di sekolah.


Cerita Lainnya

Lihat Semua