#6 Kelas 5b

agung cahya nugraha 5 Oktober 2012

 

Saya sangat bersyukur di beri kelas 5b. Walau kami belajar siang hari-karena lokal kelas yang kurang-tapi anak-anak tidak pernah surut semangatnya. Ada beberaenjadi pa anak istimewa yang menarik hati dan membuat saya jatuh cinta pada kelas ini.

“Pak nanti setelah istirahat masih ngajar kami pak?” kata Sopian. Anak kelasku yang suaranya paling lantang. Sopian berumur 15 tahun, terlalu tua untuk jadi kelas 5, sebenarnya. Tapi tak apa lah, melihat semangatnya untuk sekolah membuat saya lebih bersemangat mengajar.

Sopian harusnya sudah SMP, namun karena pernah beberapa tahun dia pulang ke dusun, sehingga ketika ia kembali ke desa dan menerusan sekolah lagi, dia masih harus berada di kelas 4. Dengan kemampuan membaca yang terbata-bata, sopian selalu sekolah dengan penuh semangat. Dia paling sering berteriak, “pak Ini cam (macam) mano ngerjainnya pak, sarooo (sulit) paak, ” katanya polos, atau “pak, sini pak,” sambil melambaikan tangan dengan wajah penuh kebingungan. Maka saya akan mendekati kursinya lalu menjelaskan apa yang dia tanyakan. Padahal satu menit sebelumnya saya sudah menjelaskan instruksinya di depan kelas dengan jelas sambil bertanya, “sudah faham?” dan sopian dan seluruh kelas mengangguk pasti.

“Pak, cak (seperti) ini pak?” ini adalah ungkapan khas Dandy. Anak sipit berkulit hitam sang wakil kelas. Pintar tapi pemalu. Ia memiliki kemampuan memimpin yang baik. Kalau saya sedang ada perlu keluar kelas, saya selalu menitipkan kelas pada Dandy. Sebagai tambahan informasi, dandy naksir Pirda, sang ketua kelas. Kalau saya ledek, ia akan tersenyum malu. “Aiii pak ni, malu pak.” Katanya.

“Dan, pak mau ke kantor. Titip kelas ya, jangan ada yang keluar.” Dandi akan menoleh, kemudian mengangguk pasti. “Iya pak,” maka benar saja tak ada anak yang keluar kelas, lega rasanya kalau ada Dandy di kelas.  

Pada awal-awal pertama saya datang mengajar, dandy adalah biang kerok, sang monster kelas. Geng  anak yang selalu ribut saat saya menjelaskan. Keadaan kelas saat awal-awal seperti neraka bagi saya. Saya sampai stress dan merasa enggan masuk kelas. Bayangkan saja kelas yang kacau, saya tidak di anggap sebagai guru, anak laki-laki berantem, mengganggu yang perempuan, nyeletuk yang aneh-aneh. Bahkan pernah saya kena tendang anak kelas saya sendiri.

Kalau gurunya sudah enggan, bagaimana muridnya? Tapi untunglah murid saya selalu kelebihan semangat, padahal kami masuk siang, jam-jam rawan mengantuk. Tapi mereka nampak tak pernah kehabisan tenaga untuk membuat onar kelas.

Tapi kemarin, setelah bermain bola kaki—saya menyempatkan diri bermain sepak bola bareng anak-anak saat jam istirahat di hari jumat, selain agar dekat dengan anak-anak, saya juga butuh olah raga agar bugar. Kenapa hari jumat? karena di hari jumat, baju yang saya kenakan sudah layak cuci. Maklum lapangannya bertabur kotoran kambing, sayang kalau awal minggu main bola, baju masih bersih. Tetangga melepas bebas kambing ternaknya—saya duduk dekat lonceng di tangga depan kantor dengan baju basah oleh keringat. Tiba-tiba dandy berjalan melintasi lapangan lalu mendekati saya.

“Nih buat pak,” katanya polos sambil menyerahkan sebotol air minum mineral ke tangan saya.

Saya tidak bisa berkata apa-apa, speechless. Hanya terima kasih yang mampu keluar. Anak ini, padahal sebelumnya nakalnya minta ampun. Saya mencoba mencari tahu di benak saya apa yang pernah saya lakukan sehingga anak ini bisa menjadi baik hati seperti ini pada saya.

Hal terakhir yang saya ingat adalah, saya pernah melerai Dandy hingga dia terjermbab ke belakang karena dia begoco (berkelahi) dengan temannya di kelas, di depan saya. Waktu itu saya sudah mau meledak, sebenarnya saya hanya mendorongnya ke samping, tapi mungkin karena pijakan kaki Dandy sedang tidak kokoh, ia jatuh telentang.   

Saya benar-benar malu, diajarkan untuk tidak mendendam dan membalas perlakuan jelek dengan perlakuan yang baik oleh seorang anak kelas 5 SD.

Dandy, mudah-mudahan kamu bisa menjadi anak yang dibanggakan orang tua dan guru mu, amiin. 


Cerita Lainnya

Lihat Semua