Sensasi Guru Mata Pelajaran

Anggun Piputri Sasongko 28 Februari 2013

 

“Janganlah sibuk mencari yang sempurna, jika yang sederhana membuat bahagia”

 

Harapan akan menjadi penolong ketika kita mampu mengelolanya dengan baik. Namun harapan tidak dapat berdiri sendiri, ia membutuhkan keyakinan. Selama kurang lebih 7 bulan di Rote Ndao saya belajar tentang manajeman harapan. Mulai dari level masyarakat (host fam) sampai kabupaten. Saat saya resmi dilantik sebagai Pengajar Muda angkatan IV di Situ Lembang oleh Pak Anies Baswedan. Saya punya harapan dan keyakinan. Tentunya harapan dan keyakinan yang berbeda ketika saya belum menjadi Pengajar Muda yang akan ditempatkan di Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur. Sebagai seorang Pengajar Muda yang adalah seorang pengajar/guru, saya mengidamkan satu kelas di SD penempatan saya, yaitu SD Inpres Oeoko, satu kelas yang bisa saya ampu. Kelas berapapun, rendah maupun tinggi. Dari laporan Pengajar Muda sebelum saya, Agung. Ia mengampu di kelas 4 (empat). Sebelum pengumuman rombongan belajar ditentukan. Saya punya harapan dan sudah membayangkan akan seperti apa nantinya kelas saya.

Hari itu, kalau tidak salah tanggal 27 Juni 2012. Kepala sekolah mengadakan rapat tahun ajaran baru. Salah satu agendanya adalah menentukan rombongan belajar. Saya tahu bahwa sekolah ini masih kekurangan 1 guru kelas. Maka saya yakin, saya akan mendapat kesempatan itu. Kepala sekolah mulai membacakan dari kelas 6 sampai kelas 1 untuk guru yang bakal jadi wali kelas. Sayapun deg-degan. Namun harapan pun sirna, karena dari kelas 6 sampai kelas 1 tidak disembutkan nama saya. “Wah apa iya PM sudah tidak lagi diperlukan di sekolah ini, atau jangan-jangan saya salah sekolah” Banyak asumsi yang muncul dari benak saya saat itu. Pada akhirnya, kepala sekolah pun menanyakan “Ibu Anggun bisa mengajar apa?” makin bingung kan saya. Dengan ketegasan saya bilang kepada kepala sekolah, bahwa saya bisa dan siap mengajar seluruh mata pelajaran SD. Tetapi apa boleh buat, kepala sekolah meugaskan saya sebagai guru mata pelajaran Bahasa Inggris dari kelas 1 sampai 6, yang mana di sekolah saya ini rombongan belajarnya ada 8 kelas (kelas 1 dan 2 pararel)

Tentunya kekecewaan itu ada. Kadang terus membayangi hari-hari saya. Parahnya, jadi gemes sendiri. Ketika jam mengajar saya kosong, justru sering melihat guru-guru yang di kelas tidak mengajar, mereka sibuk dengan administrasi kelas. Murid dibiarkan. Namun seiring berjalannya waktu, saya kemudian menemukan banyak sekali sisi positifnya. Pertama, sebagai guru mata pelajaran saya mempunyai kesempatan luar biasa untuk mengenal seluruh siswa-siswi SDI Oeoko yang jumlahnya 174, dari kelas 1 sampai 6. Kedua, kesabaran. Yaitu dalam hal treatment. Ketika saya mengajar di kelas 1 akan berbeda cara dan pendekatan ketika saya mengajar di kelas 3, dan seterusnnya. Saya belajar karakter dan sifat mereka. Ketiga, kemampuan siswa. Saya tahu apa minat dan bakat siswa di SD ini, mana yang jagoan menggambar, jagoan olah raga, jagoan menyanyi dan lainnya. Atau saya pun jadi tahu dan dapat membantu siswa yang masih kekurangan dalam Calsitung (Baca Tulis Hitung). Keempat, bukan hanya kelas tinggi tetapi kelas rendah juga mendapat kesempatan belajar Bahasa Inggris. Kelima, so many things to do. Dan lebih dari pada itu semua saya bisa merasakan menjadi bagian keluarga kecil mereka. Kehangatan dan kebersamaan.

Seperti di kelas 1. Setiap saya masuk kelas mereka, bagai seorang idola. Mereka riuh bertepuk tangan tersenyum lebar menyambut saya dengan teriakan “yeess yeee Ibu Anggun”. Kalau di kelas 2, saat saya berjalan menuju kelas mereka, dari kejauhan para jagoan kecil ini berlarian masuk kelas sambil memandangi saya penuh senyum ‘Ibu Anggun su datang e”, katanya. Lain lagi di kelas 3, begitu kaki saya menapak di kelas ini, dengan lantang ketua kelas memberi aba-aba “stand up, good morning Miss Anggun”. Kadang mereka berebut untuk mempimpin mengucapkannya. Di kelas 4, sudah pasti tiga anggota geng, Nando, Jekson dan Jermias. Bergantian datang menjemput saya di ruang guru dan memaksa membawakan barang yang saya bawa. Kelas 5 yang merupakan kelas tinggi, lebih lucu lagi. Jadwal saya mengajar kelas 5 itu sesudah jam mengajar di kelas 3. Di jedah dengan istirahat. Pada waktu jam istirahat itulah, murid-murid kelas 5 menyambangi saya yang sedang beres-beres di kelas 3, katanya “Ibu di kelas 5 ko ini habis?”. Sedangkan untuk kelas 6. Mereka malah memperlihatkan wajah malunya. Atau saat saya meminta mereka menuliskan kesan hari ini sebelum mulai pelajaran Bahasa Inggris, tidak banyak dari mereka menulis “beta senang Miss Anggun mengajar di kelas 6, kasih kami pelajaran”. Namun tidak juga dipungkiri sulitnya saya menghadapi tingkah laku mereka yang “betingkah”.

Kekecewaan mendatangkan kebahagiaan yang saya rasakan hari demi hari. Mereka bisa membuat saya marah tetapi disaat yang sama pula mereka membuat saya lebih banyak tersenyum. Tidak ada yang membuat luluh selain senyum tulus di wajah manis mutiara selatan Indonesia. Yang kadang terlihat malu-malu.

Beruntungnya saya sebagai guru mata pelajaran. Memiliki keberagaman rasa dan cerita. Mendapatkan banyak pelajaran berharga. Yang semuanya membuat hidup saya selama satu tahun ini menjadi lebih berwarna.

Terima kasih, Nak. Kehormatan bagi Ibu bisa hadir di kehidupan kalian yang singkat ini. Terima kasih karena telah membuat Ibu memahami bahwa bahagia itu sederhana.

 

 


Cerita Lainnya

Lihat Semua