Mutiara Terpendam di Pagar Selatan Nusantara

Anggun Piputri Sasongko 12 Juli 2013

Rivon Ndun. Kadang teman-temannya memanggilnya Ivon. Namun aku terbiasa memanggilnya dengan Rivon. Jagoan berumur 11 tahun saat ini duduk di kelas 5 SD Inpres Oeoko. Aku tidak pernah lupa saat pertama kali bertemu dengannya. Rivon selalu memberikan senyum manis paling manis yang pernah kudapatkan. Selalu punya nada khas ketika memanggilku “Ibu Anggun”. Apapun rasanya hari ini, setiap kali aku berjumpa dengannya tidak pernah senyum itu hilang dari padaku. Seolah-olah itulah senyum yang hanya Rivon berikan khusus untuk aku.

Setiap pelajaran Bahasa Inggris hari Kamis di kelas 5. Rivon tiada lupa menghampiriku di kelas 3 (kelas dimana sebelum mengajar di kelas 5). Menawarkan dirinya membawa barang milikku sambil bertanya “Ibu di kelas 5 ko?”. Selama pelajaran berlangsung Rivon selalu menunjukkan sikap terbaiknya, tidak pernah melawan atau bahkan membuat ulah.

Hampir sudah 2 minggu aku merasa kehilangan Rivon. Senyum tulus untuk Ibu Anggun tidak lagi kulihat dari wajahnya. ‘Kemana Rivon?” tanyaku kepada siswa-siswi kelas 5. “Sakit, Ibu. Kemarin beta lihat ada diantar ke Pustu” Pustu adalah singkatan dari Puskesmas Pembantu. Namun biasanya jarang sekali ada bidan atau tenaga medis yang ada disana bahkan sering kali tutup. “Sakit apa?” tanyaku lagi. “Son tahu Ibu” anak-anak serempak menjawab. Setelah pelajaran habis, anak-anak mengahmpiriku. “Ibu, katong pi jenguk Rivon dirumah saja nanti sore” . Aku langsung mengangguk iya. Bersama anak-anak aku menjenguk Rivon. Berjalan kaki kerumahnya selama 30 menit. Dua minggu aku tidak melihatnya. Rivon terlihat sangat kurus. Sakit perut katanya. Karena tidak berjumpa mamaknya dirumah. Aku bersama anak-anak menghampiri ke kebun. Mamak cerita kalau Rivon kena magh sudah parah. Sempat masuk rumah sakit namun hanya sehari. Mamak juga bilang kalau akan diobati dengan obat tradisional saja. Makanya Rivon dibawa pulang.

Matahari terlihat bersinar lebih cerah dari biasanya. Ternyata benar. Pagi-pagi sampai di sekolah aku sudah disambut dengan senyum yang hanya untukku saja itu. Rivon sudah masuk sekolah. Hari ini ternyata adalah jadwal praktek Mulok. Anak-anak membuat ketrampilan yang berasal dari bahan lokal. Kelas 5 mendapat tugas membuat sebuah kerajinan tangan berupa kalung dan gelang.

Pelajaran pertama sudah berakhir. Jam menunjukkan waktu istirahat pertama. Biasanya aku ikut bermain dengan anak-anak. Ketika baru saja keluar dari kelas, Rivon sudah menghampiriku. Membawa hasil karyanya. “Untuk Ibu ko?” kataku, “Ya kalau Ibu mau ambil sa”. Seutas kalung bambu berwarna cokelat kehitaman dengan hiasan salib. Betapapun sangat menarik perhatianku. Aku beranjak menghampiri kelas 5. Melihat mereka sedang bekerja membuat prakarya itu. Bambu kecil, senar dan biji-bijian adalah beberapa bahan dasarnya. Memang milik Rivon yang paling menarik. “Ibu mau saya buatkan lagi? Yang tadi kurang bagus” Tidak juga saya menolaknya, “Bagaimana kalau Ibu kerumahmu nanti sore?”.

Jam 3 matahari masih terang benderang. Rivon menjemputku dirumah, lalu kami sama-sama pergi. “Bambunya kita cari dulu di hutan Ibu”. Ditemani Aldo, Irvan dan Iwan kami bergegas ke hutan. Setelah mendapatkan beberapa bambu. Langsung saat itu juga Rivon mulai memotongnya kecil-kecil. Ukurannya harus sama. Sungguh teliti sekali Rivon membuatnya. Kegiatan mencari dan memotong bambu ini cukup lama. Tak sadar senja mulai menjemput. “Kita lanjut besok sa Ibu, ini su mau gelap”.

Keesokan harinya saya kembali menghampiri Rivon dirumah. Kali ini kami tidak perlu kehutan lagi, ternyata Rivon sudah memotong habis bambu itu. Aku juga membawa senar yang dimintanya kemarin. Bambu yang sudah dipotong-potongnya itu tidak begitu saja langsung rivon susun pada senar. Diajaknya aku ke dapur. Ya, bambu-bambu kecil itu akan terlebih dahulu digoreng diatas tungku dengan minyak kelapa. Prosesnya tidak lama ketika sudah mulai kehitaman maka sudah bisa diangkat. Menunggu sampai dingin barulah bambu-bambu dirangkainya pada senar dan menghasilkan sebuah kalung yang indah.

Kepolosannya yang ketika ku tanya cita-citanya ingin jadi apa. Sederhana tetapi memiliki sejuta makna “Beta ingin jadi petani sa, Ibu. Supaya keluarga tidak kelaparan, ada beras dan sayur untuk makan”. Kalau sore hari ketika sedang musim tanam dan ku ajak bermain bola, Rivon selalu bilang “Beta ada kerja dulu di kebun”.  Pagar elok di depan kelas 5 adalah juga hasil kemahirannya dalam berkebun. Mengkombinasikan menjadi warna-warni yang indah juga adalah keahlinya.

Sepeti sebuah mutiara. Menyala ditengah keredupan. Rivon tidak pandai matematika atau pengetahuan alam. Tetapi lewat  tangan mungilnya ia mampu memberi kesejukan dari apa yang tidak hanya dilihat oleh mata namun juga hati.


Cerita Lainnya

Lihat Semua