Pole Pak Guru

Anggiat Jogi Simamora 18 Februari 2012

Pagi itu tidak hujan, bahkan tampak cerah, ada sisa embun pagi hari ditambah jalanan yang sedikit masih licin pengaruh hujan kemarin siang. Perjalanan kami dimulai pukul 6.15 WITA. Naik motor sekitar 1,5 km dilanjutkan dengan berjalan kaki karena saat itu kondisi jalanan yang kurang memungkinkan dilalui dengan motor, sekitar 3,5 km menuju SD di dusun sebelah yang masih bagian dari desa saya. Bersama Pak Aziz sang kepala sekolah di dusun itu saya pergi, dia tinggal di dusun yang sama dengan ku, Manyamba induk. Tubuhnya jauh lebih pendek dan dari kecil dan pendek dariku dan sudah agak tua, sehingga ia tidak terbiasa membawa motor nya sampai ke SD itu.

Ini kali kedua saya pergi ke dusun itu, pertama kali sekitar dua setengah bulan lalu, ketika ikut bersama rombongan desa, beberapa orang siswa-siswa terpilih (*Karena memang saya memilih anak-anak dengan syarat tidak cengeng dan berfisik kuat), bersama dengan mahasiswa D3 program gizi dari Mamuju yang mengadakan survey awal di desa kami sebelum katanya Februari ini kemungkinan datang lagi untuk mengadakan praktek kuliah yang akan terjun langsung ke masyarakat.

Tidak terlalu banyak perbedaan yang terlihat di jalanan, jalan utama yang dilalui masih sama, liat, berbatu lepas dan banyak mendaki dan menurun, hanya rumput yang sedikit bertambah tinggi. Ada juga jalan pintas menuju dusun ini, mungkin jaraknya menjadi sekitar 2 km, melewati hutan dan kebun-kebun, mirip perjalanan caraka malam pelatihan kopassus di situ lembang yang kami lalui di minggu terakhir pelatihan kamp, ada sedikit tambahan longsor, sehingga membuat seekor kuda pun yang biasa melewatinya sudah sulit dan harus dialihkan melalui jalan utama.

Perbedaan saat ini hanya lah nuansa kebersamaan, kalau dulu bersama mahasiswa dan perangkat desa, sekarang diganti dengan kebersamaan dengan seorang sosok kepala sekolah yang sehari-harinya ke sekolah harus melalui jalan ini.

Belum genap 7.30 kami sudah sampai di sekolah itu dusun itu. Beberapa anak yang masih belum berangkat ke sekolah sempat berteriak“Pole Pak Guru” yang artinya “Pak guru datang...” segera bergegas ke rumah nya untuk berpakaian dan pergi ke sekolah. Memang dusun itu kecil dan agak terpusat. Seperti pengintai musuh saja pikirku, seperti penjaga pintu-pintu gerbang di atas menara kalau di film-film, melapor ke teman-temannya, dan bersiap-siap dengan sigap karena musuh datang. Ternyata mereka terbiasa mandi atau berpakaian setelah melihat ada guru yang datang, atau bahkan tidak mandi menuju ke sekolah.

Sempat juga bertemu dengan beberapa warga yang salah seorang  diantaranya adalah mantan kepala dusun, penjaga sekolah dan sekaligus komite sekolah di SD itu. Sepertinya berkat kearifan budaya lokal yaitu keramahan warga di daerah ini, kami sempat diundang ke rumah nya, sekedar untuk beristirahat dan minum segelas kopi.

Sekitar pukul delapan kami sampai di SD itu. SD Negeri No.49 inpres Ratte Tarring namanya. Siswanya tercatat 64 orang. Memang ini satu satunya sekolah yang sudah tersebut terpencil di kecamatan ini, dan satu sekolah lagi di desa lain diperkirakan juga sebagai sekolah terpencil. Ada informasi menyebutkan sekolah itu terpencil ada yang mengatakan semi terpencil.

Sekolah ini berjarak total sekitar 9 km dari jalan poros*), sekitar 4 km bisa dijangkau oleh orang yang baru belajar motor, 1,5 km yang lain jalanan masih baik, bercor, akan tetapi sedikit mendaki, sisa nya, 3,5 butuh sedikit keahlian untuk menyetir motor. Atau alternatif lain bisa dijangkau dengan berjalan kaki, ada juga ojek dengan ojek dengan biaya sekitar Rp.25.000,-.

Di sekolah ini ada 5 guru PNS selain kepala sekolah, 1 orang tidak mau lagi masuk sekolah selama kira-kira 2 tahun lalu, sehingga dia ditarik ke UPTD, tapi berkat bantuan kepala sekolah di SD ku, beliau berhasil dititipkan di SD ku. Satu orang lain lagi guru agama, perempuan, berasal dari desa lain, karena masalah kesehatan, beliau sering pingsan ketika harus berjalan kaki ke sekolah. Sering sekali dia harus menggunakan ojek untuk pulang-pergi ke sekolah untuk mencapai 3,5 km ini, Rp.50.000,-, harus dikeluarkannya kalau harus datang ke sekolah. Oleh karena ini kepala sekolahnya sudah mengusulkan agar si Ibu dimutasi ke sekolahku. Seorang lain, Ibu guru bersuku bangsa tana toraja, yang kadang menginap di dusun. Guru honor? Ada 5 orang, tapi mereka hanya diupahRp.100.000,- bulan, yang hanya cukup untuk ojek 2 hari pulang pergi. Bisa kah mereka diandalkan? Guru lain? Saya masih kurang tau, yang pasti sekolah akan kosong kalau hari hujan, atau kadang hanya ada seorang si Ibu bersuku bangsa Tana Toraja. Kasihan sekali anak-anak ini.

Sekolah nya tidak seperti sekolahku ditempatkan mengajar. Sekolahku sudah berlantai keramik berdinding tembok penuh. Dibanding fisik sekolah di kota? Bangungan fisik sekolahku jauh lebih bagus dari sebagian sekolah di kota. Siswa nya tercatat 210 orang. Di SD yang sedang kukunjungi ini ada 6 ruang kelas, singkat cerita hanya 3 digunakan sebagai ruang kelas, dimana kelas 1-2, 3-4, dan 5-6, masing masing ditempatkan dalam kelas yang sama, 2 kelas rusak berat, dan 1 kelas dijadikan kantor guru. Kantor guru ini sangat sederhana, berlantai semen yang sudah lepas dan berlobang-lobang, sehingga sudah berpasir.

Dibatasi oleh sebuah lemari buku ada meja kepala sekolah, masih berdiri tegak  bendera merah putih di dalamnya, ada juga sepatu kerja sebagai pengganti sepatu boot yang dipakai selama perjalanan, banyak peta juga di sini, peta Indonesia, Asia Tenggara, Eropa, dunia, dan masih banyak lagi. Ah, seandainya bapak kepala sekolahku mau membeli peta yang sudah kuajukan lebih dari 3 bulan lalu untuk dibeli, betapa mudah saya menjelaskan kepada murid-murid saya berasal dari daerah mana, dan bahkan ternyata sudah lebih lama lagi diajukan wali kelas 6 di sekolahku, tapi saat ini belum ada, dengan alasan gak punya dana.hehe. Padahal siswa di sekolahku ada 210 orang.

Di dalamnya cukup banyak terdapat buku dan sudah berusaha dikelompokkan oleh kepala sekolah, selain itu terdapat juga beberapa alat peraga yang guru-guru nya tidak mengerti menggunakannya. Sempat melihat bahwa sebelum pulang juga anak-anak bebas masuk ke dalam ruang ini, karena memang jadi berfungsi juga menjadi ruang perpustakaan, sepertinya mereka juga tidak takut kepada sang bapak kepala. Ada mereka yang sibuk mencari-cari buku, ada yang lainnya yang rajin membaca buku.

Sebuah ruang kelas sudah terisi oleh seorang pemuda dusun tampak berusia belasan tahun, dia baru lulus Madrasah Aliyah dan ada berencana untuk kuliah, sejak minggu ini dia diberikan kesempatan oleh bapak kepala sekolah untuk belajar sekaligus mengajar di sekolah itu. Ruang itu berisi siswa kelas 3 dan 4, jumlah mereka hanya 8 orang. Sayup-sayup kudengar dia membaca buku paket pelajaran, PKn kalau tidak salah, dengan sebatang rokok juga ada ditangannya. Dari cara nya mengajar tampak si guru ini memang dia tampak seperti yang diinstruksikan oleh sang kepsek, belajar.

Dua kelas lain tampak masih kosong, tidak ada satupun guru lain di sekolah ini. Bapak kepala sekolah masuk ke dalam kelas, begitu juga dengan ku, melihat mereka, dan tanpa ada rapat-rapat an, spontan saja saya akhirnya mengajar kelas 1 dan kelas 2, sedangkan si bapak kepala mengkordinir anak-anak membersihkan mesjid yang tidak jauh dari sekolah, karena memang hari jumat digunakannya untuk jumat bersih.

Terinspirasi dari cara mengajar si Mas Syaiful, tenaga pengajar di TK-SD Nizamia Andalusia yang menemani Bu Zahra dalam mengunjungi pengajar muda Majene minggu lalu, mengenai cara  mengajarkan menulis dan mengeja di anak kelas 1. Saya memperkenalkan nama saya dan meminta mereka menuliskannya, anak-anak kelas 2 sudah bisa melakukannya dengan baik, sedang kelas 1 hanya ada beberapa, mereka masih tampak pemalu, sedangkan kelas 2 sudah mulai aktif.

Secara kognitif anak-anak  di sekolah itu memang masih kurang dibandingkan anak-anak didikik ku di sekolah. Dan kukira anak-anakku sendiri tidak kalah dari SD-SD jalan poros Majene. Anak-anak kelas 3-6 di sekolah ini belum lancar berbahasa Indonesia, mungkin terbiasa dengan ajaran guru yang menggunakan bahasa mandar gunung, anak kelas 1 masih tampak malu-malu, sedangkan anak kelas 2 sudah mulai tampak percaya diri dalam berbicara dan bisa berbahasa Indonesia. Memang sejak 2 tahun lalu di sekolah ini bapak kepala memberikan kesempatan kepada seorang guru bersuku bangsa tana toraja untuk mengajar kelas 1, sehingga mau tidak mau, anak-anak di daerah ini dipaksa berbahasa Indonesia.

Beberapa anak kelas 2 bisa mengerajakan beberapa penjumlahan 3 angka. Mirna, bisa mengerjakan 4 soal dengan benar. Dia juga sudah lancar membaca. Saya berikan 2 soal yang apabila kedua satuannya dijumlahkan menjadi belasan misalnya, 247+438 = Kalau kedua satuaannya dijumlahkan akan menjadi 15. Dia satu satunya yang baru mengerti konsep nya, tapi ada karena sedikit kesilapan, sehingga dia salah 1 soal.

Murid di kelas mulai bertambah ketika anak anak kelas lain datang, saya mengajarkan sebuah lagu dan sebuah tepukan. Kuajarkan lagu tentang jari dan kaitannya tentang belajar,

Ini namanya jari apa?

Ini namanya jari Jempol?

Apa kata jari jempol sayang

kalau belajar jangan ngobrol

.............................

lagu ini sering dinyanyikan anak-anak TK di dusunku, TK yang sudah berdiri 8 tahun lalu. Kalau untuk anak dusun ini agak kesulitan dalam mengajarkan lagu nya,  karena mereka pun tidak banyak yang tau apa itu jari, dan jari apa saja yang ada. Maklum di dusun ini tidak ada TK dan bahasa Indonesia masih jarang digunakan. Dengan mudah kutempelkan tanganku di papan tulis, kujiplak, dan kutuliskan nama-nama jari itu, kutuliskan kaitannya dengan belajar mereka mulai bisa menyanyikannya. Betapa senang nya. Agak tersentuh juga karena ternyata anak-anak yang kutemui sekitar 2,5 bulan yang lalu masih mengingat namaku. Berapa terharunya...:D. Senang sekali bisa melihat mereka bergembira.

Terakhir tahu bahwa si Mirna adalah anak si penjaga sekolah yang menjamu kami makan siang sebelum sholat jumat. Si Mirna masuk ke dalam kamar, dari bawah gorden terlihat olehku dan bapak kepala sekolah dia sedang membaca buku, bapak kepala sekolah hanya berbisik kepadaku

 

“Lihat mi*), dia semangat belajar”,

“Saya lihat anak anak bersemangat sekali Pak hari ini, seandainya bisa Bapak ada di sini Pak”.

“Yah, seandainya saya ada di sini pak, saya akan berusaha mengajak mereka untuk punya cita-cita, bisa berbagi dengan mereka”.  Tampak memang dia menginginkanku ada di sekolah itu, dari sekian orang yang berbincang, tak ada yang mengatakan  sekolahku ditempatkan sekarang lebih membutuhkan bantuan daripada SD ini.

Seusai pelajaran anak-anak dengan sangat antusias mengajakku bermain bola. Kubilang saja ke mereka supaya lebih dahulu ke lapangan, sementara saya berbincang dengan bapak kepala sekolah, si pemuda dusun dan penjaga sekolah. Sekitar jam 10 pergi juga kelapangan, bermain bola dengan anak-anak kelas 2,3,4,5 dan 6 dibantu oleh si pemuda dusun yang juga mengajar di sekolah.  Ada kesempatan mencuri hati anak-anak itu...hehe. Yah, bermain bola merupakan kegiatan yang lazim kulakukan untuk memudahkan bersosialisasi dengan masyarakat dan anak-anak.

Seuasai bermain bola kami masih sempat ke kantor kepala sekolah, sempat saya kembali menunjukkan buku Sokola Rimba, hasil todonganku dari Kak Butet Manurung. Kutunjukkan buku itu kepada mereka dan kujelaskan ke mereka bahwa anak hutan pun bisa sekolah, bersemangat belajar. Jadi kukatakan “Semangat ko pe guru ye”, artinya “Semangat kau belajar ya!!”.

Selain itu kutanya juga ke anak kelas 3 dan 4 tentang presiden:

Siapa itu presiden kita? Ada yang tahu apa itu presiden?

Tidak ada yang tau, semua diam, sedikit mengangguk-angguk dengan dahi dikerutkan, tanda tak tahu.

Kutanya ada yang tau Mamuju itu apa? Berharap mereka tahu itu Ibukota Sulawesi Barat.

Kutanya Makassar, berharap mereka tahu apa itu Ibukota Sulawesi Selatan.

Kutanya cita-cita nya apa?

Tidak ada yang menjawab.

Kutanya apa yang membawa pesawat terbang, ada seorang dari 1 sekolah yang tahu itu pilot, kutanya siapa yang menjalankan kereta, yang mengendarai kapal. Tidak ada yang tahu. Mereka tahu yang kerjanya bawa motor, tukang ojek.

Banyak pertanyaan kuberikan, mereka belum tahu. Mereka sudah mempercayaiku, hanya berharap semoga ada kesempatan saya menjadi orang yang bercerita banyak kepada mereka tentang pertanyaan-pertanyaanku itu.

Dalam perjalanan saya bertanya kepada si Bapak kepala sekolah

“Pernah gak, Pak, merasa menyesal dan mengeluh ketika bapak harus berjalan di jalanan ini?”,

sedikit berfikir sebelum menjawab atau mungkin mencari jawaban yang agak berdiplomasi 

“Tidak pernah Pak, namanya juga tugas, siap ditempatkan dimana saja, tapi kadang bertanya, saya sudah tua, 50 tahun, kenapa saya yang ditempatkan di sini, sepertinya masih ada yang lebih muda”.

Perjalanan hari ini memang hari Jumat, rosterku di sekolah adalah agama dan matematika, aku sengaja datang ke sekolah ini karena aku bukan pengajar mata pelajaran agama, tapi guru kelas, sehingga mata pelajaran matematika kuberikan sore kemarin. Jam mengajarku di sekolah ini bahkan sudah jauh melebihi jam mengajar yang diberikan oleh yayasan, 18 jam pelajaran. Sebelum pergi sudah kuberitahu Pak kepala sekolah dan anak-anak ku di sekolah. Sepulang dari dusun itu, bercerita ke anak-anak ku, menunjukkan foto-foto dan bertanya kepada mereka.

“Seandainya diumpakan seperti pasien, sekolah kalian hanya sekolah yang sedikit batuk-batuk, tapi nakal tidak mau diobati, sedangkan sekolah mereka itu sudah sekolah yang sekarat mau mati dan ingin sekali diobati. Kalau kalian menjadi seorang dokter siapa yang pertama sekali kalian obati?”.

Kuyakinkan lagi mereka apakah mengerti pernyataanku dan pertanyaanku. Mereka mengerti  dan menjawab

“Ya, yang sekarat Pak Guru” kata mereka dengan nada yang yakin penuh percaya diri.

Saya setuju dengan jawaban cerdas dan jujur anak-anakku.....

 

Anggiat Jogi Simamora

Pak Guru Jogi mereka memanggilku.

Majene, 17 Februari 2012    

 

*Jalan poros = Jalan provinsi di sepanjang pantai Sulawesi.

*mi = kata pelengkap yang biasa digunakan di daerah Sulawesi Selatan dan Barat.


Cerita Lainnya

Lihat Semua