Tarak Aku Rindu
Angga Oktra Pria Fambudi 30 Juni 2015Akan tiba saat dimana kau rindu dengan teriakan mereka yang terkadang membuatmu sebal dikelas
Akan tiba saat dimana kau rindu dengan tangisan mereka saat mereka berkelahi dengan temannya
Akan tiba saat dimana kau rindu derap suara larian langkah mereka dilapangan sekolah karena telah bolos sekolah dan tidak sholat di masjid
Akan tiba saat dimana kau rindu celotehan mereka dikelas yang terkadang membuatmu sebal ketika pelajaran berlangsung
Akan tiba saat dimana kau rindu dengan suara salam dari mereka yang sengaja mengetuk pintu rumahmu demi membawakanmu lobster yang kau idamkan
Akan tiba saat dimana kau merindukan memancing sotong dengan mendayung sampan di tiap malam bulan purnama
Akan tiba saat dimana kau merindukan air kelapa segar yang merekapetik setiap sepulang sekolah dan les hanya untuk mengusir rasa lelah dan dahagamu
Aka tiba saat dimana kau merindukan perjuangan mencari tumpangan untuk kekota karena tidak ada kabar pasti kapan warga berangkat kekota
Aka tiba saat dimana kau merindukan kencangnya ombak lautan Karas yang terkadang membuat perahu yang kau tumpangi hampir terbalik ataupun terpanting naik turun ke atas
Aku masih teringat saat pertama kali aku datang ke Kampung Tarak. Waktu melihat kampungpenugasanku aku sempat berkata dalam hati “ Betah gak ya tinggal disini selama satu tahun”. Pikiran tersebut wajar sekali muncul karena kampungku adalah sebuah kepulauan terpisah yang tak terhubung dengan daratan manapun. Tak ada tempat pelarian dan aku harus siap dengan apapun yang datang padaku selama dikampung. Namun pikiran tersebut perlahan mulai berubah ketika aku menginjakkan kakiku dikampung. Seluruh lapisan masyarakat menyambutku dengan sangat hangat didermaga mulai dari orang tua sampai anak - anak.
Aku masih teringat saat memasuki suasana bulan Agustusdikampung. Aku mengantar anak – anak untuk mengikuti upacara hari kemerdekaan RIdi distrik sekaligus berpartisipasi dalam kegiatan lomba antar distrik. Satu kampung ikut dan bahan makanan yang kami bawa habis sehingga kami harus mencari lauk untuk makan kami selama beberapa hari kedepan. Sangat teringat jelas saat itu aku dan anak – anak saling berpencar membagi tim untuk mencari sayur kangkung di sungai dan sebagian ada yang menembak ikan bersama para orang dewasa. Saat selesai mencari bahan kamipun berkumpul untuk mengumpulkan hasil. Setelah kulihat hasilnya tak mencukupi untuk makan bersama.kamipun tertawa lebar – lebar sebagai tanda kami mensyukurinya. Kami makan seadanya namun terasa sangat nikmat karena kebersamaan kala itu.
Masih teringat saat aku memasuki bulan ke enam masa pugasanku. Dibulan itu sekolah kami mendapatkan bantuan dua kelas untuk belajar. Masih terngiang jelas ditelingaku sampai sekarang sorakan kebahagiaan anak – anak karena mengetahui akan mendapatkan dua kelas baru tersebut.
“ Pak Guru, Katorang su punya kelas baru O, jadi tidak usah desak – desakan lagi dikelas”
Kami senang karena akhirnya kami tak harus berjejalan tempat duduk dan bergantian kelas di dua kelas lama sekolah kami. Ditambah lagi hadirnya perpustakaan baru yang menambah lengkapnya fasilitas kami disekolah. Meskipun perpustakaan kami hanyalah lorong yang ditutup menggunakan triplek namun dengan hadirnya perpustakaan itu semakin kulihat adanya semangat diwajah muridku untuk kesekolah.
Masih terbesit kesenangan di bulan maret ketika aku sudah semakin menyatu dengan masyarakat sekitar. Molo ( menembak ikan menggunakan besi panjang) malam dan langsung membakarnya dipantai menjadi agenda bulanan yang wajib ketika bulan sedang tak menampakkan wujudnya. Ditengah kegelapan malam terlihat kunang – kunang laut yang bersinar dengan indahnya di atas permukaan air laut ditambah lagi dengan pohon kunang – kunang yang dihinggapi ratusan bahkan ribuan kunang – kunang di tengah – tengah hutan.Sungguh besar nikmat tuhan yang bisa kunikmati kala itu.
Memasuki bulan kesepuluh ketika aku mulai sibuk menyiapkan anak – anak yang kuajar untuk mengikuti UNAS.Siang dan malam kami belajar disekolah dan dirumah orang tua piaraku untuk meningkatkan kemampuan mereka kala menghadapi UNAS pada bulan Mei. Sepertinya ini akan menjadi project terbesarku selama mengajar disini. Kulihat masih banyak kekurangan dalam persiapannya, namun aku dan anak – anak harus saling berusaha untuk menambal kebolongan besar ini. Aku tak bisa sepenuhnya menyalahkan mereka karena selama ini mereka memang tak mendapatkan pelajaran dengan maksimal karena konsentrasiku sendiri terbagi di dua kelas rangkap yang kuajar.
Memasuki bulan sebelas aku dikampung.Anak – anak sudah menyelasaikan UNAS mereka sehingga kegiatanku bisa menjadi sedikit ringan karena tak harus mengajar dua kelas lagi.Ketika aku sedang mengajar tiba – tiba ada salah satu muridku yang bertanya,
“ Pak Guru habis ujian mau pulang e?”
“ Iyo nyong, nanti Pak Guru Dede yang ajar kamong !”
“ Kenapa nyong?”
“ Tidak apa Pak Guru!” jawabnya sambil menundukkan muka
Aku mungkin bisa mengerti apa maksudnya. Nyong adalah salah satu murid yang sedikit membutuhkan perhatian lebih karena sangat aktif dikelas. Aku sering dibuat sebal olehnya waktu awal pertama aku mengajar dikelas karena keaktifannya. Namun sekarang dia menjadi salah satu murid kesayanganku yang bisa diandalkan dan sangat penurut. Aku melihat matanya sedikit berkaca kala itu. Aku terdiam tak berani bertanya lebih detail lagi karena aku sendiri takut malah akan meneteskan air mata ini terlalu cepat dihadapan mereka. Aku sangat teringat akan si nyong ini. Dia masih sulit mengeja kata ketika pertama kali kuajar.Namun karena akhirnya dia bisa kubujuk untuk datang kerumah tiap malam untuk kuajari membaca, perkembangannya pesat sekali.Sejak semester dua dia semakin lancar membaca kalimat bahkan paragraf.
Memasuki bulan terakhir di kampung penugasan.Ini adalah bulan terakhirku menikmati kampungku yang indah ini. Dibulan ini aku menjemput Pengajar Muda terakhir yang bertugas dikampung.Aku mengantarnya masuk dan kulihat semua orang senang dengan kehadirannya. Aku kembali teringat kala aku pertama datang waktu itu. Perasaanku senang dan bercampur aduk, sangat berbeda dengan sekarang.Saat itu aku sedang berjalan pulang dan sesampainya didepan rumah aku sudah melihat ketua pemuda dan para pemuda lainnya sudah mendirikan sabuah (Tenda hajat dari bambu ) beramai – ramai. Tenda perpisahan yang disiapkan setiap pelepasan Pengajar Muda dari kampung. Tak pernah kudapatkan sambutan dan penerimaan spesial seperti ini selain di Kampung Tarak.
Sampai akhirnya pada malam perpisahan bulan Juni. Aku berdiri didepan masyarakat kampung yang hampir semuanya hadir disabuah malam itu. Aku menyampaikan pesan terakhir dan tanpa kusadari satu persatu dari warga yang datang mulai meneteskan air mata mereka. Melihatnya aku tak kuasa menahan air mata ini. Ternyata mereka juga merasa sedih seperti apa yang kurasa.Malam itu kami semua begadang sampai lewat waktu sahur. Kami sahur bersama sambil menanti datangnya sang matahari pagi yang menandakan waktuku dikampung ini telah habis untuk perjalanan kali ini. Matahari perlahan menunjukkan sinarnya, kemudian mereka berkata
“ Pak Guru siap - siap sudah, su (sudah) waktunya ini”
“ Iya om, jawabku dengan mantap” akupun masuk kedalam kamar dan menata barang – barang yang akan kubawa pulang.
Beberapa menit setelah itu para warga dan tetua kampung pun berkumpul dirumahku. Mereka semua berkumpul untuk mendoakan keselamatanku dan kesuksesanku diluar sana. Kamipun berdoa bersama dan kemudian para warga mengantarku ke dermaga menuju perahu yang mengantarku pulang. Pertama kali datang mereka menyambutku di demaga ini dan disinilah aku akan berpamitan pada mereka untuk sementara waktu sambil berdoa agar ada kesempatan untuk datang kesini lagi. Disitu aku melihat seluruh warga menyalamiku satu persatu, mulai dari kakek, nenek sampai anak kecil. Mereka memelukku dan memegang tanganku dengan erat sambil berkata “ Pak Guru jangan lupa katorang e”. Aku tersenyum meskipun akhirnya air mata ini mengalir terus tanpa henti.Setelah itu akumasuk keperahu dan mesin pun dibunyikan. Dari perahu kulihat mereka semua melambaikan tangan padaku dan akupun berdiri sambil melambaikan tanganku. Dibagian lain kulihat para muridku berlari di bibir pantai sambil berteriak memanggil namaku “ pak guru, pak guru”. Mereka berlari sampai akhirnya mereka tak bisa berlari lagi karena terhalang oleh lautan. Diujung pantai merekapun berloncatan sambil melambaikan tangan padaku sebagai tanda perpisahan mereka.
Perlahan tapi pasti aku melihat kampungku mulai hilang dari pandangan ini. Sebagian warga yang ikut mengantarkan kepulanganku tak berani melihatku.Kulihat jelas wajah sedih dari mereka kala itu. Akupun terdiam, aku sadar saat seperti ini pasti akan datang cepat ataupun lambat. Sekarang adalah saat dimana perpisahan itu datang, saat dimana lautan yang selalu menemaniku bermain dengan mereka sekarang malah harus memisahkanku dengan kampung dan segala kehangatannya. Memang sekarang masih terhitung hari sejak aku meninggalkan kampung, namun rasa rindu sepertinya telah datang dan akupun hanya bisa berkata“ Tarak aku rindu”.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda